Soal Revolusi, Kerja, dan Kesabaran


Membincangkan revolusi, penulis teringat akan satu pengalaman ketika secara tidak sengaja bertemu dengan sekelompok aktivis di salah satu kampung di kota Makassar. Waktu itu, para aktivis tersebut berkunjung ke salah satu rumah warga, dan tanpa basa-basi, dengan suara lantang, menjelaskan ikhwal sebuah permasalahan, kemudian meminta kesediaan warga agar berpartisipasi untuk sebuah perlawanan. Terdengar begitu dahsyat dan revolusioner.
    
Begitupun di beberapa tempat lain, dimana penulis sering kali mendengar sebuah khotbah revolusioner yang bagaikan menatap rembulan di malam hari, kemudian membayangkan bahwa esok akan terjadi sebuah peristiwa penting yang akan mengubah jalannya sejarah.

Tidak ada yang salah jika mendiskusikan dan menebarkan semangat revolusioner kepada orang-orang tertindas, itu benar, karena orang-orang tertindas memang harus melawan. Tapi pertanyaannya, apakah hari ini orang-orang tertindas telah siap untuk merubah keadaan?, ataukah kaum terdidik hanya bersikap seperti pemadam kebakaran?. Datang ketika ada masalah mendadak, jika tidak, bangun di sore hari pun tak mengapa.

             
   ********
      
Mungkin tidak sedikit kaum terdidik hari ini yang lupa bahwa, bagi petani kecil di sebuah desa terpencil, uang sekolah dan jajan untuk anak-anak mereka merupakan beban besar yang akan dibawa hingga terlelap. Kemudian berfikir bagaimana memasarkan hasil pertanian, bagaimana menuntaskan persoalan hama, pupuk, dan tentang kaum miskin kota yang hanya menghabiskan waktunya untuk memikirkan esok harus makan apa. Berbagai persoalan tersebut tidak akan tuntas dengan mengkhotbahkan ikhwal sebuah revolusi.
  
Subcomandante Marcos, tokoh revolusioner di Amerika Latin, tidak memulai sebuah pemberontakan revolusioner melawan pemerintahan kapitalis dengan sepenggal ceramah ala tokoh-tokoh agama, dan tidak juga memulai dengan sepenggal orasi-orasi revolusioner. Bukannya tidak penting, tetapi yang mensyaratkan sebuah semangat revolusioner adalah kesadaran revolusioner.
     
Marcos justru memulai pemberontakan dengan banyak bercerita kepada masyarakat Indian di Mexico tentang mitos Zapata, salah seorang tokoh Indian di era penjajahan spanyol. Selain itu, lebih banyak mendengarkan pengalaman-pengalaman orang tertindas itu sendiri. Yang tidak kalah penting, Marcos juga memulai dengan memikirkan bagaimana agar para petani tetap dapat melangsungkan aktivitas pertaniannya.
    
Begitupun dengan yang dilakukan oleh Mao Zedong di Cina. Jauh sebelum pemberontakan partai komunis cina meledak, Mao tidak dengan tergesah-gesah menceramahi kader partai dan para petani untuk segera melawan. Dia mendidik kader partai untuk memimpin para petani dengan tinggal dan bekerja bersama mereka, memakan makanan mereka, dan berpikir dengan cara pikir mereka.
       
Apa yang diajarkan Mao kepada kader partai komunis cina, mungkin memang benar adanya. Pertama-tama adalah tidak memposisikan diri sebagai orang luar. Dalam hal ini tidak memaksakan terlebih dahulu imaji serta fantasi tentang perlawanan dan revolusi pada sebuah konteks kenyataan yang belum tentu mampu melawan dan menginginkan sebuah revolusi. 
    
Menumbuhkan kesadaran revolusioner untuk melawan, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan, tidak pula semudah memberikan doktrin tentang surga dan neraka, lantas orang-orang akan patuh. Kesadaran revolusioner harus hadir dari lubuk hati yang terdalam, melalui pengalaman yang didialogkan. Dia mesti bangkit dengan sendirinya.

Menumbuhkan kesadaran revolusioner orang-orang tertindas mesti dimulai dengan terlebih dahulu memahami kebudayaan mereka, bagaimana cara-cara hidup mereka, dan yang terpenting adalah bagaimana mereka memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Lalu mendengarkan apa yang menjadi keresahan di balik seluruh hal tersebut. 

Setiap orang memiliki keresahannya masing-masing, entah bersifat individu maupun dalam konteks keluarga. Keresahan itu akan menjadi beban dalam fikiran yang kemudian menyulitkan orang untuk berpindah kesadaran. Keresahan itu mesti didengarkan hingga tuntas, dirasakan hingga ke lubuk hati yang terdalam, memposisikan diri kemudian bersama-sama memikirkan dan bekerja untuk memecahkan persoalan tersebut terlebih dahulu. Hingga mereka mampu menyelesaikan persoalan pada dirinya dan sadar bahwa setiap masalah bisa dituntaskan dengan berbagai jalan keluar. Hal ini membutuhkan tingkat kesabaran yang tinggi.
   
Tidak hanya membekali diri dengan kemampuan mengkhotbah serta teks-teks orasi ala manifesto komunis yang kemudian disampaikan dengan lantang ke telinga orang-orang tertindas. Tugas kaum terdidik tidak seperti pekerjaan para pengkhotbah di rumah-rumah ibadah, memperbanyak bicara, dan sedikit mendengar.  Tetapi banyak mendengar dan lebih banyak bekerja.
   
Bagaimanapun, membayangkan soal perlawanan dan revolusi, ibarat membayangkan galaxy lain yang dijelaskan oleh ahli-ahli antariksa. Melalui penjelasan ilmiah, kita tahu bahwa itu ada, tapi tidak pernah sama sekali menginjakkan kaki di tempat tersebut.
 
Yah membayangkan sebuah revolusi tidak sama dengan meneguk segelas kopi sembari menghisap sebatang rokok, yang hanya sekedar menikmati sensasinya.  Tidak sedahsyat menyaksikan film-film dan membaca buku-buku revolusioner, lantas berfantasi tentang revolusi.

 Dalam upacara pemakaman Marx, engels menyampaikan sebuah pidato yang salah satu potongannya adalah, “sebelum beragama, berbudaya dan berpolitik, mula-mula orang harus bisa makan, berpakaian dan punya tempat tinggal”.

#tulisan ini dimuat dalam rubrik literasi koran tempo makassar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar