Pendidikan Rakyat : Proposal Untuk Gerakan Anti Korupsi




Wacana pemberantasan korupsi, semakin mencuri konsentrasi publik dan semakin menggaung saat ketua KPK, Abraham Samad, di non-aktifkan dari jabatannya. Hal ini dianggap memperlemah posisi KPK dalam urusan memberantas korupsi. Karena bagi beberapa pihak, memberantas korupsi adalah pekerjaan utama yang mesti segera dituntaskan. Karenanya, lembaga-lembaga atau gerakan anti korupsi ikut menjamur untuk mengampanyekan soal pemberantasan korupsi.

Dari berbagai kelompok anti korupsi yang mencuat ke permukaan, sebagian besar memiliki cara pandang yang sama soal akar masalah dari korupsi. Ada yang menaruh fokus tentang hilangnya akhlak, kejujuran, moral, dan berujung pada solusi tentang pendidikan karakter. Kemudian yang sedikit lebih maju, menggeser pendiskusian pada persoalan lemahnya prosedural hukum dan aparatus negara. Benarkah demikian?
***

Banyak yang bilang bahwa korupsi terjadi karena hilangnya moral-dalam pengertiannya yang paling abstrak-dan lemahnya prosedur hukum, yah ada benarnya. Tapi cara pandang seperti itu, hanya melihat korupsi sebagai persoalan kriminal semata. Bahwa ada banyak kriminal-kriminal pesakitan yang mesti ditekan oleh prosedur hukum, serta keharusan memilih orang ‘bermoral’ dalam kerja-kerja politik. 

Namun faktanya, prosedur hukum dan kehadiran sosok ‘bermoral’ tidak memadai dalam menghalau praktik korupsi. Setelah orde baru runtuh, beberapa lembaga dan institusi didirikan khusus untuk menangani kasus korupsi, KPK misalnya. Tapi sayangnya, institusi seperti KPK yang didalamnya berisi orang-orang berkompeten dan ‘bermoral’, hanya menjadi semacam hero setelah praktik korupsi terjadi. Menangkap kemudian menghukum si pelaku.  

Berdasarkan data yang didapat dari KPK, jumlah perkara korupsi di dalam institusi-institusi politik tidak memiliki kecenderungan menurun setiap tahunnya. Korupsi yang masih selalu dianggap semata-mata sebagai permasalahan kriminal, kebanyakan dilakukan oleh mereka yang berada di kementerian. Dari tahun 2004 hingga 2011, terdapat 91 perkara korupsi yang terjadi di kementerian, disusul dengan 49 perkara di pemkab/pemkot, 27 di pemerintah provinsi dan DPR, serta 22 di BUMN dan BUMD.

Temuan di atas menjelaskan bahwa solusi prosedural dalam bentuk penataan institusi dan lembaga, seperti pembentukan KPK dan pencarian orang-orang ‘bermoral’ tidak mampu menghentikan korupsi. Kita tidak pernah mundur pada pertanyaan, mengapa ada pelaku korupsi? Sistem seperti apa yang memungkinkan adanya celah untuk melakukan korupsi?.

Dalam hal ini, korupsi hanya dimungkinkan apabila sistem ekonomi dan politik yang bekerja memiliki celah yang kemudian membuka peluang besar. Bahwa sistem demokrasi yang beririsan dengan sistem ekonomi-katakanlah kapitalisme-melahirkan sebuah benturan yang tidak terelakkan, dimana kerja-kerja politik ditentukan oleh mode produksi kepemilikan pribadi dan nilai-nilai pasar. Mungkin ada baiknya kita mengulas satu contoh, dalam praktik politik elektoral misalnya. Sebuah sistem yang menseparasi kekuasaan penuh dari rakyat.   

Demokrasi yang beririsan dengan mode produksi kapitalisme, melahirkan sebuah sistem politik berdasarkan kepemilikan dan pasar. Pembiayaan terhadap partai oleh perusahaan, dan biaya lamaran seorang peserta pemilu kepada partai, tidak terelakkan dan selalu dapat diakomodir oleh orang-orang yang berhasil mengakumulasi kekayaannya. Apakah ini terlarang? Tidak, hal ini legal.

Hal ini menjadi legal karena demokrasi yang telah kehilangan substansinya membuka selebar-lebarnya ruang kompetisi dengan dalih “demokrasi mengakomodir kepentingan-kepentingan individu”. Disatu sisi, rakyat terseparasi dari kekuasaan untuk menentukan mana yang tepat untuk mereka dan mana yang tidak. 

Salah satu contohnya, ketika gagal memenangkan pemilu, Hary Tanoesoedibjo kemudian mendirikan Partai Persatuan Indonesia (Perindo). Begitupun sebelumnya, Wiranto dan Surya Paloh yang memutuskan keluar dari partai Golkar memilih untuk mendirikan partainya sendiri. Konsekuensinya, berbagai partai yang didirikan atas nama demokrasi, tanpa melalui filter rakyat hanya membuka kompetisi berdasarkan kepentingan partai-partai dan individu. Pertarungan di tingkat elite sama sekali tidak ada hubungannya dengan kebutuhan-kebutuhan rakyat.

Mahalnya biaya pembentukan partai, kampanye, hingga perekrutan kader, memaksa partai-partai tersebut untuk mengakumulasi kekayaan dalam tubuh partai. Maka satu-satunya jalan adalah, membuka ruang bagi berbagai kepentingan. Sehingga para tuan tanah, pemilik modal hingga para komparador mempunyai peluang besar untuk mengakumulasi kekayaannya melalui kerja-kerja politik. Maka hal yang pasti untuk melahirkan kesenjangan antara rakyat dan kekuasaan guna mempertahankan status quo.

Konsep “kebebasan” dari demokrasi hari ini, rakyat yang terseparasi dari kekuasaan oleh politik perwakilan, merupakan celah besar untuk melakukan korupsi. Korupsi pun menjadi logis karena kerja-kerja politik membutuhkan biaya yang besar, atau telah dicekoki oleh modal. Kekuasaan rakyat mesti diseparasi dari kerja-kerja politik untuk mempertahankan modal.

Kerja-kerja politik yang “diwakilkan” oleh para borjuasi hanya melahirkan demokrasi kapitalis. Pemilu hanya menjadi ruang untuk mendulang dukungan melalui politik uang. Tidak ada lagi garis dembarkasi antara pengusaha dan politisi, antara kepentingan privat dan publik. Yah, demokrasi hari ini mengaburkan hal-hal tersebut.
***
Penjelasan di atas adalah salah satu hal mendasar dari problem korupsi. Sehingga apa yang dibutuhkan bukan hanya pendidikan moral dan merevitalisasi institusi-institusi hukum. Melainkan membangun kekuatan-kekuatan rakyat guna memotong sistem yang menseparasi kekuasaan dari rakyat. Gerakan anti korupsi mesti keluar dari cara pandang moralis dan mekanisme hukum. Karena pandangan moral dan hukum hanya mereduksi analisis terhadap sistem yang bekerja. Mereduksi asal-muasal legalnya politik uang dalam sistem politik hari ini, apapun bentuknya.

Basic struktur yang dikuasai oleh pemilik modal melahirkan sistem politik yang cacat. Perkawinan antara demokrasi dan kapitalisme menghilangkan substansi dari demokrasi itu sendiri. Maka pertarungan yang sebenarnya adalah bagaimana membuka kanal-kanal kekuasaan di tataran rakyat untuk menghalau kepentingan modal. Atau mengembalikan kerja-kerja politik pada rakyat. Rakyat yang mana? Tentunya rakyat yang selama ini menjadi objek kekuasaan dan kepentingan modal.

2 komentar: