Rumah Sakit Ala Pesulap


Beberapa waktu yang lalu, pihak Unhas mengeluarkan aturan berupa larangan beroperasi bagi angkutan umum (pete-pete) dengan alasan untuk mengurangi polusi dan mengatasi kemacetan dibeberapa titik. Hal tersebut diungkapkan oleh Halim Handoko selaku Biro Administrasi Umum Unhas. “pihak Unhas hanya berupaya mengurangi polusi dan kemacetan di area kampus”, ucap Halim saat ditemui di ruangannya.
                Namun disisi lain, berdasarkan hasil survei tim CAKA di lapangan pada salah satu titik kemacetan yaitu jalan pintu dua Unhas, yang memenuhi sisi-sisi jalan bukanlah angkutan umum, melainkan kendaraan pribadi. Yang menjadi pertanyaan, apakah benar bahwa angkutan umum memberikan sumbangsih yang sangat besar atas kemacetan di Unhas?
Dampak dari pembangunan Rumah Sakit
                Saat ini, para pimpinan Unhas sedang sibuk menata kampus merah untuk menuju World Class University. Salah satu yang menjadi simbol dari impian tersebut adalah Rumah Sakit pendidikan yang dibangun di daerah pintu dua. Tidak tanggung-tanggung, dalam waktu setahun dua bangunan rumah sakit berhasil dibangun. Menurut Halim Handoko, kedua Rumah Sakit tersebut merupakan proyek yang didanai oleh pusat. “ini merupakan bantuan dari pusat, khusus untuk membangun Rumah Sakit pendidikan, bukan karena rektor Unhas yang merupakan orang kedokteran”, ucapnya.
                Jalur pintu dua merupakan jalan yang selama ini digunakan untuk berbagai kepentingan. Mulai dari angkutan umum, masyarakat yang ingin mencari nafkah sebagai pedagang di dalam kampus, pedagang kaki lima, mahasiswa dan para pengunjung Rumah Sakit, baik Rumah Sakit Wahidin maupun Unhas. Sebelum Rumah Sakit Unhas berdiri, terlebih dahulu telah berdiri Rumah Sakit Wahidin Sudirohusodo, dan dulunya sisi jalan dipenuhi oleh pete-pete yang parkir menunggu penumpang yang akan menggunakan jasa angkutan umum dan pedagang kaki lima yang menjajalkan jualannya.
                Berdasarkan pengamatan tim CAKA di lapangan, setelah Rumah Sakit pendidikan unhas didirikan, jalanan tampak semakin padat akibat bertambahnya kendaraan pribadi yang parkir di sisi jalan, mulai dari pagi hingga sore hari. Belum lagi dengan angkutan umum yang harus parkir untuk menunggu penumpang, yang kadang harus berhenti di tengah jalan akibat sisi jalan telah dipadati oleh kendaraan pribadi walaupun jalan telah diperlebar. Yang menjadi pertanyaan, apakah yang menyebabkan semakin bertumpuknya kendaraan? sehingga menyebabkan sirkulasi di jalur pintu dua tampak semakin sembrawut.
                “Sim Salabim”, mungkin kata itulah yang tepat untuk menggambarkan kedua bangunan milik Unhas tersebut.  Kedua Rumah Sakit yang dibangun  melalui bantuan dari Kementerian pendidikan dan kebudayaan itu tampak dipaksakan di atas lahan yang sempit, sehingga sirkulasi di kawasan tersebut semakin sembrawut, bukannya tertata semakin baik. Dengan kata lain, kedua bangunan tersebut tidak terencana dengan baik, dan sangat dipaksakan keberadaannya. Hal ini semakin dipertegas dengan tidak adanya master plan untuk rencana pembangunan infrastruktur saat tim CAKA coba mempertanyakan pada Biro Perencanaan Unhas.  Dimana idealnya, penataan sebuah ruang harus didahului dengan master plan pembangunan untuk mengatur dimana sebaiknya sebuah bangunan sebesar Rumah Sakit harus ditempatkan.
                Rumah sakit pertama yang berada di sudut jalan jelas sangat merusak sirkulasi. Menurut hasil seurvei tim CAKA, tidak tersedianya lahan parkir untuk dokter dan para pengunjung rumah sakit membuat mereka harus parkir di pinggir jalan. Semestinya, untuk bangunan seperti rumah sakit harus mempertimbangkan banyaknya pengunjung yang akan datang dan pasti menggunakan kendaraan, setidaknya memperkirakan banyaknya pasien dan penjenguknya. Belum lagi Rumah sakit tersebut adalah Center pengobatan, yang secara otomatis akan menarik perhatian masyarakat yang ingin menggunakan jasa pengobatan. Sehingga masyarakat akan berbondong ke rumah sakit tersebut karena daya tariknya. Lalu bagaimana jika semua orang yang menggunakan kendaraan akan berbondong ke rumah sakit tersebut?. Maka macet akan semakin parah.
                Kedua, arsitektur rumah sakit tersebut sangat diskriminatif. Tidak adanya jalan khusus untuk penyandang tunanetra, tunadaksa, dan tunarungu. Sehingga sangat membahayakan jika orang yang cacat harus ke Rumah Sakit tersebut, melihat padatnya kendaraan yang berlalu lalang di daerah itu. Ditambah lagi bangunan itu berada di tepi jalan. Seakan pihak Unhas berfikir bahwa orang yang akan berkunjung ke Rumah sakit itu semuanya adalah orang yang sempurna secara fisik.
                Sama halnya dengan Rumah Sakit kedua, besarnya bangunan tidak seimbang dengan luasnya lahan parkir. Selain itu, bangunan tersebut menghilangkan separuh Ruang Terbuka Hijau (RTH) dan daerah resapan air. Pada musim hujan, biasanya jalan di pintu dua akan tergenang, dan jika daerah tersebut telah dibeton, maka tidak ada lagi tanah yang akan menyerap air karena telah dibeton.
                Halim Hamdoko mengatakan bahwa semestinya para prtinggi Unhas mempertimbangkan baik-baik untuk terus membangun, karena Unhas adalah salah satu hutan terbuka di Makassar. “semestinya mahasiswa menegur para pimpinan agar tidak terus membangun infrastruktur di area kampus, karena akan mengancam salah satu hutan terbuka di Makassar”. Ucapnya.
                Menurut Muhammad Cora, seorang arsitek lulusan Unhas. Semestinya sebelum membangun, pihak Unhas melakukan sosialisasi ruang. “sosialisasi ruang dalam hal ini adalah konteks aktivitas, sejarah ruang, hak dan kewajiban mengakses ruang. Semestinya unhas mempertimbangkan aktivitas apa saja yang yang terjadi di daerah ini, siapa saja yang menggunakan dan sampai dimana hak dan kewajiban Unhas menggunakan ruang”, ucapnya.
                Cora menambahkan, “seharusnya pihak Unhas mempertimbangkan bahwa jalur pintu dua tidak hanya digunakan oleh dokter tetapi ada pedagang kaki lima, angkutan umum, serta orang-orang yang mempunyai hak untuk mengakses jalan tersebut. Karena semestinya unhas sebagai institusi yang mempunyai kewajiban mengabdi pada masyarakat harus mempertimbangkan hal-hal tersebut. Selain itu penataan ruang harus bersifat partisipatif, agar dalam penataan tidak ada pihak yang dirugikan”, tutur Cora.
Aldi, salah satu supir pete-pete 07 mengatakan bahwa sebenarnya bukan pete-pete yang menyebabkan kemacetan. “dari pagi hingga sore saya berlalu lalang di daerah ini, dan saya sangat jelas melihat bahwa kendaraan pribadi sering parkir seenaknya sehingga kamipun kadang pusing ingin berhenti dimana untuk menaikkan penumpang. Kami juga punya aturan, jika sisi jalan penuh maka kami tidak berhenti, namun jika telah ada penumpang yang memanggil terpaksa kami berhenti sejenak ditengah jalan. Mau bagaimana lagi, penumpang juga membutuhkan kami. Tapi mengapa kami yang dianggap sebagai biang kemacetan”, tutur aldi.
Sama halnya dengan yang dikatakan oleh dokter Abdillah, salah satu pegawai di Rumah Sakit Unhas. Menurutnya fasilitas di Rumah Sakit ini tidak memadai termasuk untuk lahan parkirnya. “fasilitas di rumah sakit ini sangat tidak memadai, termasuk untuk lahan parkir. Jadi mau tidak mau kita harus parkir di sisi jalan”, tuturnya.
Kedua Rumah Sakit yang dibangun secara mendadak dan tanpa kajian yang mendalam itu jelas sangat memperparah keadaan, sehingga lagi-lagi harus mengorbankan pete-pete. Yang menjadi pertanyaan, mengapa kedua bangunan tersebut dipaksakan berdiri di daerah tersebut?. Mungkin para petinggi Unhas ingin memperlihatkan pada publik bahwa inilah rumah sakit kami yang megah.
Go Green?  
                Konsep go green Unhas sebenarnya masih menuai tanda tanya besar. Jika angkutan umum dilarang beroperasi demi mengurangi polusi, mengapa kendaraan pribadi juga tidak dibuatkan aturan yang sama. Halim Handoko saat dimintai pendapatnya mengenai hal tersebut malah melontarkan jawaban yang tidak sepantasnya pada tim CAKA. “kalian ini bertanya pakai otak atau tidak? Kalian saja yang memprovokasi mahasiswa untuk tidak menggunakan kendaraan bermotor”, ucapnya.
                Pembangunan kedua rumah sakit Unhas adalah salah satu yang mematahkan konsep tersebut. Dengan adanya kedua bangunan itu, kendaraan bermotor yang sangat jelas menyebabkan polusi semakin bertumpuk. Beberapa waktu yang lalu, Jokowi selaku gubernur DKI Jakarta ingin meremajakan angkutan umum untuk mengurangi polusi dan kemacetan. Namun pihak Unhas malah menghilangkan angkutan umum dan membiarkan kendaraan pribadi semakin bertumpuk karena ingin menanggulangi kemacetan dan polusi.
                Ditambah lagi dengan ulah para dokter yang katanya adalah profesi yang go green namun tidak mempunyai etika. Jika memang para dokter adalah profesi yang menerapkan go green dan paling steril, maka mereka tidak akan menambah tumpukan kendaraan di jalan pintu dua dan menambah polusi. Belum lagi ketika mereka harus memarkir mobilnya di sisi jalan.