Tulisan ini merupakan outline dari beberapa bacaan guna pengajuan ide penulisan tugas akhir untuk mengganti ide yang sebelumnya (ditulis 2 tahun yang lalu)
Dalam sejarah perjalanannya,
disiplin ilmu arkeologi terus mengalami pembaharuan dengan merefleksi teori dan
metode melalui berbagai jenis penelitian. Salah satu implikasi dari penelitian
yang pernah dilakukan adalah, lahirnya berbagai definisi baru mengenai
arkeologi. Hal ini merupakan upaya untuk terus mengokohkan posisi arkeologi
sebagai disiplin ilmu yang mampu membaca titik balik sebuah peradaban.
Schiffer, Rathje dan Deetz adalah beberapa tokoh yang dapat dikatakan
memberikan sumbangsih besar.
Schiffer (1976) mendefinisikan arkeologi sebagai disiplin ilmu yang mengkaji hubungan timbal balik antara manusia dan kebudayaan materi dalam ruang dan waktu apapun. Begitupun dengan Rathje (1979), menyarankan bahwa arkeologi harus didefinisikan sebagai studi tentang interaksi antara budaya material dan perilaku manusia atau ide, terlepas ruang dan waktu (Rathje 1979: 2, dalam Harrison dan Schofield 2010: 24). Kedua definisi tersebut sejalan dengan James Deetz (1967), yang memasukkan arkeologi sebagai bagian dari antropologi :
“Archaeology
is the special concern of a certain type of anthropologist. We cannot define
archaeology exept in reference to anthropology, the discipline of which it is a
part”.
Definisi yang diajukan oleh Schiffer dan Rathje, memiliki
latar historis dalam sejarah perkembangan disiplin ilmu arkeologi yang dimulai
dengan penelitian etnoarkeologi, dan kemudian berkembang menjadi suatu fokus
kajian yaitu archaeology of the contemporary past/resent past[1].
Hal itu bermula pada tahun 1960. Setelah “New Archaeology” diperkenalkan oleh
Binford, arkeologi melakukan penelitian pada suku Nunamiut dan Kung Kalahari modern
di Afrika Selatan. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari alat-alat batu
dan tulang yang dikumpulkan oleh kedua suku tersebut dan digunakan untuk
keperluan sehari-hari. Hal ini sebagai upaya untuk mencari analogi dalam
menjelaskan situs-situs paleolitik (Harrison dan Schofield 2010: 23). Arah
penelitian ini kemudian dikenal dengan pendekatan ethnoarchaeology. Pendekatan ini, melibatkan studi tentang sisa-sisa bahan kontemporer dari aktivitas
manusia guna menghasilkan
kaidah serta hubungan antara budaya material dan bentuk universal dari
perilaku manusia (David dan Kramer 2001, dalam Harrison dan Schofield 2010: 23).
Buah dari
pendekatan ethnoarchaeology dalam “New Archaeology”, menjadi landasan awal
untuk publikasi mengenai kajian material kontemporer dalam arkeologi,
dipublikasikan oleh Schiffer (1976) dan Rathje (1979), yang dikenal dengan “Modern Material Culture Studies”[2]. Merupakan
pencapaian akhir dari model ethnoarchaeology yang dikembangkan sebelumnya. Fokus ini berawal dari penelitian yang dikembangkan oleh Schiffer (melalui
proyek bihavioralnya) dan Rathje (melalui proyek garbologynya)
di University of Tucson, Arizona selama tahun 1970-an. Dimana penelitian telah dilakukan pada masyarakat yang menggunakan
teknologi tradisional dalam nuansa
kontemporer, program mahasiswa yang
dikembangkan di Tucson dan Hawaii (semacam program untuk mengajarkan metode arkeologi pada mahasiswa), dan proyek-proyek yang diuraikan oleh penulis “Modern Material Culture Studies”. Seluruh paper mengenai bahan budaya modern, sebagian besar berkaitan dengan deskripsi dan analisis materi budaya kontemporer di era modern, atau masyarakat industri (Harrison
dan Schofield 2010 : 24).
Menurut Rathje
(1979), dalam meneliti budaya material kontemporer, teori dan metode arkeologi
berguna untuk mencapai pemahaman
yang lebih baik tentang isu-isu yang menjadi perhatian publik saat ini, termasuk diantaranya menilai limbah dan metode yang diusulkan untuk minimalisasi limbah, langkah-langkah diet dan pemenuhan
nutrisi, evaluasi partisipasi setiap rumah tangga dalam menghasilkan limbah (Rathje 2001: 63, dalam Harrison dan Schofield 2010: 26)[3]. William Rathje (1979), dalam proyek garbology-nya pada tahun 1970-an di wilayah Amerika Utara, mencoba
mengungkap perubahan-perubahan budaya pada masyarakat modern melalui
sampah-sampahnya. Garbology project
adalah penelitian yang memadukan antara data ekskavasi, kuesioner dan statistik dalam menjelaskan temuan. Seperti
yang diungkapkan oleh Rathje (1979):
“The Garbage Project is one of the longest
running studies in the archaeology of the contemporary past, and has involved
the meticulous excavation and documentation of garbage dumps and land fills,
and the comparison of excavated data with questionnaire data and statistics on
consumption and use of food and consumer goods. The project has provided data
that have been used to interpret issues as diverse as diet and nutrition,
social stratification, recycling, and waste management.”
Sama halnya dengan yang dilakukan oleh arkeolog di Inggris
pada tahun 1980-an, mengkaji arsitektur rumah medieval di Inggris (arsitektur abad pertengahan Inggris) guna
menginvestigasi perkembangan kapitalisme awal (Buchli 2001: 132). Kemudian
dikembangkan dengan mencoba mengungkap kebangkitan sosialisme pasca-kapitalisme
awal pada masyarakat Rusia melalui rumah-rumah komunal masyarakat (The Narkomfin Communal House), yang
kemudian dapat menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri kebangkitan sosialisme
melalui rumah-rumah komunal merupakan negasi dari corak kehidupan kapitalistik
yang semakin individual dan menyebabkan kemiskinan pada tataran masyarakat. Hal
ini untuk menguji model arkeologi sosial pada studi kasus material kontemporer.
Para penganut arkeologi kontemporer (archaeology of the contemporary past) yang memfokuskan diri pada
kajian arkeologi sosial, pasca-kapitalisme awal, melihat bahwa kekayaan tradisi
tekstual pada masyarakat, atau yang biasa disebut pengalaman sosialisme, mampu
mengungkap totalitarianisme yang banyak ditutup-tutupi serta menghubungkan
antara material, perilaku dan perubahan budaya.
Seperti yang diungkapkan oleh Victor Buchli :
“An
Archaeology of socialism was
originally intended as an ethno-archaeological investigation into the
relationship between the material environment, behavior and cultural change. It
was an attempt to engage the work of Pierre Bourdieu and Anthony Giddens and
their respective understandings of habitus
and structuration and relate them to a body ofmaterial culture.”
Yang kemudian menjadi problem pada kebanyakan arkeolog,
utamanya di Indonesia adalah wacana “Modern
Material Culture Studies”, memecah batas-batas disiplin ilmu yang juga mengkaji
material kontemporer, antara lain sosiologi, antropologi, arsitektur hingga teknologi
informasi. Utamanya pada tubuh antropologi, dimana Deetz (1967) memasukkan
arkeologi sebagai bagian dari antropologi.
Pendapat Deetz (1967), sejalan dengan Gosden (1999: 119,
dalam Harrison dan Schofield 2010: 90) yang menjelaskan bahwa, dalam sejarah
perkembangan antropologi, ada dua perpecahan besar di tubuh antropologi yaitu,
antropologi sosial dan budaya. Fokus dalam antropologi sosial adalah melihat
hubungan sosial untuk mempelajari masyarakat manusia dalam sistem kekerabatan.
Sedangkan antropologi budaya berfungsi untuk menginvestigasi hubungan sosial
hingga hubungan antar orang yang tercermin dan dipertahankan melalui
keterkaitan antar manusia, benda dan lingkungan. Kajian arkeologi kontemporer cenderung
dipengaruhi oleh antropologi budaya.
“Modern
Material Culture Studies” memang
menyangkut banyak disiplin ilmu, salah satunya antropologi. Sehingga perbedaan
paling signifikan antara antropologi dan arkeologi terletak pada penggunaan
metode ekskavasi, stratigrafi dan seriasi dalam arkeologi (Harrison dan
Schofield 2010 : 92).
Selain itu arkeologi kontemporer lebih spesifik untuk
mengungkap bagaimana manusia menciptakan benda yang berguna dan bermakna dalam
lingkungan budaya mereka (berfungsi secara individu) dan diubah menjadi budaya
material (bertransformasi hingga memiliki fungsi sosial). Dengan kata lain
menjelaskan praktik sosial dan politik melalui benda.
Dari beberapa
penelitian yang dijelaskan di atas, setidaknya kajian archaeology of the contemporary past memberikan gambaran bahwa
setelah revolusi industri, dan terlebih pada pasca perang dunia, telah banyak
hal-hal fundamental dari masyarakat yang berubah dengan sangat drastis. Mulai
dari pola konsumsi hingga cara bertempat tinggal. Hal tersebut sangat
dipengaruhi oleh struktur ekonomi dan politik modern. Sehingga hal tersebut
dirasa penting untuk diungkap karena menyangkut proses perubahan budaya dalam
masyarakat.
Dalam
konteks kekinian, kajian kontemporer menyangkut banyak aspek. Salah satunya
dalam mengkaji lingkungan kota (urban
environment) sebagai objek dan tradisi me-ruang, dan bermukim masyarakat
yang masih memungkinkan dilacak dengan menggunakan pengalaman-pengalaman
kolektif dan material-material kontemporer.
[1]Contemporary past: masa lalu yang baru-baru saja terjadi/masa lalu yang pelaku-pelakunya
masih hidup.
[2] Awalnya,
etnoarkeologi hanya meneliti masyarakat kontemporer guna mencari analogi dalam
menjelaskan masa lalu. Namun dalam perkembangannya melahirkan kajian modern material culture studies yang tidak
hanya meneliti masyarakat kontemporer, namun juga meneliti artefak dari
masyarakat kontemporer tersebut.
[3] Untuk
pembahasan lebih lengkap mengenai sejarah awal perkembangan kajian kontemporer
dalam arkeologi, periksa karya Harrison dan Schofield yang diterbitkan pada
tahun 2010 dengan judul “After Modernity:
Archaeological Approaches to the Contemporary Past”, pada halaman 21-53. Pada bagian ini, juga dijelaskan
mengenai kritik pasca-prosesual terhadap cara prosesual memandang budaya
kontemporer yang terlalu empiris. Dari kritik itu lahir arkeologi kritis, sebagai
motivasi politis. Hal ini membuat arkeolog harus menyelidiki hingga ke hal-hal
yang sifatnya ideologis, ketidaksetaraan yang telah diciptakan di masa lalu dan
dampaknya hingga saat ini. Sehingga dari seluruh penjelasan itu, dapat dilihat
bahwa “Modern Material Culture
Studies/contemporary past/recent past” bukanlah problem paradigmatik, namun problem time and space.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar