Tulisan ini merupakan outline dari beberapa bacaan untuk pengajuan ide kajian tugas akhir (ditulis 3 tahun yang lalu)
Arkeologi kota yang menempatkan kota Makassar
sebagai objek kajian, telah ramai dilakukan beberapa tahun terakhir. Sebutlah
misalnya Syaharuddin Manysur, yang mencoba mengungkap aspek keruangan kota
Makassar di era kolonial Belanda, serta penelitian yang dilakukan oleh
Asmunandar yang mencoba menggali aspek-aspek penting dari bangunan peninggalan kolonial
Belanda.
Asmunandar (2005) dalam tesisnya yang berjudul “Membangun Identitas Masyarakat Melalui Kota
Kuna Makassar”, menjelaskan bahwa sebaran bangunan era kolonial Belanda
yang masih bisa ditemui hingga saat ini, terdiri dari bangunan pemerintahan,
pendidikan, perumahan, ibadah, militer, pendidikan, perdagangan, social/hiburan
dan kesehatan.
Makassar
Dalam Arkeologi: Identitas yang melekat.
(Pada sub-bab
ini, akan dijelaskan sebaran bangunan-bangunan Kolonial Belanda yang hingga
saat ini menjadi seberkas kisah tentang penaklukan masa lalu).
Berbicara mengenai kota
Makassar, tentu tidak akan terlepas dari sejarahnya sebagai kota yang pernah
mendapat pengaruh kolonialisme Belanda. Hal itu ditandai dengan
bangunan-bangunan ber-aksitektur Eropa. Sejak diambil alihnya Benteng Rotterdam
oleh Belanda pada abad ke 17, pembangunan fisik kota pun dimulai, dan beberapa
bangunan masih dapat dijumpai hingga saat ini.
Jika cikal bakal kota dimulai dari
Benteng Rotterdam, setidaknya ada tiga wilayah yang hingga saat ini masih
terdapat tinggalan bangunan era kolonial Belanda. Yang pertama di sebelah utara
Benteng Rotterdam, yang kedua disebelah timur, dan yang ketiga disebelah
selatan Benteng.
Di sebelah utara Benteng Rotterdam yang meliputi
wilayah pecinan, Jl. Penghibur dan Jalan Sulawesi yang masuk dalam wilayah
kecamatan Wajo, tersebar beberapa bangunan era Kolonial Belanda seperti
Perumahan, sarana ibadah, dan sarana pendidikan. Sebagian besar perumahan,
berada di wilayah pecinan yang didominasi oleh ras Tionghoa, dan rata-rata
dibangun kisaran akhir abad ke 19 dan awal abad ke 20. Adapun beberapa
perumahan yang dulunya dibangun untuk bangsa eropa terletak di jalan Penghibur.
Untuk kawasan ini, ada dua model arsitektur yang mendominasi, yaitu arsitektur
Cina dan Eropa modern. Selain itu, ada juga bangunan yang dulunya berfungsi
sebagai sarana pendidikan bagi etnis Tionghoa dan Pribumi yang dibangun pada
awal abad ke 20, yang juga ber-aksitektur modern. Sedangkan untuk sarana Ibadah, sebagian besar
merupakan sarana ibadah bagi etnis Tionghoa yang rata-rata dibangun pada
pertengahan abad ke 19 dengan bercirikan arsitektur Cina.
Selanjutnya, di sebelah timur
Benteng Rotterdam, juga terdapat beberapa bangunan kolonial Belanda seperti
bangunan perkantoran, pendidikan, kesehatan, Ibadah, dan rumah tinggal. Beberapa sarana yang dulunya berfungsi sebagai bangunan
perkantoran terdapat di Jl. Balaikota Jl. Kartini,
dan jalan Ahmad Yani. Adapun bangunan yang dimaksud meliputi, kantor Balaikota
di Jl. Ahmad Yani, Museum kota Makassar dan
kantor pos di Jl. Balaikota, serta gedung pengadilan di JL. Kartini, yang
semuanya dibanguan pada awal abad ke 20, dan dulunya berfungsi sebagai kantor
untuk keperluan administrasi pemerintah Belanda. Adapun Arsitektur bangunan
pemerintahan didominasi oleh gaya Neo Eropa dan Neo Klasik Eropa, dan beberapa
diantaranya menerapkan konsep garden city. Seperti yang diterapkan pada
bangunan museum kota.
Sedangkan untuk bangunan pendidikan,
terdapat di Jl. Ahmad Yani di sekitar wilayah karebosi. Adapun bangunan yang
dimaksud adalah SMP 6 Makassar dan Kantor
Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Makassar. Sarana pendidikan tersebut
didirikan pada awal abad ke20 dengan ciri arsitektur modern. Dulunya,
bangunan-bangunan tersebut berfungsi sebagai wadah pendidikan bagi anak-anak
keturunan Eropa. Kemudian untuk sarana Ibadah, terdapat gereja Imanuel di JL.
Balaikota yang dibangun pada akhir abad ke 19 dengan ciri klasik gotik dan
gereja Katedral di Jl. Kajaolalido yang dibangun pada awal abad ke 20 dengan
ciri medieval itali. Hingga kini masih berfungsi sebagai rumah Ibadah. Selain
itu terdapat pula bangunan yang berfungsi sebagai rumah tinggal dan sarana
kesehatan yang semuanya berada di Jl. Ahmad Yani dan dibangun pada awal abad ke
20. Serta bangunan yang berfungsi sebagai sarana hiburan seperti gedung society de Harmonie yang terletak di
jalan Riburane dan dibangun pada akhir abad ke 19.
Kemudian bergeser ke sebelah selatan Benteng Rotterdam.
Di wilayah ini terdapat beberapa bangunan kolonial seperti sarana kesehatan,
sarana militer, dan rumah tinggal. Adapun sarana militer yang dimaksud,
beberapa terletak di JL. Rajawali seperti rumah tahanan militer, dan kompleks
purnawirawan kodam VII Wirabuana yang semuanya dibangun pada awal abad ke 20
dengan ciri arsitektur modern. Selain itu terdapat
pula SMA Negeri 16 yang merupakan sarana pendidikan yang terletak di Jl.
Amanagappa dan dibangun pada awal abad ke 20 dengan ciri arsitektur gotik.
Tidak hanya itu, tepat berhadapan dengan pantai losari, terdapat Rumah Sakit
Stella Maris yang dibangun pada awal abad ke 20 dengan ciri arsitektur modern.
Serta beberapa bangunan rumah tinggal yang dibangun pada awal abad ke 20.
Selain Infrastruktur bangunan, Infrastruktur jalan juga
terus berkembang dari abad ke 17 hingga awal abad ke 20. Di kota ini telah
terbentuk yang sejajar dengan garis bibir pantai dan membujur arah
utara-selatan. Empat jalan utama yang membujur, paling barat adalah Cinastraat
(Passerstraat) dan sekarang menjadi Jalan Nusantara, Templestraat
(sekarang Jalan Sulawesi), Middlestraat (sekarang Jalan Bonerate) dan Burgherstraat
(sekarang Jalan Jampea). Jalan-jalan tersebut dipotong oleh jalan yang
melintang timur - barat, sehingga jalan di Kota Makassar sekitar abad ke -17
telah memperlihatkan pola grid. Di sekitar abad ke-17 sistem drainase di
Kota Makassar juga telah ada. Benteng Vredenburg yang terletak di ujung timur Hoogepad,
dikelilingi oleh parit yang airnya berasal dari kanal yang terhubung dengan
laut di sebelah barat. Sekarang ini, kanal tersebut masih berfungsi, menyusuri
sisi utara Lapangan Karebosi dan s ebagian Jalan Jenderal Ahmad Yani, kemudian
berbelok tepat di samping kanan Kantor Kadin, hingga bermuara ke laut. Pada
awal abad ke-19, perkembangan jalan di Kota Makassar semakin membaik ketika
terbentuk jalur jalan yang menghubungkan bagian kota dengan daerah pedalaman
seperti Maros di sebelah timur, dan Gowa di sebelah selatan Para pedagang pun
telah membangun toko pada jalur jalan menuju Maros yang disebut Marosstraat,
atau yang sekarang bernama Jalan Gunung Bulusaraung. Sedangkan jalan menuju
Gowa pa da waktu itu telah dibangun Rumah Sakit Militer yang sekarang bernama
Rumah Sakit Pelamonia. Meskipun demikian, daerah tersibuk tetap pada pusat kota
yakni sekitar wilayah Vlaardingen. (Asmunandar : 2005).
Hingga
memasuki awal abad ke 20, telah dibangun jalur kereta api yang menghubungkan
wilayah pelabuhan dengan Kota Takalar di bagian selatan Kota Makassar. Rel
kereta tersebut melewati jalan yang sekarang dinamakan Jalan Tentara Pelajar
hingga ke Jalan Veteran, sejauh 46 kilometer. Jalur kereta api ini dibuka pada
tahun 1922 namun penggunaannya dihentikan pada tahun 1930, karena dianggap tidak
bersifat ekonomis (McTaggart, 1976: 76, dalam Asmunandar : 2005) .
Dari
penggambaran di atas, meskipun tidak semua bangunan kolonial disebutkan satu
persatu. Namun beberapa bangunan telah mewakili masa, gaya arsitektur serta
fungsinya masing-masing. Setidaknya, penjelasan di atas memberikan gambaran
bahwa kota Makassar memang kota yang banyak mendapatkan pengaruh kolonial
Belanda yang ditandai dengan Arsitektur bangunannya.
Semua wilayah dan bangunan tersebut terbentuk setelah
Belanda berhasil merebut kekuasaan atas kerajaan Gowa pada abad ke 17. Sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa pembentukan wajah kota Makassar sejak abad ke 17
sedikit banyak mendapatkan pengaruh kolonialisme Belanda.
Makassar
Dalam Sejarah: Bonto Ala, Simbol Yang Hilang.
(Menjelaskan
tentang hadirnya kekuasaan lokal yang ikut ambil andil dalam membentuk wajah
kota).
Mattulada dalam bukunya “menyusuri jejak kehadiran
Makassar”, menjelaskan bahwa setelah Belanda berhasil
memenangi peperangan melawan kerajaan Gowa-Tallo dan memindahkan pusat
kekuasaan ke Fort Rotterdam maka lambat laun kitaran benteng yang dinamakan Stad
Vlaardingen menjadi ramai oleh sekutu-sekutu Belanda yang terdiri atas
sekian banyaknya suku-suku bangsa. Fort Rotterdam menjadi pusat kekuasaan dan Vlaardingen
menjadi pusat niaga menggantikan peranan yang pernah dilakukan oleh Somba
Opu (Mattulada, 1991:97).
Perkembangan Makassar sebagai pelabuhan transito di
kepulauan Hindia Belanda bagian timur, mendorong pemerintahan membentuk
pemerintahan kota (Gemeente) pada 1904. Sehubungan dengan rencana peningkatan
perdagangan dikemudian hari, pada 1905 wilayah kota diperluas ke selatan hingga
ke kampong mariso, yang berbatasan dengan wilayah kerajaan Gowa, dank e utara
hingga berbatasan dengan bekas Kerajaan Tallo. Pada 1906 Makassar menjadi
“Kotamadya” (Staads gemeente), (Poelinggomang : 175)
Pada tahun
30-an hingga akhir masa penjajahan Belanda, Makassar berkembang menjadi kota
pelabuhan. Kawasan pelabuhan dijadikan sebagai pusat perdagangan dengan
berbagai kantor, gudang dan toko yang menyatu dengan penghunian.
Bangunan-bangunan yang ada di kawasan ini diantaranya adalah KPM (perusahaan
pelayaran Belanda) dan gedung Javasche Bank (kini bangunan ini telah
hilang akibat perluasan pelabuhan). Sebagai sebuah kota perdagangan maka
di kawasan pelabuhan dibangun gudang diantaranya gudang Mascapai (1920), gudang
beras (1920), dan Tjian Rijan & Co. (1920). (Syaharuddin Mansyur : 82)
Namun tidak hanya itu, dalam penaklukan kerajaan Gowa
dimana Arung Palakka ikut ambil andil dalam peperangan tersebut, membuat Arung
Palakka ikut mengambil bagian dalam menguasai Sulawesi Selatan. Karena hal tersebut, Belanda memberikan kewenangan kepada
arung palakka untuk mendirikan istananya di wilayah Makassar. Adapun wilayah
yang kemudian menjadi pusat pemerintahan Arung Palakka bertempat di Bontoala. Kemudian di daerah ini dibangun istana menghadap Fort
Rotterdam yang dikelilingi oleh tembok keliling dengan halaman yang cukup luas,
gerbang istana ini terletak di pinggir jalan Masjid Raya (sekarang, sayang
istana ini sudah hilang tanpa meninggalkan bekas sedikitpun).
Hal itu
kemudian menjadi cikal bakal pemukiman orang-orang bugis utamanya dari kerajaan
Bone yang bermaksud untuk tinggal dan menetap di Makassar. Ditempatkannya Arung Palakka di dalam wilayah kota
Makassar tidak lepas dari politik Belanda yang menganggap bahwa daerah Bontoala
tersebut merupakan daerah persembunyian orang-orang Makassar yang tetap
melakukan perlawanan terhadap mereka (Mattulada, 1991;99).
Peta 1. Kaart Van De
Hoofdplaats Makassar En Omstheken, tahun 1897
Jika melihat peta kota Makassar di atas, wilayah
Bontoala berada di sebelah timur benteng Rotterdam, yang beririsan dengan
wilayah benteng vredeburg. Setelah Arung Palakka membentuk kekuasaanya di
Makassar. Proses urbanisasi dari kelompok-kelompok kerajaan kemudian mulai
berlangsung dan mengokupasi beberapa wilayah di sebelah selatan Bontoala.
Hingga terbentuk beberapa pemukiman seperti Maradekayya, Tompo Balang, dan Barayya
di sebelah timur.
Karena pembagian kekuasaan ini, Makassar kemudian
menampakkan dua wajah yang tidak hanya berbeda dalam segi fisik, namun juga
berbeda dalam segi unsur pembentuknya. Yang dimaksud dua wajah yang berbeda
dalam hal ini adalah kawasan yang sepenuhnya mendapatkan intervensi Belanda
yang ditandai dengan arsitektur bangunannya. Adapun wilayah yang dimaksud
adalah wilayah sekitar Benteng Rotterdam yang dipadati oleh bangunan-bangunan
colonial seperti pemukiman elite Vlaardingen, Rumah sakit, sekolah dan Benteng
vredeburg yang juga menjadi pembatas kemodern-an wajah kota Makassar. .
Sedangkan wilayah Bontoala dan
sekitarnya menjadi pemukiman masyarakat pribumi yang kebanyakan datang dari
wilayah timur dan berbahasa bugis. Terkecuali orang-orang bugis dari kerajaan
wajo yang diberikan tempat oleh Belanda di sebelah utara Benteng Rotterdam yang
bernama kampong Wajo. Karena hal itu, wilayah Bontoala dan sekitarnya kemudian
menampilkan wajah kota Makassar sebagai sebuah kampong dalam kota.
Peta 2. Makasser En Omstreken, tahun 1916.
Keadaan
tersebut terus bertahan hingga memasuki awal abad ke 20.
Berdasarkan peta Makassar tahun 1916
di atas, sangat jelas bagaimana wilayah Makassar di sekitar Benteng Rotterdam
terus mengalami perkembangan dengan memadatnya pemukiman dan pertokoan seiring
berkembangnya Makassar menjadi kota Industri.
Setidaknya, sejak abad ke 17 hingga awal abad ke 20.
Beberapa sarana dan prasarana dibangun oleh Belanda untuk
berbagai keperluan. Diantaranya, bangunan pemerintahan, bangunan perumahan,
bangunan pendidikan, bangunan keagamaan, bangunan kesehatan, bangunan militer,
bangunan perdagangan, jaringan jalan dan sarana social, yang kemudian tersebar
di beberapa wilayah. Beberapa diantaranya masih utuh dan masih dapat dijumpai
hingga saat ini.
Heather
Sutherland dalam artikelnya yang berjudul “Kontinuitas dan perubahan dalam sejarah
Makassar : perdagangan dan kota di abad ke 18 menjelaskan bahwa, sepanjang
periode colonial belanda dari abad ke 17 hingga abad ke 20, satu pembedaan
dilakukan antara daerah inti dan daerah pinggiran. Fort Rotterdam adalah inti,
dibatasi oleh daerah-daerah yang dianggap sebagian besar dihuni oleh
orang-orang Eropa (termasuk mestizo), seperti Vlaardingen, tetangga di sebelah
timurnya Nieuw Negorij, dan pemukiman yang baru muncul dekat sisi selatan
benteng, Kampung Baru. Inti “Belanda” ini pada kenyataannya campuran ; termasuk
sebagian besar orang Cina, tetapi juga banyak budak dari seluruh Indonesia yang
membentuk lebih dari separuh penduduk. Di sebelah utaraVlaardingen adalah
Kampung Melayu dan Kampunjg Wajo, dibawah kendali tak langsung VOC, orang-orang
Bugis dan Makassar yang diperintah oleh penguasa dan kepala kelompok
masing-masing berada di “luar” kota, tetapi dalam kenyataannya kampung mereka
yang berada di utara dan selatan Benteng ,secara social dan ekonomi
berintegrasi ke dalam Makassar (Heather
Sutherland : 30).
Jika
pada akhir abad ke 19 jumlah penduduk kota ini berada pada kisaran 20 ribu-an
saja, maka setelah penaklukan penguasa-penguasa lokal di Sulawesi Selatan oleh
pemerintah Hindia di tahun 1905-6 jumlah penduduknya terus berlipat. Di tahun
1905 jumlah penduduk kota ini diperkirakan 26 ribu orang. Dua puluh lima tahun
kemudian, menurut hasil sensus tahun 1930, penduduknya lebih dari tiga kali dan
mencapai lebih dari 84 ribu orang. 3500 penduduk eropa, lebih dari 15.000 Cina
dan lebih 65.000 Bumiputera. Dan ini membuat kota Makassar menjadi kota besar
kedua di luar pulau Jawa setelah Palembang.
(Pradadimara : 2004).
Jika
Makassar menampakkan dua wajah yang berbeda, setidaknya kita harus menarik
garis pembatas untuk membedakan antara wilayah kota kolonial yang sepehuhnya
mendapatkan intervensi Belanda, dan wilayah kota yang sepertinya belum cukup
kuat untuk masuk dalam kategori kota colonial Belanda.
Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana menjelaskan
Makassar secara keseluruhan sebagai sebuah wujud kota jika tidak semua wilayah
mengalami proses modernisasi?
Bentuk wajah kota yang mendua, diperjelas dengan sistem
pemerintahan yang mendua pula. Dias Pradadimara dalam tulisannya yang berjudul
“penduduk kota, warga kota, dan sejarah kota : kisah Makassar”, pada tahun 1903
setelah penaklukan penguasa-penguasa lokal, Makassar menjadi sebuah Gemeente
yang berhak mengatur dan memerintah diri sendiri. Yaitu dibentuknya kepala
daerah kota Makassar dan dewan kota.
Adapun pemilihan dewan kota, diatur berdasarkan ras.
Diantaranya, Belanda, timur asing dan Pribumi. Yang kesemuanya beranggotakan 13
orang pada tahun 1903, dan ditambah 2 orang belanda lima tahun kemudian. Dan
pada tahun 1938 ditambahkan lagi 2 orang pribumi menjadi dewan kota.
Di kota Makassar
teknologi kekuasaan Belanda yang menggunakan ras sebagai dasar kategori
pengendalian penduduk kota dan ruang kota ini muncul ke permukaaan dengan
lahirnya sistem pemerintahan yang bermuka dua. Disatu sisi sistem pemerintahan
ini didasarkan pada sistem modern yang dilengkapi dengan adanya dewan kota yang
menjadi perwakilan warga kota (maksudnya terutama warga kota berstatus hukum
eropa yang minoritas). Disisi lain atau bahkan sisi bawah, hampir dibawah
permukaan yang tak akan nampak dalam buku panduan untuk turis ada sistem
pemerintahan yang mengandalkan pada penguasa-penguasa lokal dan juga mata-mata
untuk mengawasi mayoritas penduduk yang bumiputera. (Pradadimara : 2004)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar