Kuda Yang Bermetamorfosis

Kala pagi menerangi kelurahan Tolo, ditengah udara yang cukup dingin, tidak menyurutkan semangat para pekerja untuk berangkat ke tempat pengaduan nasibnya masing-masing. Di sisi lain, sebagian orang juga sedang berbondong-bondong menuju ke pasar untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari.  Karena waktu itu telah memasuki hari Sabtu, yang memang merupakan jadwal pasar Tolo, maka masyarakat memanfaatkan hari itu untuk berbelanja.

          Tepat pukul 07.30 pagi, akupun menyempatkan diri berkunjung ke pasar tersebut untuk melihat tempat penjualan Kuda yang sering diceritakan oleh teman-teman saya. Dalam perjalanan ke pasar, tampak beberapa laki-laki paruh baya bersama anaknya menarik kuda-kudanya yang akan di bawa ke pasar untuk di jual. Semakin menambah rasa penasaran saya seperti apa tempat perdagangan kuda tersebut.

        Setelah tiba di pasar dan memasuki lokasi tempat perdagangan kuda, langsung tampak hamparan lautan kuda yang disertai dengan suara rintihannya, serta orang-orang yang sedang sibuk menawar harga. Ditempat tersebut terdapat bermacam-macam warna kuda yang siap di jual. Yah, sangat wajar jika pendatang seperti saya langsung mengidentikkan Jeneponto dengan kuda.
   
         Namun jika melihat kuda, aku langsung teringat dengan perkataan salah seorang teman saya. 

         “Bagusnya logo Jeneponto di ganti saja dengan gambar Burung Puyuh”.

         Kalau mengingat perkataan tersebut aku serasa ingin tertawa terbahak-bahak. Apa pula maksud dari perkataannya itu. Jika ingin mengganti logo Jeneponto dengan gambar Burung Puyuh, maka bersiap jugalah kau dikutuk oleh nenek moyang pendiri daerah ini menjadi seekor Burung Puyuh. Ucapku dalam hati sambil terus menatap ratusan ekor Kuda yang ada di depan mataku.

        Lama aku menatap ratusan ekor kuda yang ada di tempat tersebut sambil mencoba mencerna maksud dari perkataan teman saya itu. Tiba-tiba terlintas dalam fikiran saya analogi antara kuda dan keadaan Jeneponto saat ini. 

          Jika menganalogikan Kuda dengan kondisi Jeneponto saat ini, sangatlah tidak pas. Kuda yang dalam beberapa mitologi, adalah  hewan perkasa dan merupakan tunggangan dalam medan peperangan. Karena kuda adalah salah satu hewan dengan kemampuan berlari yang cukup hebat dan memiliki kondisi fisik yang memungkinkan untuk mendampingi sang petarung dalam medan pertempuran.

         Nah jika Jeneponto diidentikkan dengan kuda, semestinya laju pembangunan untuk menuju kesejahteraan harus secepat dengan lari seekor Kuda. Namun sebaliknya, Jeneponto malah menjadi daerah dengan pembangunan yang sangat lambat bahkan menjadi daerah yang paling tertinggal di Sulawesi Selatan. Apalagi jika dibandingkan dengan daerah tetangganya, Bantaeng, maka sama saja dengan membandingkan antara bumi dan langit.   

      Selanjutnya, karena diidentikkan dengan kuda yang perkasa, maka seharusnya Jeneponto  memiliki pemimpin yang perkasa dalam dalam menjalankan amanah masyarakat Jeneponto. Tidak memandang susah maupun senang, terus bekerja untuk kepentingan rakyatnya. Bukannya menjadi pemeras dan penindas untuk rakyatnya. Seperti kuda yang terus bekerja untuk sang joki atau petarung dalam medan pertempuran. yah, itulah Kuda dan Jeneponto yang terlintas di fikiranku.

         Setelah sibuk dengan lamunanku, aku mencoba untuk berbincang-bincang dengan salah seorang pedagang kuda di tempat itu. 

        Akupun menghampiri seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi berdiri memegangi kudanya, dengan raut wajah yang tampak murung. Yah, mungkin karena Kudanya yang belum juga laku, sehingga membuatnya tampak murung. 

         “Kuda bapak ini harganya berapa?”, tanyaku.

        “Kalau ini harganya enam juta, karena saya memodalinya dengan harga lima juta lima ratus. Jadi lumayanlah untung sedikit”, ucap si pedagang kuda.
 
         “Oh, jadi ceritanya bapak beli dan jual lagi, begitu?”, tanyaku lagi.

         “iya”.

          “Trus bapak belinya di mana?”.

          “Belinya di salah satu kenalan, dan dia juga mendatangkan dari daerah lain”.

         Kaget juga aku mendengan ucapan bapak itu. Aku fikir kuda tersebut dia pelihara dan kemudian di jual. Tapi ternyata kuda miliknya dibeli dari seorang makelar kuda, dan kuda itu sendiri didatangkan dari daerah lain. Menurut yang dia dengar,alasan kuda didatangkan dari daerah lain karena kebutuhan masyarakat akan kuda semakin meningkat tetapi stok kuda di Jeneponto saat ini tidak banyak. oleh karena itu, pemerintah mendatangkan kuda dari daerah lain untuk memenuhi kebutuhan masyarakatnya. Setelah itu ditadah oleh para makelar dan dijual lagi ke para pedagang kuda di pasaran. Walaupun ada juga yang langsung mengambil di pelabuhan, tempat kuda diangkut dari daerah lain.

         “Kok daerah yang diidentikkan dengan kuda malah mengimpor kuda, bukannya mengekspor. Mestinya kan bisa di ternakkan sendiri. ”, ucapku dalam hati.

           “Kenapa tidak beternak saja pak, setidaknya tidak butuh modal banyak”, tanyaku ke pedagang kuda yang tadi.

           “Ada juga yang diternakkan, tapi cuma beberapa. Selebihnya itu saya beli. Karena kalau harus beternak waktunya lama nak, sedangkan pemerintah mendatangkan kuda dari daerah lain. Jadi kami yang mengandalkan penjualan kuda, lebih memilih untuk memodali”.

            “Kira-kira banyak atau tidak yang juga memodali kuda?”, tanyaku lagi.

             “Yah sebagian besar pedagang di sini memodali”, jawab si bapak.

           Mendengar ucapan si penjual kuda itu, fikiran ku mengenai analogi antara kuda dan Jeneponto berlanjut. Sepertinya ide teman saya untuk mengganti logo kuda dengan burung puyuh ada benarnya juga. Mengindentikkan Jeneponto dengan kuda tidak relefan lagi saat ini. Pembangunan tidak sekencang lari kuda, karakter sang pemimpin tidak seperkasa kuda, dan yang lebih parah Jeneponto menjadi pengimpor kuda. Bukan exporter kuda. 

Setelah itu aku pun beranjak pulang sambil membawa fikiran ku akan kuda dan Jeneponto. Jika teman saya gagal menjalankan misinya untuk mengganti logo kuda menjadi Burung Puyuh, maka mungkin suatu saat akan ada yang berhasil mengganti dengan gambar kuda lumping.


Buah tangan dari pasar kuda di Jeneponto, mau beli kuda tapi tidak ada uang. Jadi yah, cuma membawa pulang sebuah tulisan singkat.hahahahahahaaa
               
               

Tidak ada komentar:

Posting Komentar