Saya mengenalnya enam tahun yang
lalu disebuah warung kopi di Kota Makassar. Saat itu, saya yang kebetulan
sedang membrowsing tugas perkuliahan, mengamati para pengunjung di sekitar dan
mendapati sekumpulan orang yang sebagian besar dari mereka adalah senior saya
di kampus. Di antara mereka, ada sosok yang sama sekali tidak ku kenali. Waktu
itu, dia hanya diam mengamati rekan-rekannya yang sedang berdiskusi. Di
sela-sela pendiskusian, sekali-sekali rekan-rekannya memotong pendiskusian dan
meminta pendapatnya. Namun orang itu hanya mengangguk-ngangguk tanpa sepatah
kata. Selang beberapa minggu, di tempat yang sama, orang itu muncul lagi. Dan
seorang teman memperkenalkan saya padanya. M.Nawir, itulah namanya.
Setiap kali saya mengunjungi warung kopi itu, saya selalu mendapati dirinya di tengah-tengah pengunjung lainnya. Tapi karena belum beberapa lama mengenalnya, saya masih enggan untuk menginisiasi sebuah obrolan bersama dirinya. Padahal saya begitu penasaran, karena beberapa dosen saya seringkali mengatakan bahwa, “Nawir adalah sosok yang berpotensi menjadi orang kaya, namun tetap memilih menjadi miskin”. Selain itu, katanya dia juga dikenal sebagai sosok pekerja sosial yang yang terampil, tak kenal lelah, dan jadi buah pembicaraan publik utamanya rakyat miskin kota. Sebab itu, saya coba menanyakan banyak hal ke seorang senior yang cukup dekat dengannya.
***
M.Nawir adalah seorang alumni
Fakultas Sastra, jurusan Sastra Indonesia, Universitas Hasanuddin, dan
menamatkan perkuliahannya sekitar 22 tahun yang lalu dengan prestasi sebagai
mahasiswa teladan. Dia adalah laki-laki berdarah Bone, salah satu Kabupaten di
Sulawesi Selatan, namun tumbuh besar di kota Jakarta, tempat dimana orang tuanya
bekerja. Setelah menamatkan sekolah di salah satu pondok pesantren, dia
memutuskan untuk melanjutkan studi di kota Makassar.
Hingga saat ini belum ada
satupun mahasiswa fakultas sastra selain dirinya yang menyandang prestasi
tersebut. Gelar mahasiswa teladan di dapatkannya karena keaktifannya di banyak
organisasi kampus maupun luar kampus saat diamenjadi mahasiswa, namun juga
selalu mendapatkan IPK yang tingggi di bangku perkuliahan.
Waktu itu, M.Nawir yang dikenal
sebagai seniman, sastrawan sekaligus aktivis, banyak menghabiskan waktunya
untuk bergelut dalam kerja-kerja organisasi. Saat menjabat sebagai ketua Senat
Mahasiswa Sastra, dia menginisiasi sebuah gerakan golput di kota Makassar untuk melawan
rezim orde baru. Karena hal itu, dia sempat menjadi buronan militer. Bahkan
fakultas sastra sempat diserang oleh tentara akibat ulahnya.
Selain di dalam kampus, dia juga
banyak terlibat untuk mengawal isu-isu buruh dan kaum miskin
kota di luar kampus.
Sering kali dia mendatangkan organisasi-organisasi dari luar kampus yang
berkompeten dan memiliki kemampuan dalam berjejaring dengan mahasiswa guna
berbagi pengetahuan. Bahkan banyak dosen yang segan kepadanya karena apa yang
telah dia kerjakan.
Tidak hanya sebagai
organisatoris yang handal, dia juga menjadi tempat berkonsultasi untuk
teman-temannya mengenai materi perkuliahan dan pengetahuan-pengetahuan lainnya.
Sebagai mahasiswa, dia dikenal sebagai orang yang rakus
baca, sehingga dia juga sangat matang di wilayah teoritis. Karena
orangnya terbilang ramah, teman-teman serta dosennya senang berdiskusi banyak
dengan dirinya.
Setelah menamatkan perkuliahan dengan nilai cumlaude, dia memutuskan untuk berpartisipasi aktif sebagai pekerja sosial yang berkecimpung di wilayah perkotaan. Dia juga masih berperan aktif dalam gerakan pro-demokrasi di tahun 1996-1998 hingga jatuhnya rezim orde baru. Pasca orde baru, tepatnya pada tahun 2002, dia kemudian tergabung dalam organisasi bernama Urban Poor Consorcium (UPC) yang bekerja untuk mendampingi warga miskin kota.
Sebagai organisasi yang berupaya
membangun jejaring kaum miskin kota di seluruh Indonesia, dan kebetulan M.Nawir
berdomisili di kota Makassar, maka dia mendirikan Komite Perjuangan Rakyat
Miskin (KPRM) Makassar sebagai organisasi rakyat yang menjadi wadah orang-orang
miskin di kota Makassar untuk menuntut hak-haknya. Organisasi tersebut
didirikannya pada tahun 2002 bersama beberapa warga miskin di kota Makassar.
Hal itu dilakukannya karena
tekadnya untuk melihat rakyat miskin dapat berorganisasi, berdaya dan mandiri dalam
menuntaskan persoalannya. Hingga saat ini, KPRM telah memiliki ribuan anggota
di kota Makassar, dan dikelola oleh sekelompok perempuan yang berjuang untuk
pemenuhan hak. Dan M. Nawir terus berperan sebagai pendamping dalam jalannya
organisasi tersebut. Itulah salah satu buah dari hasil kerjanya.
Tahun 2005, saat Aceh ditimpa
bencana tsunami, M. Nawir diutus oleh UPC untuk menjadi relawan pasca-bencana.
Demi kerja-kerja kemanusiaan, dia merelakan waktunya selama dua tahun untuk
menetap di Aceh. Meskipun saat itu, keluarganya tidak pernah berhenti
menanyakan kabarnya dan alasan yang membuat dia begitu berkeras ingin menjadi
relawan. Namun bagi M.Nawir, saat itu adalah momen yang pas untuk mencari lebih
banyak pengetahuan terkait upaya kerja-kerja emansipasi.
Saat itu, psikologi warga Aceh
yang begitu terguncang akibat bencana, ditambah lagi hancurnya seluruh
infrastruktur kota, membuat mereka enggan untuk berbuat apa-apa. Negara hanya
bisa mengirimkan bantuan berupa kebutuhan pokok, serta relawan yang bertugas
mencari mayat di reruntuhan dan mendirikan posko-posko bencana sebagai
penampungan bagi warga yang selamat.
Kondisi itu akhirnya menjadi
peluang bagi lembaga-lembaga donor untuk mensuplai dana sebanyak mungkin bagi
para korban bencana. Karena tak terima dengan itu, M.Nawir melakukan protes
keras kepada beberapa lembaga-lembaga tersebut. Menurutnya, uang bukanlah hal
pertama yang dibutuhkan untuk memulihkan kembali mental warga yang telah
porak-poranda. Baginya, dibutuhkan semacam upaya untuk mendorong kemandirian
dan kerjasama antar sesama warga dalam mendirikan kembali pemukimannya. Karena
hanya dengan cara itu, masyarakat bisa memaknai dan belajar dari pengalamannya
tentang betapa berharganya sebuah kebersamaan, kemandirian, dan solidaritas
dalam menghadapi berbagai hal buruk, salah satunya bencana alam.
Bermacam cara dilakukan, dan
akhirnya para korban bencana bersepakat untuk bergotong royong mendirikan
pemukimannya. Seluruh pengungsi di posko bencana berbondong-bondong melakukan
kerja bakti guna membangun 2000 unit rumah untuk mereka. M.Nawir kemudian
mendampingi warga untuk mengumpulkan sedikit demi sedikit bantuan dana dari
negara guna mendukung kerja-kerja para korban bencana. Untuk mengelola
keuangan, M.Nawir mengupayakan agar terbentuk sebuah struktur di kalangan warga
yang dikoordinir oleh warga sendiri. Sehingga dia hanya menempatkan diri
sebagai fasilitator warga guna membangun jejaring.
Waktu itu, banyak cerita miring
yang dialamatkan kepadanya karena upayanya mendampingi warga untuk membangun
2000 unit rumah. M.Nawir dianggap memanfaatkan dan mengambil keuntungan dari
pekerjaan tersebut sehingga dia dapat memperkaya diri. Banyak yang bilang bahwa
dia akan menjadi kaya mendadak setelah pulang ke kota asalnya. Namun selang dua
tahun, dia hanya pulang dengan membawa satu buah motor butut yang merupakan
cicilan dari koperasi organisasinya, UPC. Prestasinya dalam mengupayakan
emansipasi dan kemandirian di tengah kondisi yang begitu rumit, dan tanpa
bayaran, menjadi buah perbincangan kalangan aktivis di kota Makassar. Dan
karena itu, dia juga semakin disegani.
Sepulangnya dari Aceh, dia tetap
melanjutkan kerja-kerjanya sebagai pendamping warga miskin kota Makassar.
Sembari menjalankan kehidupan berkeluarga bersama seorang istri dan tiga orang
anaknya. Keluarganya selalu hangat, kehangatannya sehangat ketika dia
mendampingi orang-orang miskin dari ketidakadilan.
***
Selama menempuh perkuliahan, dan
kebetulan menaruh minat di kerja-kerja sosial, saya selalu meluangkan waktu
untuk berdiskusi dengannya. Hingga akhirnya saya bisa mengenalnya lebih jauh.
Sampai sekarang, saya selalu menyempatkan waktu untuk ngobrol berdua dengannya.
Entah di rumah sederhananya atau pun di sebuah warung kopi. Jika obrolan kami
berlangsung di sebuah warung kopi, dia tak segan-segan untuk mentraktir 1-2
gelas kopi. Meskipun saya tahu, kondisi keuangannya sedang payah.
Kini hubungan kami sangat dekat.
Saya selalu menyempatkan untuk mengabarinya tentang keberadaan saya, begitupun
dirinya, yang selalu menyempatkan untuk mengabari dan mengajak untuk ngobrol,
apapun obrolannya. Usia yang terpaut 25 tahun dari saya, tidak menjadi kendala
untuk memperlakukan saya setara dengan dirinya.
Saya sangat beruntung
mengenalnya. Bagi saya, dia merupakan sosok teman, sahabat, senior, sekaligus guru.
Dalam keadaan sulit, ketika rasa putus asa menjadi pekerja sosial ingin
menyerang, saya pasti menyempatkan diri untuk menemuinya. Karena dengan
berbincang-bincang bersamanya, saya selalu percaya bahwa setiap kendala yang
saya alami, belumlah seberapa jika dibandingkan dengan apa yang telah dia
lalui. Dan dia memang pantas menjadi teladan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar