Anti Keseragaman Yang Berseragam




Tulisan ini terinspirasi dari obrolan dengan beberapa kawan mengenai konsumerisme. Menurut kawan-kawan saya itu, hasrat konsumtif masyarakat dibentuk oleh asupan iklan. Yah, ada benarnya. Karena iklan memang ada dimana-mana.

Namun ada sedikit yang menjanggal dikepala penulis. Jika gerak para konsumen barang-barang ditentukan oleh iklan, mengapa tidak semua orang terpengaruh oleh iklan? mengapa para “radikal” yang menyimbolkan perlawanan melalui brand ciptaannya sendiri tidak memerlukan iklan ala kapitalisme untuk mempengaruhi konsumen? Lalu Adakah hal lain dibalik iklan yang menggerakkan masyarakat untuk mengkonsumsi barang? itulah beberapa masalah yang mengendap dibenak penulis akibat pembahasan mengenai konsumerisme, dimana sebelumnya penulis tidak begitu tertarik dengan pembahasan semacam itu.

***

Terkait masyarakat dan konsumsi, ada yang perlu digaris bawahi dari relasi masyarakat dengan barang-barang konsumsi yaitu, adanya gerak yang tidak statis namun terus berputar tiada henti-seperti lingkaran setan-yaitu gerak dari tidak tren menjadi tren, dari tidak keren menjadi keren, dari basi menjadi tidak basi dan seterusnya. Fakta-fakta mengenai putaran ini dapat dilihat dengan mata telanjang dalam kehidupan sehari-hari. Sebuah barang mungkin tidak akan tren hari ini, namun akan tren beberapa waktu kemudian, lalu kembali menghilang. Lingkaran inilah yang kemudian menurut beberapa pengamat, dimotori oleh struktur-struktur yang menyerang kesadaran manusia untuk ingin terus berbelanja, dan salah satunya adalah iklan.

Mungkin ada bagusnya untuk melihat beberapa fakta-fakta mengenai lingkaran tren, keren, dan tidak basi itu.

Kontradiksi mengenai masyarakat, konsumsi, barang, dan iklan tiba pada fakta dimana orang-orang sedang berburu batu permata. Tingkat konsumsi masyarakat terhadap batu permata melejit dengan cepat. Begitu mudah menemui lapak-lapak batu permata di tepi jalan, bahkan ada yang hanya menjajalkan berbagai jenis bongkahan batu sebagai bahan utamanya. Padahal sebelum batu permata tren, tidak satupun spanduk atau tontonan iklan mengenai batu permata dapat ditemui di jalanan, majalah maupun dilayar kaca, yang kira-kira dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa batu permata tiba-tiba menjadi sesuatu yang tren dan dianggap keren.

Jauh sebelum tren batu permata, juga ada fakta mengenai komunitas motor, khususnya pecinta motor klasik/tua. Komunitas motor klasik/tua hadir ditengah gempuran produk-produk sepeda motor terbaru yang iklannya dapat ditemui dimana-mana, spanduk, brosur, bahkan dilayar kaca. Berkebalikan dengan motor klasik/tua, yang telah dianggap punah dan tidak layak diiklankan. Padahal, diawal abad ke-21, jenis motor seperti itu dapat dikata “bukan lagi masanya”. Namun faktanya, motor klasik/tua menjadi tren dibeberapa komunitas pecinta otomotif.

Dikalangan pemuda-pemudi “radikal” juga tidak kalah, gaya pemberontakan ala simbol-simbol diluar barisan masyarakat massa sedang tren. Pakaian dengan simbol-simbol “radikal” yang dibuat dengan brand ala para “pemberontak kebudayaan” ini, kebanyakan dikenakan oleh mahasiswa. Menurut pengakuan beberapa konsumen, itu adalah upaya untuk keluar dari produk-produk massal ala kapitalisme yang selama ini dikonsumsi oleh masyarakat massa. Hingga kini, simbol-simbol “pemberontakan” seperti itu tidak hanya dikenakan oleh barisan mahasiswa “radikal”, namun juga telah menjangkau dan menjadi tren dikalangan mahasiswa-mahasiswa pemburu mode. Apakah hal itu adalah bentuk pelacuran? Bukan, karena sedari awal tidak ada yang dilacurkan.

Dari beberapa fenomena diatas, ada kesamaan dari setiap barang-barang yang dikonsumsi yaitu, hadir tanpa adanya embel-embel iklan ala kapitalisme. Baik yang dikonsumsi oleh kaum “radikal” maupun non-radikal. Pertanyaannya kemudian, darimana munculnya-menjadi tren dan keren-barang-barang tersebut? Jawabannya sederhana, semua itu muncul karena adanya orang yang berburu tren dan keren, mengkonsumsi simbol untuk menjadi “yang lain” ditengah keseragaman masyarakat massa. Begitulah gaya hidup “alternatif”, yang anti dengan keseragaman, namun sesungguhnya adalah keseragaman itu sendiri.

Jika hari ini batu, motor klasik/tua, asesoris “pemberontakan” menjadi tren dan ukuran baru untuk sebuah status keren, kemudian dikonsumsi secara massal, maka selanjutnya akan hadir lagi tren-tren baru dan meninggalkan yang lama, karena dianggap telah menghadirkan keseragaman, dan begitulah seterusnya. Disinilah kesalahan berfikir tentang hidup “alternatif”, yang harus menjadi beda melalui konsumsi simbol.

Ini bukanlah sesuatu yang ahistoris. Gaya hidup semacam itu telah ada pada masa ratu Elizabeth sekitar abad ke-16. Para baron-semacam pejabat dibawah perintah langsung ratu-, karena ingin menjadi “yang lain” diantara para pejabat, mereka mengkonsumsi simbol yang diciptakannya sendiri, yaitu gaun/dress.

***

Konsumerisme berasal dari keyakinan bahwa barang bisa mengekspresikan dan merumuskan identitas kita sebagai individu, yang berpadu dengan obsesi kebudayaan untuk mencari ekspresi diri yang otentik.

Konsumerisme tidak berpondasi karena adanya iklan yang mencuci otak para calon konsumen. Justru sebaliknya, Iklan hanya hadir karena adanya orang-orang yang harus diyakinkan untuk terus mengkonsumsi barang demi kebahagiaan individu. Kejenuhan orang-orang akan kehidupan yang berseragam, merupakan pemantik akan hasrat menjadi “yang lain”. Maka dari itu, relasi sosial yang berasaskan kepemilikan barang adalah penggerak dari konsumerisme

Perlu dipahami bahwa kapitalisme tidaklah melulu mengenai perputaran modal, namun kapitalisme juga membutuhkan inovasi. Disinilah peran para orang-orang “kreatif” untuk menciptakan hal-hal baru, dan orang-orang “kreatif” ini tidak mesti dipekerjakan dalam sebuah pabrik. Tapi dia ada dimana-mana, mencipta, kemudian terkooptasi.

#Tulisan ini dimuat dalam rubrik literasi koran tempo makassar



Tidak ada komentar:

Posting Komentar