Makassar Menuju Kota Dunia, surga atau neraka?


Dengan alasan modern, Makassar yang dikenal dengan sebutan kota ‘Anging Mamiri’, tidak lama lagi akan disulap menjadi kota yang akan dipenuhi oleh gedung-gedung pencakar langit, pusat-pusat perbelanjaan, yang akan menambah gemerlapnya Kota Makassar. Namun, apakah
kita membutuhkan semua itu?”

            Ketika mendengar ‘kota dunia’, mungkin kita akan membayangkan sebuah kota yang dipenuhi dengan bangunan-bangunan megah, bangunan dengan arsitektur yang diadopsi dari berbagai negara, gedung-gedung pencakar langit, dan yang pastinya seluruh bentuk fisiknya bersifat modern. Lalu, bagaimana jika image kota dunia sebentar lagi akan disandang oleh Makassar?. Mungkin akan menjadi sebuah kebanggaan. Menjadikan Makassar sebagai kota dunia, merupakan visi pemerintah kota Makassar. Namun, benarkah masyarakat Makassar membutuhkan semua itu?, atau hanya angan-angan dari para penguasa saja, yang akan membawa petaka bagi sebagian besar masyarakat Makassar,
            Berbicara mengenai kebutuhan, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa tempat tinggal, pekerjaan, dan makanan akan menjadi kebutuhan pokok setiap orang. Tidak terkecuali masyarakat Makassar, baik kaya maupun miskin. Namun ketika Makassar telah menjadi kota dunia, kota ini akan dipenuhi dengan gedung-gedung pencakar langit, dan berbagai macam bangunan modern yang menjadi simbolnya akan memenuhi tiap-tiap sudut kota, tanpa memikirkan dampak dari pembangunan tersebut terhadap masyarakat Makassar.  Selain itu, apakah dengan pembangunan gedung yang mewah, kebutuhan pokok masyarakat akan terpenuhi?. Maka dari itu, mari kita menilik lebih jauh.
            Program Pemerintah Kota Makassar menuju kota dunia telah berjalan sekitar dua tahun. Saat ini, tengah menjalankan salah satu proyeknya di sepanjang jalan Metro Tanjung Bunga yang dikenal dengan Center Point of Indonesia (CPI). Nantinya, kawasan CPI akan dipenuhi dengan beberapa pusat perbelanjaan seperti mall, wahana hiburan, dan wisma Negara. Tapi ternyata pembangunan mengalami persoalan, karena lokasi pembangunan terletak di daerah pemukiman warga yang dijadikan sebagai sumber mata pencaharian untuk kelangsungan hidupnya.
Sebagain besar warga yang tinggal di lokasi tersebut, berprofesi sebagai nelayan tradisional. Karena letak geografisnya berada di daerah pesisir. Pembangunan CPI berupa gedung-gedung megah di kawasan pesisir, tentunya mebawa efek serius terhadap masyarakat sekitar.
Sebentar lagi kawasan tersebut akan menjadi daerah elite, yang hanya dapat diinjak oleh orang-orang berkemampuan ekonomi lebih, untuk menikmati fasilitas-fasilitas modern. Lalu bagaimana dengan nasib para nelayan tradisional itu?, tentu saja mereka harus angkat kaki, karena daerah itu akan dipenuhi dengan gedung-gedung megah dengan tembok pembatas dan  berbagai aturan yang akan membedakan status sosial antara si kaya dan si miskin. Mereka tidak bisa lagi menggunakan daerah tersebut untuk mencari nafkah. Lalu kemana mereka akan pergi, dan bagaiamana nasib mereka ke depannya?, tidak ada yang tahu.
Selain itu, masyarakat miskin dengan penghasilan rendah yang tinggal di sekitar Kawasan Pembangunan CPI, hanya akan dapat menjadi penonton setia melihat megahnya gedung pencakar langit, mereka hanya bisa bermimpi untuk menginjakkan kakinya di tempat tersebut, karena permasalahan ekonomi. Jadi apakah itu semua adalah kebutuhan bersama?, ternyata tidak, karena itu semua hanyalah kepentingan segelintir orang saja dan semakin memperjelas batas-batas antara si kaya dan si miskin.
Lain halnya yang terjadi dengan masyarakat Pandang Raya, sebuah perkampungan kumuh yang bertempat di daerah Panakkukang, Makassar, bersebelahan dengan mall,  terancam digusur oleh seorang pengusaha. Pemukiman warga Pandang Raya akan dimanfaatkan untuk pembangunan pusat perbelanjaan. Padahal tanah yang sudah mereka tinggali selama 20 tahun itu, jelas memiliki akta dan surat kepemilikan. Namun anehnya,, pemerintah yang seharusnya menjadi tempat mereka berlindung, malah lebih memihak kepada si pemodal daripada rakyatnya sendiri. Lalu, dimana keadilan itu kalau rakyat miskin selalu menjadi tumbal dari apa yang disebut pembangunan dan kemunafikan para penguasa.
Itu semua adalah sebagian kecil potret dari dampak visi “Makassar go to world city”. Jadi benarkah kita semua membutuhkan kota dunia?, apakah kita masih akan mengagung-agungkannya?. Kota dunia itu hanya berisi ambisi para penguasa.  Mereka tidak ingin kotanya dikatakan ketinggalan jaman, karena tidak mempunyai gedung-gedung pencakar langit, mall-mall besar dan seluruh bangunan-bangunan modern, tanpa memikirkan kepentingan banyak orang. Sedangkan di dalamnya, masih banyak orang yang harus kehilangan nyawanya karena kelaparan, karena mempertahankan apa yang menjadi hak mereka, apakah itu yang dinamakan kota modern? Kota yang berisi kemunafikan dan hanya membawa keuntungan bagi segelintir orang.