Ada yang bilang bahwa “pembangunan” adalah kunci utama untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berdaulat. Cara pandang seperti ini umumnya dikenal sebagai cara pandang developmentalism. Cara pandang yang memusatkan perhatian untuk membangun sebanyak mungkin sumber-sumber penghasil “pundi-pundi emas”. Di Indonesia pada umumnya, corak seperti ini dapat dilihat, salah satunya melalui semakin maraknya aktivitas industri pertambangan.
Di kabupaten Maros dan Pangkep misalnya, jumlah tambang-baik tambang semen maupun marmer-pada kawasan karst mencapai puluhan. Selain tambang semen dan marmer, tercatat pula aktifitas pengerukan tanah di beberapa titik untuk menyokong proses reklamasi pantai di wilayah perkotaan. Biasanya, pembangunan tambang-tambang seperti itu selalu berdalih untuk memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di sekitar daerah penambangan, alias menyerap tenaga kerja dan menekan angka pengangguran. Sebuah “niat baik” yang sasarannya selalu dipusatkan pada masyarakat kelas bawah.
Bagi masyarakat kelas bawah, peluang akan sebuah akses pemenuhan kebutuhan ekonomi memang sebuah hal yang sulit untuk disepelekan. Sebab bagaimanapun, kebutuhan ekonomi menjadi pondasi untuk kelangsungan urusan-urusan lainnya. Soal pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok sehari-hari, disokong oleh kemampuan perekonomian.
Tapi disatu sisi, aktifitas penambangan membawa banyak dampak negatif. Umumnya, dampak dari penambangan karst adalah menimbulkan polusi udara, pengrusakan saluran air bawah tanah, pengrusakan ekosistem karst, pembuangan limbah di sungai, serta banjir. Dan pengerukan tanah akan berdampak pada erosi dan menyebabkan longsor jika musim hujan tiba. Kesemuanya dapat dikategorikan sebagai pengrusakan lingkungan hidup, dan secara langsung ikut mengancam keberadaan manusia.
Tapi
doktrin developmentalism menempatkan “pembangunan”
sebagai sesuatu yang seakan tidak bisa dibantah oleh logika. Karena menyerang
kebutuhan dasar dari masyarakat yaitu urusan perut. Sehingga upaya pelestarian
lingkungan hidup dengan menolak aktivitas penambangan seakan menjadi sesuatu
yang utopis.
Salah
satu contohnya pada masyarakat Kelurahan Kassi, Kecamatan Balocci, Kabupaten
pangkep, tempat saya bermukim. Rencana pembangunan industri semen putih oleh
pihak swasta asal negeri Cina, tidak dapat ditolak oleh masyarakat sekitar.
Selain merupakan kong kalikong antara pemerintah (dari kepala daerah hingga
kepala RW) dan swasta, rencana ini mendapatkan legitimasi dari warga sekitar. Upaya
komunikasi dengan warga setempat untuk tidak ikut mendukung rencana ini, hanya
berbuntut pada kecurigaan sebagai oknum “penghalang rejeki”.
Jika
ditelisik secara seksama konteks masyarakat disekitar wilayah rencana
penambangan tersebut, rata-rata memang hanya menumpukan penghasilan melalui
hasil pertanian kecil-kecilan, supir angkutan, kernek, dan sebagian merupakan
pengangguran. Sehingga rencana industri tambang dipandang sebagai penolong dari
keadaan yang tidak menguntungkan secara ekonomi. Lalu seluruh dampak penambangan terhadap
kelestarian lingkungan hidup menjadi sesuatu yang tidak penting. Meskipun kemudian akan berdampak pada kondisi
kesehatan.
Dan
akhirnya “pembangunan” melampaui segala-galanya. Ketergantungan masyarakat
terhadap terhadap apa yang dinamakan “pembangunan” tidak terelakkan lagi.
“Pembangunan” menjadi candu masyarakat. Atau yang menurut salah satu pemikir,
mengalienasi manusia dari lingkungan hidupnya.
Padahal UUD 1945 telah mengatur bahwa perekonomian nasional dilaksanakan berdasarkan demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan mandiri. Konstitusi ini menjamin setiap warga negara untuk mendapatkan hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat.
Problem
ini adalah sebuah dilema besar. Mengupayakan kelestarian lingkungan hidup,
tetapi disatu sisi negara memanfaatkan industri pertambangan yang mengancam
kelestarian lingkungan hidup sebagai sumber perekonomian negara. Dan sebagian
besar warga negara melegitimasi hal tersebut.
Banyak
pihak yang ikut menyalahkan masyarakat karena katanya tidak memiliki “kesadaran
lingkungan”. Tapi tentunya menyalahkan masyarakat yang ikut memberi andil
terhadap upaya pengrusakan lingkungan melalui pemberian legitimasi dengan
terlibat, salah satunya sebagai buruh pertambangan, merupakan hal yang keliru.
Bagaimana mungkin mempersoalkan kelestarian lingkungan hidup di saat yang
bersamaan ketika tuntutan perekonomian tidak terpenuhi?
Apa
yang terjadi dalam kenyataan, dimana persoalan lingkungan hidup selalu berelasi
dengan persoalan ekonomi, dan melibatkan peran masyarakat, tidak dapat
dipandang sebagai sebuah masalah. Tapi penting rasanya melihat persoalan ini
sebagai sebuah tantangan besar bagi generasi muda ke depannya. Tentang
bagaimana generasi muda merefleksi kembali aksi-aksi untuk menjaga kelestarian
lingkungan hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar