Sumber gambar : Masterplandesa.com

Dalam diskusi di sebuah kesempatan, tim program PPM-PTVI mendiskusikan terkait temuan mengenai kenyataan bahwa ada banyak aset program yang terbengkalai karena tidak di manfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Bahkan ada yang hanya di manfaatkan oleh kelompok tertentu. Mendapati kenyataan seperti itu, ada sebuah asumsi yang menguat, yaitu, ada banyak usulan-usulan program yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan karena hanya di usulkan oleh segelintir orang.  

 

Minggu 5 September 2021, saya bersama dua kawan, Natas dan Arif, sedang bersiap untuk melakukan kunjungan ke sebuah tempat yang terisolasi di tengah pebukitan karst. Namanya Kampung Biku. Kunjungan ini guna memenuhi undangan warga untuk berpartisipasi dalam ritual tahunan mereka, yaitu Mappattama.



Jika hari ini kita yang dari generasi 80-an memimpin bangsa ini, lantas memikirkan bagaimana masa depan bangsa 10 tahun ke depan, maka kita mesti memikirkan kondisi generasi 90-an. Jika membayangkan hingga 20 tahun ke depan, maka kita mesti memikirkan kondisi generasi 2000an. Begitulah seterusnya, hingga sebisa mungkin memikirkan bagaimana anak-anak yang yang baru saja menempuh pendidikan formal. Bagaimana mereka dididik, bagaimana asupan pengetahuannya. Bahkan jika perlu, memikirkan bagaimana seorang anak yang masih di dalam kandungan ibunya.

                                                      Sumber gambar : http://insomnia.net


Sebagai ideologi negara, pancasila diharapkan bisa diinternalisasi oleh seluruh masyarakat Indonesia. Menjadi pedoman manusia Indonesia dalam segala aktivitasnya di atas bumi Indonesia. Tapi dapat dikata bahwa pandangan atas pancasila, khususnya generasi muda hari ini, mengalami degradasi. Contohnya, semakin berkembangnya pemahaman tertentu yang hendak menjadikan agama sebagai dasar negara di kalangan pelajar, orientasi sebagian besar keluaran institusi pendidikan yang hanya terfokus pada kesejahteraan individual, hilangnya empati terhadap sesama masyarakat Indonesia, serta upaya mengadopsi pemahaman dan nilai-nilai yang tidak hidup dalam masyarakat Indonesia. Terlebih di tengah perkembangan teknologi, khususnya teknologi informatika, semakin membuka potensi masuknya berbagai hamparan pemahaman dari luar.


Seperti biasanya, hari buruh internasional (May Day) yang jatuh pada tanggal 1 mei, diramaikan dengan aksi unjuk rasa dari para pekerja/buruh dan mahasiswa. Kompas memberitakan bahwa ada 35 serikat buruh yang turun ke jalan. Isu sentral dan tuntutan sebagian besar serikat buruh, masih sama dengan peringatan May Day ditahun-tahun sebelumnya, yaitu kesejahteraan buruh. Serikat buruh menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, sedangkan  buruh yang tergabung dalam perkumpulan dosen/pengajar menuntut pengangkatan pengajar kontrak menjadi tetap/PNS, serta menuntut kenaikan standar upah bagi pengajar. Selebihnya, mendeklarasikan mengenai urgensi soal kendaraan politik bagi gerakan buruh.

Mengorganisasikan petani tentu bukan pekerjaan mudah. Di Indonesia, setiap pulau, mungkin saja setiap daerah/kabupaten, atau mungkin saja, bahkan setiap desa, kontradiksi yang terjadi pada petani bisa saja berbeda-beda. Mulai dari permasalahan hak atas tanah, ketersediaan input dalam kegiatan pertanian sepereti air, jalan, dll, hingga ke persoalan kepastian pasar. Belum termasuk persoalan relasi oposisi antara petani dengan para setan-setan desa dan gangguan dari pihak-pihak di luar petani.

Aksi bela islam yang menghadirkan ratusan ribu massa-bahkan ada portal berita yang menyampaikan bahwa ada dua juta massa-merupakan aksi fenomenal di Indonesia pasca orde baru. Aksi ini adalah bentuk show force kelompok Islam konservatif yang mampu membuat presiden Joko Widodo mesti bersafari hingga ke markas baret merah dan ungu untuk menyatakan bahwa Indonesia sedang darurat.



Dalam pidato kemenangannya, presiden Joko Widodo berkata bahwa, “kita telah lama memuggungi laut”. Memunggungi laut dalam hal ini adalah, sebuah sikap yang tidak lagi melihat laut sebagai sumber penghidupan dan pengetahuan. Mungkin kutipan dari pidato ini sangatlah politis, karena ada euforia tersendiri dari sebuah kemenangan di arena politik. Tapi terlepas dari konteks politik, mungkin gerak memunggungi laut ada benarnya. 




Wacana pemberantasan korupsi, semakin mencuri konsentrasi publik dan semakin menggaung saat ketua KPK, Abraham Samad, di non-aktifkan dari jabatannya. Hal ini dianggap memperlemah posisi KPK dalam urusan memberantas korupsi. Karena bagi beberapa pihak, memberantas korupsi adalah pekerjaan utama yang mesti segera dituntaskan. Karenanya, lembaga-lembaga atau gerakan anti korupsi ikut menjamur untuk mengampanyekan soal pemberantasan korupsi.

Dari berbagai kelompok anti korupsi yang mencuat ke permukaan, sebagian besar memiliki cara pandang yang sama soal akar masalah dari korupsi. Ada yang menaruh fokus tentang hilangnya akhlak, kejujuran, moral, dan berujung pada solusi tentang pendidikan karakter. Kemudian yang sedikit lebih maju, menggeser pendiskusian pada persoalan lemahnya prosedural hukum dan aparatus negara. Benarkah demikian?
***



          Tiga minggu yang lalu saya berjumpa dengan seorang teman bernama Soun Yu dan Charles. Soun Yu adalah seorang perempuan asal Korea Selatan, dan Charles adalah seorang laki-laki berkebangsaan Timor Timur. Soun Yu adalah seorang perempuan berusia 30-an tahun yang memutuskan untuk menghabiskan hidupnya dengan melakukan kerja-kerja sosial di Timor Timur. Bersama Charles, Soun Yu telah bekerja selama tiga tahun dan telah melakukan beberapa hal di pelosok desa seperti menuntaskan persoalan air bersih. 



Membaca tulisan kawan saya, Ibe S.Palogai pada literasi edisi Kamis 3 September 2015, ada rasa takjub tersendiri karena upayanya untuk merefleksi kembali apakah teori kelas masih mumpuni di era kontemporer. Ibe berusaha mencari penjelasan mengenai pertentangan kelas melalui fenomena media sosial.

Dalam tulisan yang berjudul “tentang palu arit, payung dan media sosial”, Ibe berargumen bahwa ada kerancuan dalam teori kelas Marx, bahwa Marx membagi masyarakat yang sudah semestinya seperti itu. Dua kategori besar yang dibagi berdasarkan nasib, perjuangan dan sejarah setiap orang. Tanpa Marx membagi masyarakat ke dalam dua kategori besar, masyarakat tetap akan menemukan dirinya dibelah oleh keadaan. Jika ada yang berjuang, akan ada yang bertahan. Jika terlahir dalam keluarga yang melarat, maka tidak perlu mencari jawaban mengapa seperti itu. Begitu kira-kira premis-premis yang disebutkan Ibe untuk menjelaskan pertentangan kelas.