Mungkin tersirat rasa bangga bagi
mereka yang menobatkan dirinya sebagai “anak kota” yang hidup di kota
metropolitan seperti Makassar. Betapa tidak, Makassar hari ini telah dihiasi
dengan gedung-gedung yang tinggi, pusat perbelanjaan mewah serta beberapa
infrastruktur laiinnya yang memberikan ciri akan sebuah kota. Yah, mungkin
itulah “Kota Dunia” yang selalu dibanggakan oleh para elite kota Makassar.
Namun
tidak bisa dipungkiri bahwa kehadiran berbagai infrastruktur yang ada di kota
Makassar tidak memberikan rasa nyaman dalam hidup bermasyarakat. Dan hal itu
bukan lagi menjadi sebuah isu, tetapi merupakan fakta kasat mata.
Cukuplah kita melihat Makassar di sore hari. Dimana beberapa titik seperti JL. A.P Pettarani, JL. Urip Sumaharjo, serta JL. Perintis Kemerdekaan akan menjadi sasaran macet. Hal itu disebabkan oleh bertumpuknya kendaraan serta tidak jelasnya penataan ruang kota Makassar. Karena hampir semua ruang menjadi pusat perkantoran dan perbelanjaan, menyebabkan kendaraan terfokus dalam satu arah dan terjadi penumpukan.
Yang paling mencolok dari kemacetan di kota Makassar adalah hampir semua ruas jalan dipenuhi oleh kendaraan pribadi. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah kendaraan di Kota Makassar, baik kendaraan umum maupun pribadi yang mencapai sekitar 856 ribu unit pada tahun 2010 dengan tingkat pertumbuhan mencapai 12% pertahun (Dinas Perhubungan Kota Makassar, 2010).
Parahnya,
untuk menanggulangi kemacetan, pemerintah kota Makassar malah memperlebar ruas
jalan. Tentunya hal itu akan semakin menumbuhkan minat masyarakat untuk
memiliki kendaraan pribadi dan tidak menggunakan angkutan umum. Seharusnya
pemerintah kota menekan angka pertumbuhan kendaraan pribadi, dan semakin menata
angkutan umum.
Tetapi tidak
hanya berhenti pada permasalahan kendaraan. Penulis teringat dengan perkataan
salah seorang kawan, “hidup di Makassar membuat saya terpaksa membeli motor,
karena hampir tidak ada tempat yang sejuk untuk menunggu angkutan umum”. Serta
pernyataan salah seorang pengguna angkutan umum yang sempat ditemui di lapangan
oleh penulis, yang mengatakan bahwa “menggunakan angkutan umum pada dasarnya
sangat sumpek dan panas, ditambah lagi dengan kondisi kota Makassar yang
menggerahkan”.
Yah, jika
mempertanyakan mengapa masyarakat cenderung memiliki kendaraan pribadi,
tentulah jawabannya untuk mencari kenyamanan. Sebab kondisi kota Makasssar yang
menggerahkan, dimana hampir disetiap sudut jalan tidak ditemukan pepohonan. Dan
tidak tersedianya ruang terbuka hijau. Yang ada hanyalah tumpukan reklame dan
papan iklan berupa seruan untuk semakin mencari zona nyaman.
Alhasil,
karena tata ruang kota yang sembrawut dan menggerahkan, membuat masyarakat
memilih untuk memiliki kendaraan pribadi. Karena masyarakat semakin berlomba
untuk memiliki kendaraan pribadi, maka potensi pencemaran udara semakin
meningkat. Beberapa hasil kajian menyimpulkan bahwa sektor transportasi
memberikan kontribusi yang besar terhadap pencemaran udara perkotaan di
beberapa kota besar di Indonesia. Sektor transportasi menyumbang 65% hingga 75%
dari pencemar nitrogen oksida (NO) dan 15% hingga 55% pencemar particulate
matter (PM).
( foto kemacetan serta banjir di Jl. Urip Sumaharjo dan AP. Pettarani Makassar)
Bukan hanya kemacetan dan polusi,
tetapi banjir juga menjadi problem utama di kota Makassar.
Jika memasuki musim hujan, beberapa wilayah seperti, Perumahan
Bung, Bumi Permata Sudiang, Mamoa Raya, Minasa Upa, Mapala, dan Racing Centre
bagian utara digenangi air setinggi lutut orang dewasa. Tidak hanya itu, hal
serupa terjadi di Jalan Monginsidi Baru, Jalan Sungai Saddang Baru, Pelita
Raya, Boulevard, dan Perumahan Toddopuli. Bahkan, jalan raya utama yang menjadi
pusat kesibukan dan percabangan lalu lintas di Makassar, seperti Jalan AP
Pettarani , macet padat akibat genangan air di beberapa titik di depan Mall
Ramayana, Kantor Regional Bulog, akan terendam air . Hal ini diakibatkan oleh drainase yang meluap saat hujan ditambah
dengan tumpukan sampah yang menyumbat saluran drainase. Dari ratusan drainase
yang perlu direhabilitasi, pemerintah hanya mampu menuntaskan rehabilitasi
sebanyak 59 titik yang tersebar di 14 kecamatan hingga tahun 2012. (dalam Makassar nol
Kilometer)
Parahnya, pemerintah kota selalu saja menyebut banjir Makassar
sebagai sebuah bencana alam. Tetapi faktanya itu adalah ulah pemerintah
sendiri. Misalnya yang terjadi di kawasan Tamalanrea, salah satu Kecamatan yang
rentan akan banjir. Tamalanrea yang
merupakan daerah aliran sungai (DAS) Tello, kini telah dipenuhi ruko dan
perumahan. Ditambah lagi dengan dibangunnya Mall tepat di sisi sungai, semakin
membuat tanah tidak dapat menyerap air di musim hujan. Serta tidak memadainya
system drainase, membuat Tamalanrea menjadi langganan banjir.
Dapat dilihat bahwa pembangunan kota Makassar mengabaikan faktor resiko bencana. Lahan-lahan produktif dan daerah resapan di kawasan penyanggah (buffer zone) dikonvensi menjadi kawasan pemukiman mewah yang kemudian mempertinggi resiko banjir. Juga, pesatnya pembangunan infrastruktur yang umumnya berkualitas buruk, tidak disertai dengan sistim drainase terpadu.
Padahal, UNISDR, badan PBB urusan pengurangan resiko bencana dan
IFRC, Federasi Palang Merah Internasional telah mengingatkan
pemerintah-pemerintah lokal di seluruh dunia untuk mengurangi resiko bencana
dengan cara mengadaptasi perubahan iklim yang lima tahun terakhir semakin
ekstrim. Pada tahun 2010, Federasi Palang Merah Internasional melaporkan 2,57
milyar penduduk berpendapatan rendah rentan bencana akibat laju pertumbuhan
kota, pertambahan penduduk, sanitasi dan pelayanan
kesehatan yang buruk, serta kekerasan. Antara sepertiga hingga setengah dari
penduduk kota-kota besar yang berpendapatan rendah itu tinggal di pemukiman
informal atau kumuh, yang rentan kebanjiran. (dalam rumah kampong kota, siaran
pers JRMK Sul-Sel).
Tidak adanya pemberdayaan masyarakat dalam penataan ruang kota Makassar, menyebabkan perencanaan tata ruang yang satu arah. Padahal, dalam PERDA Rencana Tata Ruang Wilayah, Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang, mengatur peran serta masyarakat untuk berpartisipasi dalam menyusun rencana tata ruang.
Belum lagi dengan problem penggusuran perumahan kumuh yang terjadi di Pandang Raya, kawasan Panakkukang , dan di kawasan pesisir seperti Buloa. Yang harus menyingkirkan masyarakat pinggiran kota Makassar. Dengan dalih memperindah tata ruang kota. Serta penggusuran pedagang kaki lima di kawasan pantai losari akibat reklamasi pantai yang dilakukan oleh para elite. Begitupun yang terjadi di area lapangan Karebosi beberapa tahun lalu, pedagang kaki lima tergusur akibat pembangunan Mall.
Tidak hanya itu, pembangunan pusat perbelanjaan mewah dan rentetan ruko di kota Makassar semakin menyudutkan peran pasar tradisional dalam memenuhi kebutuhan warga kota Makassar. Tidak adanya penanganan yang serius terhadap pasar tradisional menyebabkan pasar menjadi kumuh, becek dan berbau. Adapun jika direnovasi tidak sesuai dengan kebutuhan para pedagang.
Hal itu terlihat pada pembangunan Pasar Terong—dan beberapa pasar lainnya seperti Makassar Mall dan Pasar Butung, yang saat ini kembali direnovasi. Sejak tahun 1995, gedung Pasar Terong terus terbengkalai. Pedagang sayur, buah, dan rempah enggan mengisi los dan meja di dalam gedung berlantai empat yang telah disediakan oleh pihak pengembang. Salah satu sebab: tidak sesuai budaya belanja dan tata letak para pedagang. Persepsi pedagang (mental map) tentang ruang yang mereka tinggal dan berkegiatan sehari-hari tidak digunakan dalam merancang bangun pasar. Di lain pihak, pengembang membawa rancangan gambar bangunan sendiri yang jauh dari realitas dan konteks kehidupan pasar (dalam Makassar nol Kilometer).
Betul dan Seribu kali sepakat.
BalasHapushahahahaaa...
BalasHapus