Membaca tulisan kawan saya, Ibe S.Palogai pada literasi edisi Kamis 3 September 2015, ada rasa takjub tersendiri karena upayanya untuk merefleksi kembali apakah teori kelas masih mumpuni di era kontemporer. Ibe berusaha mencari penjelasan mengenai pertentangan kelas melalui fenomena media sosial.
Dalam tulisan yang berjudul “tentang palu arit, payung dan media
sosial”, Ibe berargumen bahwa ada kerancuan dalam teori kelas Marx, bahwa Marx
membagi masyarakat yang sudah semestinya seperti itu. Dua kategori besar yang
dibagi berdasarkan nasib, perjuangan dan sejarah setiap orang. Tanpa Marx
membagi masyarakat ke dalam dua kategori besar, masyarakat tetap akan menemukan
dirinya dibelah oleh keadaan. Jika ada yang berjuang, akan ada yang bertahan.
Jika terlahir dalam keluarga yang melarat, maka tidak perlu mencari jawaban
mengapa seperti itu. Begitu kira-kira premis-premis yang disebutkan Ibe untuk
menjelaskan pertentangan kelas.
Selanjutnya, dengan mengurai fenomena kehadiran internet dan media
sosial, Ibe berusaha menggambarkan sebuah pembenaran atas afirmasinya tentang
pertentangan kelas. Dengan mengurai fakta-fakta yang terjadi dalam masyarakat
internet, Ibe menunjukkan bahwa dalam
pola komunikasi masyarakat melalui media sosial sesungguhnya membuktikan bahwa
tidak ada lagi yang namanya pertentangan kelas. Kelas yang digambarkan Marx
telah melebur dan hampir tidak bisa lagi dibedakan mana borjuis, mana proletar.
Kemudian peleburan itu menjelma menjadi kaum apatis.
Jika membaca premis-premis yang disebutkan dalam menggambarkan kelas,
ada kerancuan dalam memahami apa itu kelas dan pertentangan kelas serta
darimana akarnya. Mengatakan bahwa Marx membagi masyarakat menjadi dua kategori
adalah sebuah kesalahan besar.
******
Membincangkan kelas, sepertinya ada yang keliru dari kawan Ibe atas pemahamannya
mengenai afirmasi Marx atas kelas sosial dalam masyarakat. Pertama-tama, Marx
tidak membagi kelompok masyarakat menjadi dua kategori besar. Afirmasi Marx
tentang kelas bukanlah sebuah imajinasi yang kemudian dicocokkan dengan kondisi
aktual masyarakat, tetapi sebaliknya. Kelas adalah hasil abstraksi Marx atas
tangkapan dari realitas objektif. Kelas sosial dalam hal ini adalah suatu
gejala atau fenomena dari realitas sosial tertentu.
Yah kelas tidak dilekatkan pada individu atau sifat per-seorangan, tapi
dilekatkan pada sebuah kelompok sosial tertentu. Berbeda dengan ekonom-ekonom
klasik sebelumya, Marx mengandaikan kehadiran sebuah relasi sosial yang
dinamakan kelas berdasarkan relasi produksi. Sebuah relasi sosial yang disebut
kelas, antara proletar dan borjuis, hanya akan masuk akal selama dia berada
dalam jejaring relasi produksi. Singkatnya, mempersoalkan kelas sosial hanya
akan bisa sejauh dia diperhadapkan pada konteks relasi produksi.
Lalu dimana pertentangan kelas itu? Pertentangan kelas hanya akan aktual
jika dia dipertautkan dengan kepemilikan sarana produksi, hanya akan aktual
sejauh kita melihat adanya segelintir orang yang menguasai sarana produksi dan hidup
dari nilai-lebih yang diproduksi dari hasil kerja sekelompok orang. Tentang
adanya sekelompok orang yang terpaksa harus menjual kerjanya untuk bertahan
hidup. Tentang adanya sekelompok orang yang memproduksi nilai-lebih tanpa
memiliki sarana produksi. Atau dalam bahasa para cendikia, pertentangan kelas adalah
sebuah afirmasi dalam ranah ekonomi-politik.
Pernah ada kawan lain
yang mengatakan bahwa yang terjadi sekarang bukan lagi pertentangan kelas,
melainkan kecemburuan kelas. Argumen itu sendiri sebenarnya bermasalah karena mempersoalkan
kelas bukan berada pada ranah jejaring relasi produksi, melainkan pada seberapa
banyak kekayaan seseorang. Sehingga pertentangan kelas tidaklah aktual jika dia
coba dijelaskan berdasarkan seberapa banyak kekayaan, kepemilikan alat-alat
elektronik, serta seberapa sering seseorang berkunjung ke bioskop dan cafe-cafe
mewah.
Sehingga apa yang
diupayakan kawan Ibe untuk meruntuhkan pertentangan kelas adalah semacam upaya
yang salah alamat. Pertentangan kelas tidak pernah runtuh sejauh dia
diperhadapkan pada konteks pola komunikasi masyarakat. Bahwa semuanya menjadi
samar yah, tetapi menyimpulkan sebuah keruntuhan sepertinya tidak sama sekali.
*****
Selanjutnya, darimana
asal-muasal lahirnya relasi sosial yang dinamakan kelas? Dalam teori akumulasi
primitif, Marx menggambarkan sebuah babakan berdarah dimana tanah sebagai
kapital berusaha dipusatkan kepada satu orang. Melalui upaya manipulasi atas
regulasi, sekelompok orang menggunakan negara untuk memisahkan produsen dari
alat produksinya, sehingga para produsen yang telah terpisah dari alat
produksinya mesti menjual tenaga-kerjanya agar dapat bertahan hidup.
Mungkin akan muncul lagi
pertanyaan, mengapa ide untuk mengakumulasi tanah bisa ada? Hal ini karena
evolusi masyarakat kemudian mengenal apa yang dinamakan surplus. Manusia tidak
lagi berfikir subsisten, namun mulai berfikir tentang suatu “ke-lebihan”.
Sehingga akumulasi menjadi aktual karena disyaratkan oleh sebuah “ke-lebihan”
komoditi.
Oleh karena itu relasi borjuis
dan proletar, adanya yang dinamakan kaya dan melarat tidaklah ahistoris, atau
bukan sesuatu yang ter-beri. Sehingga sikap tidak mencari jawaban mengapa hari
ini kita melarat jika terlahir di keluarga melarat, merupakan salah satu sikap apatis
yang digambarkan oleh kawan Ibe. Karena jawabannya sebenarnya sudah ada, maka
soal selanjutnya adalah bagaimana mengubahnya.
#TULISAN INI DIMAKSUDKAN SEBAGAI BALASAN ATAS TULISAN IBE S POLIGAI DI RUBRIK LITERASI KORAN TEMPO. NAMUN TIDAK KUNJUNG DITERBITKAN SEHINGGA DIPUBLIKASIKAN DIBLOG INI.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar