Tiga
minggu yang lalu saya berjumpa dengan seorang teman bernama Soun Yu dan
Charles. Soun Yu adalah seorang perempuan asal Korea Selatan, dan Charles
adalah seorang laki-laki berkebangsaan Timor Timur. Soun Yu adalah seorang
perempuan berusia 30-an tahun yang memutuskan untuk menghabiskan hidupnya
dengan melakukan kerja-kerja sosial di Timor Timur. Bersama Charles, Soun Yu telah
bekerja selama tiga tahun dan telah melakukan beberapa hal di pelosok desa
seperti menuntaskan persoalan air bersih.
Namun
apa yang dilakukan oleh Soun Yu dan Charles bukan tanpa hambatan. Hal yang menurut
mereka begitu berat adalah, masyarakat selalu melihat mereka sebagai penyuplai
uang untuk kebutuhan sehari-hari. Bahkan, pernah suatu hari Soun Yu meneteskan
air mata karena tidak tahan dengan kelakuan masyarakat yang hanya bisa meminta
uang.
Selama
berproses, mereka berdua kebingungan.
“Apa yang salah?
Padahal kita melakukan kerja-kerja sosial. Kita membantu menuntaskan persoalan infrastruktur
masyarakat sedikit demi sedikit dengan memanfaatkan suplai dana dari beberapa
lembaga. Namun mengapa masyarakat menjadi seperti ini?”. Tanya Soun Yu kepada
Charles di sela-sela kesibukan mereka.
Dengan
bermodalkan seorang teman bernama Bagus yang berada di Indonesia, yang juga kebetulan
bekerja bersama masyarakat, Charles dan Soun Yu coba bercerita mengenai pengalaman
mereka di Timor Timur. Akhirnya Bagus bercerita tentang beberapa kelompok yang bekerja
bersama masyarakat dan juga beberapa anggotanya yang merupakan kerabat Bagus. Di
ujung pembicaraan, Bagus merekomendasikan agar Soun Yu dan Charles berkunjung
ke salah satu organisasi rakyat di kota Makassar bernama Komite Perjuangan
Rakyat Miskin (KPRM) yang di kelolah oleh sekelompok Ibu-Ibu. Sekumpulan Ibu-Ibu
yang berdomisili di pusat-pusat ‘kampung kumuh’ di kota Makassar dengan berbagai
macam status, seperti janda serta jompo. Dan rata-rata tidak menempuh
pendidikan formal.
Tanpa berfikir
dua kali, Soun Yu dan Charles akhirnya memutuskan untuk melakukan semacam study
banding di Kota Makassar guna mencari tahu dan menanyakan banyak hal. Dari sinilah pertemuan saya dengan Soun Yu dan
Charles dimulai, karena kebetulan saya merupakan salah satu volunteer di KPRM,
yang melakukan kerja-kerja pendampingan.
Beberapa minggu
kemudian, mereka akhirnya tiba di Kota Makassar, dan mereka langsung menuju ke
kampung pisang, yang merupakan pemukiman percontohan KPRM bagi rakyat miskin
kota. Di tempat tersebut, Soun Yu dan Charles disambut dengan hangat oleh 20
orang Ibu-Ibu yang merupakan anggota KPRM. Tanpa berfikir panjang, Charles
memulai pembicaraan dengan sedikit basa basi. Karena Soun Yu hanya bisa
berbahasa Inggris, maka dia hanya bisa ikut tertawa.
Setelah
mengobrol panjang lebar sembari berkenalan, Soun yu dan Charles memulai
pembicaraan serius dengan para ibu-ibu tersebut di sebuah ruangan. Di pertemuan
tersebut, Charles menjadi alih bahasa guna membantu Soun Yu berkomunikasi,
serta menyampaikan maksud dan tujuan atas kedatangan mereka. Melalui Charles,
Soun Yu akhirnya menanyakan banyak hal tentang pengalaman KPRM, dan tentunya
menanyakan bagaimana ibu-ibu tersebut mampu bekerja di tengah keterbatasan.
***
Setelah menceritakan
maksud dan tujuan, proses berdiskusi akhirnya berjalan. Soun Yu dan Charles
membagikan pengalaman mereka, begitupun dengan para Ibu-Ibu KPRM. Diskusi
berlangsung dengan cukup riang dan gembira, karena di isi banyak canda dan
tawa.
Dari seluruh hal
yang dibincangkan selama berjam-jam, yang tentunya terkait dengan kegelisahan
Soun Yu dan Charles, ada hal yang menjadi poin penting bagi mereka berdua. Yaitu
tentang bagaimana seharusnya membangun kemandirian, dan bagaimana memberdayakan
perempuan untuk terlibat dalam kerja-kerja perubahan.
Bagi para ibu-ibu
tersebut, kemandirian tidak akan bisa terwujud apabila hal yang dilakukan menciptakan
ketergantungan bagi masyarakat. Ibu-ibu bercerita banyak mengenai pengalamannya
ketika belajar menabung. Mereka menabung uang sebesar Rp.1000 hingga Rp.2000/hari.
Di awal merintis organisasi, banyak lembaga yang menawarkan mereka bantuan
secara cuma-cuma, tapi mereka tolak dengan mentah-mentah. Bukannya tidak
percaya dengan niat baik seseorang, tapi ada ketakutan apabila masyarakat
menganggap uang sebagai tujuan.
“Tidak ada yang
bisa membantah bahwa kita butuh uang, tapi kita mesti memikirkan bagaimana agar
masyarakat menganggap uang adalah konsekuensi logis dari proses perjuangan. Dalam
artian masyarakat tidak boleh selalu menempatkan tangannya di bawah”. Tegas Dg.
Caya, salah satu anggota KPRM yang telah berusia 56 tahun.
Bagi para ibu-ibu, memang hal berat untuk meyakinkan
masyarakat bahwa perubahan mesti dimulai dengan kemandirian dan gotong royong. Karena
mayoritas masyarakat Indonesia selalu menginginkan hal yang instan lalu
mengabaikan proses sehingga tidak tercipta kebersamaan dan pembelajaran.
“Tapi itulah
perjuangan, di dalamnya ada manis dan pahit”. Ungkap Dg. Caya.
Soun Yu dan Charles
hanya bisa tertegun mendengar seluruh ocehan ibu-ibu tersebut.
Setelah puas
berdiskusi, melalui Charles, Soun Yu menanyakan apakah ada sebuah pesan untuk
ibu-ibu yang berada di Timor Leste.
Tanpa banyak
berfikir, Dg.Caya kemudian menyeletup.
“Kita para
ibu-ibu yang miskin, tidak boleh berfikir bahwa kita ini di takdirkan berada di
dapur, sumur dan tempat tidur. Kita mesti mengambil peran dalam kerja-kerja
perubahan. Kita harus belajar mandiri dalam menyelesaikan masalah. Baik masalah
pendidikan anak, kesehatan dan perekonomian. Intinya kita para perempuan tidak boleh
hanya tinggal diam”. Tegas Dg. Caya.
Pesan Dg. Caya
kemudian menutup pembicaraan panjang kedua belah pihak. Setelah puas menanyakan
banyak hal, Soun Yu dan Charles meminta para ibu-ibu untuk menemani mereka
berjalan-jalan mengelilingi kampung pisang guna melihat bagaimana masyarakat
bergotong royong membangun pemukimannya.
Setelah seluruh
proses berakhir, Soun Yu dan Charles menceritakan kekagumannya kepada
sekelompok ibu-ibu tempat mereka menanyakan banyak hal. Mereka berdua sangat
kagum dengan sekelompok ibu-ibu yang rela menyuguhkan waktunya untuk
kerja-kerja perubahan, dan dilakukan tanpa mengharapkan imbalan. Tentang sekelompok
ibu-ibu yang telah bekerja selama 13 tahun di tengah segala keterbatasan.
Dari pembicaraan
itu pula Soun Yu dan Charles akhirnya tersadar bahwa apa yang selama ini mereka
lakukan adalah sebuah kesalahan. Mereka tidak berusaha membangun kemandirian
masyarakat. Tapi mereka menjadi semacam agen penyuplai bantuan sehingga
masyarakat sangat bergantung kepada mereka berdua. Soun Yu dan Charles merasa sangat beruntung
karena telah menyempatkan waktu untuk bertemu dengan sekelompok ibu-ibu dari KPRM
dan menanyakan banyak hal. Dan tentunya mereka sedikit malu, karena sekelompok
ibu-ibu yang tidak menempuh pendidikan formal membagikan banyak pengetahuan dan
pengalaman bagi mereka berdua.
***
Seperti kata
para pemikir, pengetahuan lahir dari pertanyaaan, apapun itu. Hal kecil yang
dinamakan bertanya, tidak mengenal batasan ruang dan waktu. Usaha keras yang di
lakukan Soun Yu dan Charles untuk jauh-jauh berkunjung ke Indonesia, hanya
karena ingin menanyakan soal pengetahuan dan pengalaman yang dimiliki oleh
salah satu organisasi di kota Makassar. Tapi dari usahanya tersebut, mereka
berdua tersadar betapa pentingnya proses berbagi melalui bertanya. Sangat banyak
pengetahuan dan pengalaman yang mereka dapatkan dengan bertanya, dan tentunya
proses berbagi tidak memandang usia dan pendidikan. Lalu mereka berjanji bahwa
apa yang mereka dapatkan akan dikerjakan di tempat asal mereka, di Timor Timur.
#Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI.
#Mau Bertanya Nggak Sesat di Jalan #AskBNI.
bagus pren... pengalaman yang menarik
BalasHapusmakasih pren.. hehheee
BalasHapusPengalaman yang begitu membangun.
BalasHapusDari sini kita bisa belajar tentang seberapa penting peran gerak kerja bersama daripada berkelompok namun hanya menunduk patuh pada apa yang disebut sebagai garis takdir.
yah. kerja bersama dan berkelompok adalah hal yang memang sulit dibangun. meyakinkan masyarakat untuk hidup berkomunitas bukan perkara mudah, karena budaya itu telah terkikis sedikit demi sedikit
HapusHal menarik lainnya adalah Ibu ibu yg usia 56 tahun dan masih semangat berjuang. Kita yg muda belia jgn mau kalah. Keep writing ka'.
BalasHapusmakanya. mau mau kalah sama orang tua.hehhee
Hapuskenapa saya justru fokusnya bukan ke Soun Yu tapi ke Dg. Caya. Trs bagaimana endingnya Soun Yu dan Charles stlah bertanya?
BalasHapuskarena memang dg. caya yang menjadi tokoh inspiratif bagi soun yu dan charles.
BalasHapusendingnya yah mereka kembali ke timor leste, dan coba mengaplikasikan apa yg mereka dapatkan
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusmakasih yah
Hapusyg pertama mungkin sdh hukumnya kali ye kalau grakan yg qt buat akan selalu menimbulkan persepsi negatif beberapa orang.. entahlah ya, krn qt tommi yg aktif di gerakan ka..
BalasHapustrs yg kedua syb kagum skaligus bertanya2 bgmn carax KPRM bisa mengorganisir ibu2 smpai pada tahap menciptakan idealismex tersendiri, idealisme yg sy mksud it mreka paham n mampu menjalani proses dalam gerakan walaupun dalam keterbatasan
tergantung apa yang dia bikin itu gerakan, dan siapa yg memberikan persepsi negatif...mungkin saja musuhnya atau siapa...
Hapuskedua, kalau mau tau jawabannya, mari jalan2 ke KPRM..hehhee
Tulisan yang bagus coy. Dalam tulisan ini kita dapat melihat keberhasilan pengorganisiran yang dilakukan. Hal trsebut tidak terlepas dari pendidikan untuk warga kampung pisang dalam melihat problematika sosial yang ada.
BalasHapusTulisan yang bagus coy. Dalam tulisan ini kita dapat melihat keberhasilan pengorganisiran yang dilakukan. Hal trsebut tidak terlepas dari pendidikan untuk warga kampung pisang dalam melihat problematika sosial yang ada.
BalasHapusMakasih coy
Hapus