Untuk kalian yang selalu tersenyum


Tidak terasa usia ini telah berjalan selama 23 tahun. Yah, sebuah usia yang ku fikir sudah cukup matang untuk mampu berfikir dewasa di tengah kehidupan yang ke-kanak kanakan namun kejam ini.

Aku teringat lima tahun yang lalu, dimana pertama kalinya aku menginjakkan kaki di sebuah tempat yang sebenarnya sangat asing bagiku, dan bertemu dengan orang-orang yang juga berwajah asing. 

Kalau tidak salah ingat, aku bertemu 29 manusia-manusia kecil yang ingin menjadi besar dengan sejuta harapan yang dibawa dari tempat pertapaannya masing-masing. Sebuah harapan yang menurutku tidak pernah mereka pahami apa tujuannya, apa kaitannya dengan hidup yang fanah ini. Begitupun dengan harapan yang kubawa serta bersama tubuh rapuh ku.

Seiring waktu berlalu, kamipun mencoba untuk saling memahami satu sama lain. Ternyata diantara 29 manusia-manusia itu, masing-masing mempunyai karakter yang berbeda-beda. Ada yang kadang bersikap seperti buaya, benalu, putri malu, serta beberapa yang tidak bisa ku ungkapkan.

Hingga pada suatu hari, ketika kami mulai merasa ada kedekatan dari hubungan pertemanan yang telah dibangun, satu per-satu mulai mengoceh dan bertingkah yang aneh.

Ada yang maunya ngumpul bareng tiap hari ditemani se-ember abang ballo’.

Ada yang maunya jalan ke mana-mana menikmati suasana kota (yah, maklumlah orang-orang pinggiran).

Ada yang selalu mengajak untuk mengadu nasib di meja perjudian.

Dan ada juga yang lebih memilih menghabiskan waktunya untuk berfantasi dengan para hawa-hawa yang menjadi koleksinya

Tapi ada juga yang lebih memilih berdiam diri di istananya.

Yah,tidak terasa kamipun terlena dengan hubungan pertemanan yang kami bangun. Dimana setiap harinya kami merasa puas dengan apa yang kami lakukan. Meskipun dalam sebuah ruang yang hampa bernama kelas kuliah, kami sering di olok oleh makhluk yang bernama dosen.

  Hingga pada suatu saat salah satu dari kami bertanya.

“kira-kira siapa yah diantara kita yang akan kabur lebih dulu dengan nama yang bertambah panjang?”

 Sungguh pertanyaan bodoh, namun memiliki arti yang sangat dalam.

                ………………..
Bermula dari pertanyaan di atas, tiba-tiba terdengar kabar bahwa ada beberapa di antara kami yang akan kabur lebih dulu dengan alasan yang beragam. Ada yang ingin mencari kehidupan di alam yang lain, ada yang karena tidak sanggup bertahan di tengah hirarki senioritas para pendahulu kami, dan ada pula yang tidak mengerti mengapa harus kabur. 

Apa boleh buat, beberapa yang bertahan tetap berusaha untuk menerima keputusan teman-teman  kami itu. Meskipun tidak sadar ada banyak janji-janji yang ter-ingkari, termasuk janji untuk kabur dengan nama yang bertambah panjang. Karena beberapa yang telah kabur lebih dulu namanya tidak kunjung memanjang ke belakang.  

 Walaupun beberapa telah menghilang entah ke mana, kami yang tersisa tetap menjalankan rutinitas keseharian yang sebenarnya sudah mulai membosankan. 

                ……………….

 Beberapa tahun berlalu akhirnya masing-masing dari kami benar-benar telah sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Cerita-cerita mengenai awal pertemanan kami akhirnya hanya menjadi sebuah kisah manis yang menjadi obrolan ketika suatu waktu kami menyempatkan untuk bertemu.

Tiada lagi se-ember abang ballo’,tiada lagi meja perjudian, tiada lagi nangkring di tempat-tempat elite, dan tiada lagi bergosip ria. Yang ada hanyalah cerita angin lalu.

Aku sempat berfikir bahwa para manusia-manusia kecil itu mungkin tidak lagi menikmati apa yang kita bangun bersama-sama, dan betapa bodohnya mereka yang berhenti di tengah jalan.

Tapi, sepertinya kehidupan ini berkata lain.

Aku mencoba untuk berfikir lebih dewasa, bahwa mungkin para manusia-manusia kecil itu telah menemukan jalannya masing-masing untuk menjadi besar. Bahwa mungkin mereka telah memahami apa sesungguhnya arti dibalik harapan yang ada di benaknya. Bahwa mungkin mereka telah melalui proses kehidupan yang memberikan banyak pelajaran berarti. 

Akupun harus mendoakan mereka agar apa yang dicita-citakan mampu dicapai, dengan segala konsekuensinya. Semoga mereka mampu bertahan ditengah kehidupan yang ke kanak-kanakan namun kejam ini. Betapapun, mereka adalah orang-orang yang akan tetap ada di benak ini, dan akan selalu ada selamanya. Karena dari merekalah aku banyak belajar bagaimana semestinya menjadi sosok manusia.    
               
Hahahahahahahaaaaa….untuk kalian yang selalu tersenyum.

Kuda Yang Bermetamorfosis

Kala pagi menerangi kelurahan Tolo, ditengah udara yang cukup dingin, tidak menyurutkan semangat para pekerja untuk berangkat ke tempat pengaduan nasibnya masing-masing. Di sisi lain, sebagian orang juga sedang berbondong-bondong menuju ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.  Karena waktu itu telah memasuki hari Sabtu, yang memang merupakan jadwal pasar Tolo, maka masyarakat memanfaatkan hari itu untuk berbelanja.

          Tepat pukul 07.30 pagi, akupun menyempatkan diri berkunjung ke pasar tersebut untuk melihat tempat penjualan Kuda yang sering diceritakan oleh teman-teman saya. Dalam perjalanan ke pasar, tampak beberapa laki-laki paruh baya bersama anaknya menarik kuda-kudanya yang akan di bawa ke pasar untuk di jual. Semakin menambah rasa penasaran saya seperti apa tempat perdagangan kuda tersebut.

        Setelah tiba di pasar dan memasuki lokasi tempat perdagangan kuda, langsung tampak hamparan lautan kuda yang disertai dengan suara rintihannya, serta orang-orang yang sedang sibuk menawar harga. Ditempat tersebut terdapat bermacam-macam warna kuda yang siap di jual. Yah, sangat wajar jika pendatang seperti saya langsung mengidentikkan Jeneponto dengan kuda.
   
         Namun jika melihat kuda, aku langsung teringat dengan perkataan salah seorang teman saya. 

         “Bagusnya logo Jeneponto di ganti saja dengan gambar Burung Puyuh”.

         Kalau mengingat perkataan tersebut aku serasa ingin tertawa terbahak-bahak. Apa pula maksud dari perkataannya itu. Jika ingin mengganti logo Jeneponto dengan gambar Burung Puyuh, maka bersiap jugalah kau dikutuk oleh nenek moyang pendiri daerah ini menjadi seekor Burung Puyuh. Ucapku dalam hati sambil terus menatap ratusan ekor Kuda yang ada di depan mataku.

        Lama aku menatap ratusan ekor kuda yang ada di tempat tersebut sambil mencoba mencerna maksud dari perkataan teman saya itu. Tiba-tiba terlintas dalam fikiran saya analogi antara kuda dan keadaan Jeneponto saat ini. 

          Jika menganalogikan Kuda dengan kondisi Jeneponto saat ini, sangatlah tidak pas. Kuda yang dalam beberapa mitologi, adalah  hewan perkasa dan merupakan tunggangan dalam medan peperangan. Karena kuda adalah salah satu hewan dengan kemampuan berlari yang cukup hebat dan memiliki kondisi fisik yang memungkinkan untuk mendampingi sang petarung dalam medan pertempuran.

         Nah jika Jeneponto diidentikkan dengan kuda, semestinya laju pembangunan untuk menuju kesejahteraan harus secepat dengan lari seekor Kuda. Namun sebaliknya, Jeneponto malah menjadi daerah dengan pembangunan yang sangat lambat bahkan menjadi daerah yang paling tertinggal di Sulawesi Selatan. Apalagi jika dibandingkan dengan daerah tetangganya, Bantaeng, maka sama saja dengan membandingkan antara bumi dan langit.   

      Selanjutnya, karena diidentikkan dengan kuda yang perkasa, maka seharusnya Jeneponto  memiliki pemimpin yang perkasa dalam dalam menjalankan amanah masyarakat Jeneponto. Tidak memandang susah maupun senang, terus bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Bukannya menjadi pemeras dan penindas untuk rakyatnya. Seperti kuda yang terus bekerja untuk sang joki atau petarung dalam medan pertempuran. yah, itulah Kuda dan Jeneponto yang terlintas di fikiranku.

         Setelah sibuk dengan lamunanku, aku mencoba untuk berbincang-bincang dengan salah seorang pedagang kuda di tempat itu. 

        Akupun menghampiri seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi berdiri memegangi kudanya, dengan raut wajah yang tampak murung. Yah, mungkin karena Kudanya yang belum juga laku, sehingga membuatnya tampak murung. 

         “Kuda bapak ini harganya berapa?”, tanyaku.

        “Kalau ini harganya enam juta, karena saya memodalinya dengan harga lima juta lima ratus. Jadi lumayanlah untung sedikit”, ucap si pedagang kuda.
 
         “Oh, jadi ceritanya bapak beli dan jual lagi, begitu?”, tanyaku lagi.

         “iya”.

          “Trus bapak belinya di mana?”.

          “Belinya di salah satu kenalan, dan dia juga mendatangkan dari daerah lain”.

         Kaget juga aku mendengan ucapan bapak itu. Aku fikir kuda tersebut dia pelihara dan kemudian di jual. Tapi ternyata kuda miliknya dibeli dari seorang makelar kuda, dan kuda itu sendiri didatangkan dari daerah lain. Menurut yang dia dengar,alasan kuda didatangkan dari daerah lain karena kebutuhan masyarakat akan kuda semakin meningkat tetapi stok kuda di Jeneponto saat ini tidak banyak. oleh karena itu, pemerintah mendatangkan kuda dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Setelah itu ditadah oleh para makelar dan dijual lagi ke para pedagang kuda di pasaran. Walaupun ada juga yang langsung mengambil di pelabuhan, tempat kuda diangkut dari daerah lain.

         “Kok daerah yang diidentikkan dengan kuda malah mengimpor kuda, bukannya mengekspor. Mestinya kan bisa di ternakkan sendiri. ”, ucapku dalam hati.

           “Kenapa tidak beternak saja pak, setidaknya tidak butuh modal banyak”, tanyaku ke pedagang kuda yang tadi.

           “Ada juga yang diternakkan, tapi cuma beberapa. Selebihnya itu saya beli. Karena kalau harus beternak waktunya lama nak, sedangkan pemerintah mendatangkan kuda dari daerah lain. Jadi kami yang mengandalkan penjualan kuda, lebih memilih untuk memodali”.

            “Kira-kira banyak atau tidak yang juga memodali kuda?”, tanyaku lagi.

             “Yah sebagian besar pedagang di sini memodali”, jawab si bapak.

           Mendengar ucapan si penjual kuda itu, fikiran ku mengenai analogi antara kuda dan Jeneponto berlanjut. Sepertinya ide teman saya untuk mengganti logo kuda dengan burung puyuh ada benarnya juga. Mengindentikkan Jeneponto dengan kuda tidak relefan lagi saat ini. Pembangunan tidak sekencang lari kuda, karakter sang pemimpin tidak seperkasa kuda, dan yang lebih parah Jeneponto menjadi pengimpor kuda. Bukan exporter kuda. 

Setelah itu aku pun beranjak pulang sambil membawa fikiran ku akan kuda dan Jeneponto. Jika teman saya gagal menjalankan misinya untuk mengganti logo kuda menjadi Burung Puyuh, maka mungkin suatu saat akan ada yang berhasil mengganti dengan gambar kuda lumping.


Buah tangan dari pasar kuda di Jeneponto, mau beli kuda tapi tidak ada uang. Jadi yah, cuma membawa pulang sebuah tulisan singkat.hahahahahahaaa
               
               

Kisah Tiga Sahabat Petani




Alkisah, hiduplah sekelompok pekerja yang bernama ular, cacing dan kumbang yang bekerja untuk membantu manusia yang berprofesi sebagai petani. Masing-masing diantara mereka mempunyai peran dan tugas yang berbeda-beda. Walaupun hampir semua waktunya diluangkan untuk bekerja, mereka tidak pernah diberi imbalan sedikitpun oleh para petani dari apa yang mereka kerjakan. Hal itu karena mereka bekerja tanpa sepengetahuan para petani.

          Disuatu sore, para pekerja itu berkumpul di sebuah pematang sawah untuk mendiskusikan hasil yang telah mereka capai selama bekerja.

      “Hari ini aku sangat lelah, namun aku sangat menikmati apa yang aku kerjakan. Bagaimana dengan kalian?”, Tanya ular kepada ke tiga rekan kerjanya. 

        “Wah, hari ini para petani terlihat sangat senang. Karena berkat saya tanah garapan para petani bisa subur dan menghasilkan banyak zat harah”. Ungkap si cacing.

           Karena mendengar si cacing yang terlalu membanggakan diri, si ular kembali bertanya.

           “Memangnya keahlian kamu apa sih?”. 

   “Wah jangan salah kamu ular,  walaupun tubuhku kecil tapi aku punya banyak manfaat loh. Salah satu manfaat terbesarku bagi lingkungan dan pertanian adalah menyuburkan tanah dengan memperbaiki struktur tanah menjadi lebih gembur, meningkatkan penyimpanan air, dan menyediakan bahan-bahan organik di tanah. Lubang-lubang (jalan) yang aku buat merupakan salah satu cara untuk mengemburkan tanah. Tujuan membuat lubang dengan mendesak atau memakan butiran-butiran kecil tanah, sehingga memperbaiki aerasi dan drainase dalam tanah. Dengan adanya lubang-lubang tersebut, tanah menjadi lebih gembur”. 

     Karena merasa di ejek oleh ular, si  cacing tidak mau berhenti bercerita. Dan menjadi semakin pamer dengan keahliannya.

    “Tidak hanya itu ular. Selain membuat tanah menjadi lebih gembur, lubang jalan yang aku buat bermanfaat juga untuk konservasi air tanah. Aku mampu menggali tanah hingga kedalaman 1 meter. Hal tersebut sangat bermanfaat dalam penyerapan air. Penyerapan air dalam jumlah banyak akan memperkecil banjir dan erosi yang terjadi ketika hujan besar melanda. Aku mengkonsumsi tanah dan bahan-bahan organik lainnya sehingga menghasilkan produk buangan (kotoran). Kotoran cacing bermanfaat bagi kesuburan tanah karena mengandung unsur hara N, P, dan K, sehingga memperkaya kandungan mineral dalam tanah. Kotoran cacing tersebut berupa bentuk nutrisi yang mudah dimanfaatkan tanaman. Namun, produksi alami kotoran cacing tanah bergantung pada spesies, musim, dan kondisi populasi yang sehat. Selain itu, cacing mampu membantu mengomposkan sampah organik rumah tangga”.

     Si ular langsung melongoh mendengar penjelasan si cacing.

     “Ternyata si  cacing hebat juga nih”. Ucap ular di dalam hatinya.

    “Hebat kan?. Kalau kamu sendiri ular, manusia kan takut sama kamu. Bagaimana kamu bisa bilang kalau kamu membantu para petani?”. Tanya cacing kepada si ular.

      Si ular pun tidak mau kalah dengan si cacing, dan menjelaskan tentang kehebatannya.

      “Kenalin nih, aku si ular yang perkasa. Aku ini komandan satuan pengamanan sawah”.

    “Hahahahahahahahahahaaa….apa pula itu satuan pengamanan sawah?”. Karena terdengar aneh, si cacing tertawa terbahak-bahak.

    “Begini ceritanya cing, keseharian saya adalah mengawasi tikus dan hewan lainnya yang sering merugikan dan membuat resah petani, soalnya tikus biasanya akan mengigit batang dan memakan bulir-bulir padi. Dan pada tanaman jagung biasanya langsung di makan buah jagungnya. Jadi biasanya kalau tikus datang dan berniat jahat, aku sikat saja. Begitu……..”

      Tiba-tiba suasana menjadi hening ketika si ular menceritakan keperkasaannya. Si cacing dan kumbang langsung ketakutan mendengar cerita ular.

     “Jangan-jangan nanti aku di sikat juga nih kalau banyak bacot”. Ucap si cacing di dalam hatinya. 

    Karena melihat wajah si cacing dan kumbang yang agak pucat, si ular mencoba menghilangkan kepanikan kedua sahabatnya.

   “Wah, kalian berdua tidak usah takut kawan. Kita kan sesama pekerja di sawah, jadi tidak mungkinlah saya mau menghajar kalian”.

     “Ini nih si kumbang dari tadi cuma menjadi pendengar setia. Cerita dong apa yang telah kamu kerjakan”. Tegur ular kepada si kumbang.

     “Hahahahahaa…iya deh, aku ceritakan. Aku mudah dikenal karena penampilan yang bundar kecil dan punggung yang berwarna merah. Aku adalah karnivora yang memakan hewan-hewan kecil penghisap tanaman semisal kutu daun (afid). Aku makan dengan cara menghisap cairan tubuh mangsaku. Di kepalaku terdapat sepasang rahang bawah (mandibula) untuk membantu memegang mangsa saat makan. Lalu menusuk tubuh mangsaku dengan tabung khusus di mulut, hal itu untuk menyuntikkan enzim pencerna ke tubuh mangsa, lalu menghisap jaringan tubuhnya yang sudah berbentuk cairan. Aku mampu menghabiskan 1.000 ekor kutu daun yang dapat merusak tanaman loh”.

   “Waaaahhhh…kamu hebat yah kumbang. Aku salut sama kamu”. Ular coba memuji sahabatnya yang satu ini.

      “Tidak usah melebih-lebihkan ular, itu biasa saja kok”. Sahut kumbang yang coba merendah.

    Karena keasikan berdiskusi, tidak terasa matahari mulai terbenam. Dan ketiganya sepakat untuk pulang beristirahat. 

    “Mungkin ada baiknya kita pulang beristirahat, soalnya besok kita harus kembali bekerja, bagaimana?”. Ajak ular kepada tiga sahabatnya.

   “Iya deh, yuk. Sampai ketemu besok yah”. Sahut si cacing sambil berjalan meninggalkan pematang sawah.

………………………………………………..


    Beberapa hari kemudian, ular sedang tidak enak badan. Selain itu, dia juga mendengar kabar bahwa si cacing sedang sakit. Ularpun berniat untuk menjenguk sahabatnya yang satu itu, dan segera bergegas menuju kediaman cacing.

Beberapa menit berjalan, ularpun tiba di kediaman si cacing.  

“Assalamualaikum, eh cacing katanya kamu sakit yah??”

“Walaikumsalam, iya nih bro saya sedang sakit. Ini gara-gara petani menggunakan pupuk kimia ke sawahnya. Padahal saya sangat sensitive dengan bahan kimia. Saya tidak tahu mengapa para petani tiba-tiba menggunakan bahan-bahan yang beracun untuk tanamannya”

“Ketika petani menyemprotkan pupuk dan pestisida, aku langsung menggelepar-gelepar ke pinggir sawah untuk menyelamatkan diri. Untung aku bisa selamat, walaupun ada beberapa cacing lainnya yang belum tiba di pinggir sudah mati.  Cacinglah yang paling awal lenyap dari dalam tanah dan selanjutnya diikuti oleh hilangnya kehidupan mikroba lain yang berfungsi menyuburkan tanah. Oleh karena itu aku tidak bisa lagi bekerja menyuburkan tanah”. Cerita si cacing dengan wajah yang memelas.

“Wah, jangan-jangan gara-gara pupuk dan pestisida itu hari ini aku tidak enak badan. Soalnya kemarin aku melihat petani menyemprotkan sesuatu ke sawahnya”. Sahut si ular.

“Pasti karena itu ular. Aku bingung, siapa sih yang mengajari para petani untuk menggunakan bahan beracun itu”. Ucap si cacing. 

Tidak lama kemudian, kumbang juga datang dengan wajah memelas.

“Teman-teman, kalian dengar berita hari ini tidak?”. Tanya si kumbang kepada dua sahabatnya.
“Tidak kumbang, memangnya ada apa sih?”. Sahut si ular.

“Pokoknya hari ini, Minggu 20 Desember 1980 kita telah kehilangan pekerjaan akibat revolusi hijau manusia. Peran kita untuk membantu para petani menyuburkan tanah dan tanamannya telah tergantikan dengan pupuk dan pestisida. Katanya pupuk itu untuk menyuburkan tanah, sedangkan pestisida untuk membasmi hama. Padahal kan kita bertiga telah melakukan peran-peran itu”. Ucap si kumbang.

“Begitu yah, pantas saja. Para petani tidak tahu bahwa penggunaan bahan kimia itu dapat mengganggu kesehatan. Dampak yang lebih nyata adalah terjadinya polusi tanah pertanian yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan dan peranan mikroba berguna dalam tanah. Akibatnya antara lain terjadi akumulasi garam-garam dan logam berat seperti Cu, Al, dan Cd dalam tanah, dan meningkatkan kemasaman tanah”. Cacing coba menjelaskan.

“Sepertinya sebentar lagi kita akan dilupakan oleh para petani akibat bahan-bahan beracun itu. Dan dapat diramalkan bahwa 50-100 tahun ke depan para petani tidak bisa lagi menggarap lahannya. Karena penurunan kualitas tanah, dimana tanah akan mengeras akibat penumpukan bahan-bahan kimia”. Ucap si Kumbang.

“Iya yah, padahal jika hanya ingin menyuburkan tanah, kan bisa menggunakan bahan-bahan alami. Seperti kotoran ternak dan sisa-sisa tanaman. Semua itu kan berfungsi meningkatkan kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, meningkatkan produktivitas tanaman, merangsang pertumbuhan batang dan daun, serta menggemburkan dan menyuburkan tanah. Lagipula biayanya tidak mahal jika dibandingkan dengan pupuk kimia. Dengan harga pupuk kimia yang mahal, itukan bisa membebani para petani”.  Keluh si Cacing.

Sambil merenungi nasib, ketiga pekerja ini memutuskan untuk berhenti bekerja di sawah dan pulang ke kampung halamannya masing-masing. Dengan penuh harap, mereka ingin agar suatu saat para petani mengerti akan dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia terhadap tanah dan tanaman. Dan tidak menyepelehkan peran organisme lokal di alam ini yang dapat membantu para petani.


.