Sekadar
membincangkan politik di tengah kondisi masyarakat yang sangat ‘awam’ tentang
politik, kita hanya akan menemukan persepsi tentang perilaku korup, lingkaran
setan, tidak bermoral, politisi baik dan tidak baik. Terlebih untuk
mendiskusikan tentang perubahan sistem dan struktur politik, maka bagi
masyarakat ‘awam’ tidak ada jalan lain selain mengumpulkan uang sebanyak
mungkin dan berpartisipasi ke dalam pertarungan politik.
Pandangan semacam itu yang kemudian melahirkan penilaian yang sangat moralis, dapat dikata masih sangat empirik. Pandangan itu merupakan refleksi atas pengalaman yang dicerap dari perilaku para politikus. Masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, belum mampu melampaui cara pandang empirik. Bahwa politik bukanlah persoalan moral, tetapi menyoal pada bagaimana membangun kekuatan, membangun kesepakatan bersama, untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Pandangan saya sendiri tentang masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, tidak dibangun berdasarkan data-data dari para peneliti, melainkan dibangun berdasarkan pengalaman. Pekerjaan sebagai Community Organizer dibeberapa komunitas gerakan sosial, memaksa saya harus selalu bersentuhan dengan problem sosial ekonomi dan politik di tataran ‘akar rumput’. Lalu pandangan itu diperkuat ketika tiga tahun yang lalu mengorganisir sebuah gerakan politik untuk memenangkan representasi dari komunitas petani dan kaum miskin kota di Sulawesi Selatan.
Dari pengalaman itu, saya mendapati bahwa masyarakat masih mempersoalkan politik sebagai sebuah persoalan moral. Mengenai siapa yang baik dan tidak baik. Bagi masyarakat ‘awam’, orang ‘baik’ dipersepsikan sebagai orang yang ‘ringan tangan’ dalam memberi ‘sedekah politik’, serta orang yang santun dan tidak korup. Sedangkan orang ‘tidak baik’ adalah orang yang enggan untuk memberikan ‘sedekah politik’, korup dan kurang santun. Hal semacam itu sangat lumrah ditemui ketika pemilihan umum berlangsung.
Meskipun pengalaman saya terbatas pada konteks Sulawesi Selatan, saya merasa bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempersoalkan politik sebagai persoalan moral. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana media massa menggambarkan para politikus di singgasananya. Korup dan tidak mewakili kepentingan dari yang mereka representasikan. Karena bagaimanapun, media massa menjadi salah satu sandaran masyarakat untuk menilai representasinya.
Maka dalam essai ini, saya akan sedikit merefleksi tentang bagaimana masyarakat berpolitik berdasarkan pengalaman saya di Sulawesi selatan, dan siapa yang semestinya bertanggung jawab dalam persoalan ini. Ulasan ini akan berangkat dari bagaimana masyarakat mengartikulasikan pandangannya tentang politik melalui pemilihan umum. Kemudian lebih jauh membahas emansipasi dalam politik, untuk meruntuhkan pandangan moralis masyarakat. Dan terakhir siapa yang seharusnya berperan aktif dalam persoalan ini. Sehingga saya akan menghindari pembahasan tentang bagaimana seharusnya laku para politisi, bagaimana seharusnya peran aparatus negara dan partai dalam menciptakan sistem yang lebih baik.
Menurut saya ini menjadi penting karena bagaimana mungkin mengharapkan sebuah perubahan yang lebih baik ditengah kondisi masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, kemudian cendekiawan yang memilih menjadi pengamat dari luar, dan para politikus yang sebenarnya bukan representasi dari masyarakat? Mau tidak mau, suka tidak suka, politik melalui produknya berupa regulasi menyentuh hingga ke hal-hal kecil dalam kehidupan kita. Apa yang kita lihat, minum dan makan adalah produk dari panggung politik. Maka tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa persoalan ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
Dalam konteks masyarakat desa dan kota, masyarakat yang ‘awam’ tentang politik sangat lumrah ditemukan. Apa yang saya sebut sebagai masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, tidaklah sepenuhnya mengacuh dari masyarakat kelas bawah. Beberapa kelompok dari masyarakat kelas menengah juga memiliki pandangan yang sama. Kelompok mahasiswa misalnya, enggan untuk berpartisipasi dalam persoalan politik dikarenakan tidak ingin menyentuh hal yang katanya sudah kotor sejak mulanya. Hal ini dapat kita lihat dari kurangnya partisipasi mahasiswa dalam diskusi-diskusi maupun aksi-aksi kecil dalam mengorganisir kekuatan politik, minimal ketika pemilihan umum berlangsung. Terkecuali bagi organisasi-organisasi mahasiswa yang sejak mulanya didirikan untuk kepentingan politik borjuasi, HMI* misalnya.
Dalam konteks kota maupun desa, masyarakat yang ‘awam’ akan politik terpecah menjadi empat tipe. Tipe pertama, masyarakat yang memilih menjauh dan menunggu ‘sedekah’. Kedua, masyarakat yang memilih mencari keuntungan dengan cara mengklaim masyarakat lain sebagai bagian dari massa yang akan memberikan dukungan pada calon-calon tertentu. Ketiga, masyarakat yang tidak begitu berharap pada keuntungan materi, namun senang pada sikap yang santun dari seorang calon. Keempat, tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang dianggap memiliki pandangan-pandangan khas tentang seseorang.
Tipe masyarakat yang pertama biasanya rentan untuk dimanfaatkan oleh tipe masyarakat yang kedua. Karena sikap dasar masyarakat tipe pertama dan kedua yang sama-sama memilih mencari keuntungan materi, maka sebuah peluang besar bagi politisi kaya untuk memperoleh suara sebanyak mungkin. Politisi semacam ini biasanya memanfaatkan masyarakat tipe kedua untuk menjadi kaki tangan dalam mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dari tipe masyarakat yang pertama. Tipe masyarakat seperti ini, sangat lumrah ditemui dalam konteks masyarakat yang belum mapan secara sandang dan pangan. Jika pengalaman politik sebelumnya tidak membawa dampak apa-apa untuk urusan sandang dan pangan, maka mengambil jalan pintas dengan mendapatkan keuntungan materil pada pemilihan umum menjadi salah satu opsi. Misalnya mengharapkan pembagian uang dan kebutuhan pokok lainnya secara cuma-cuma, dan janji akan sebuah jabatan tertentu dalam struktur negara maupun partai.
Selain itu, dalam konteks masyarakat yang telah mapan secara sandang dan pangan, perilaku berpolitik tipe pertama masih bisa ditemukan, namun bentuk transaksi telah melampaui sekadar kebutuhan pokok. Politik adalah soal pertemanan dan membangun jejaring. Akses terhadap berbagai jejaring akan mempermudah berbagai urusan menyangkut pengembangan karir dan kebutuhan-kebutuhan sekunder ke depannya.
Untuk tipe masyarakat yang ketiga, biasanya menyandarkan pilihan berdasarkan pengamatan-pengamatan dari tipe masyarakat yang keempat, yaitu tokoh masyarakat dan agama. Bahwa orang yang memiliki sikap santun, ramah dan-sepanjang pengetahuan-tidak berlaku korup, adalah orang yang pantas meduduki posisi dalam struktur negara. Dengan demikian masyarakat tipe keempat adalah patron bagi masyarakat tipe ketiga. Model patronase semacam ini sangat lumrah ditemui dalam masyarakat pedalaman yang masih menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Perilaku berpolitik seperti ini dapat ditemukan dalam konteks masyarakat yang telah mapan meskipun tidak secara sandang dan pangan. Nilai-nilai agama dan moral tentang kejujuran, kepemimpinan, dan kebersamaan yang diinternalisasi menjadi dorongan kuat untuk mencari sosok yang baik dan pas untuk menjadi representasi.
Dari keempat tipe masyarakat yang saya ketegorikan ‘awam’ dalam politik, sama-sama menyandarkan pilihan pada politisi ‘baik’. Maka politisi ‘tidak baik’ tidak akan mendapatkan ruang dari pengamatan keempat tipe masyarakat tersebut. Bagi masyarakat tipe pertama dan kedua, politisi ‘baik’ adalah yang kaya dan ‘ringan tangan’. Sedangkan bagi yang ketiga dan keempat, politisi yang ‘baik’ adalah yang santun dan menjunjung tinggi adat istiadat.
Persepsi tentang mana politisi yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’ dikalangan masyarakat ‘awam’, lahir dari berbagai informasi yang dikumpulkan. Misalnya dari percakapan langsung antara masyarakat dan politisi itu sendiri, melalui media massa, dan dari mulut ke mulut. Informasi itu kemudian direfleksikan dengan pengalaman politik yang didapatkan sebelumnya, dan keuntungan apa yang diharapkan ke depannya dengan berkontribusi dalam ‘pesta demokrasi’.
Untuk tipe masyarakat pertama dan kedua, hanya akan menyandarkan pilihan pada politisi yang telah berhasil mengakumulasi kapital. Dengan kata lain pengusaha tingkat lokal maupun nasional. Meskipun terkadang masyarakat tipe pertama dan kedua menyadari bahwa politisi semacam itu hanyalah sekelompok orang yang kelak akan menumpuk kekayaanya melalui regulasi yang mereka ciptakan. Namun keputusasaan atas dunia politik menjadikan mereka memilih untuk mengambil sikap tidak ingin tahu dan berusaha mengambil keuntungan dari politisi jenis ini melalui ajang pemilihan umum.
Kemudian untuk tipe masyarakat yang ketiga dan keempat, biasanya menyandarkan pilihan pada politisi yang berasal dari keluarga bangsawan dan tokoh-tokoh penting yang mempunyai garis keturunan jelas dan masuk dalam kategori menjunjung tinggi adat istiadat. Sehingga, politisi jenis ini dianggap patut menjadi panutan dan dianggap akan mampu membawa kesejahteraan bagi yang direpresentasikannya.
Dari pemaparan di atas, saya ingin mengatakan bahwa pandangan masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, mereduksi politik menjadi persoalan antara yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’. Yaitu mana politik yang manusiawi dan tidak manusiawi, bersih dan kotor, yang tercitrakan pada sosok politisi yang membawa keuntungan dan tidak.
Keempat tipe dalam masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, yang kemudian saya tempatkan ke dalam dua konteks yang berbeda, setidaknya menggambarkan bahwasanya praktik berpolitik dalam pemilihan umum menjelaskan cara pandang yang dangkal tentang politik. Yaitu tidak melihat politik sebagai satu rangkaian sistem. Oleh karena itu, pembacaan situasi politik menurut hemat saya mesti dimulai dengan membaca persepsi tentang politik di tataran ‘akar rumput’ melalui kontestasi pemilu sebagai satu-satunya ruang dimana masyarakat hadir sebagai pelaku politik.
Ini menjadi penting karena pembacaan dari aras bawah, memberikan peluang untuk menggagas aksi-aksi dalam menentukan arah perubahan ke depannya yang terlepas dari pandangan-pandangan moral. Sebab rakyat atau massa adalah pemegang kekuasaan penuh atas negara. Sehingga aksi pedagogis yang berangkat dari pengalaman nyata memberikan ruang bagi rakyat atau massa untuk melihat lebih jauh dampak dari politik global yang menyesatkan ini.
Pembacaan atas situasi politik yang berangkat dari laku para politisi dan kekacauan partai serta aparatus-aparatus negara akan berujung pada mana politik yang baik untuk masyarakat dan mana politik yang tidak baik. Cara pandang semacam ini mereduksi daya emansipasi dari politik, karena menempatkan masyarakat sipil pada posisi kumpulan orang yang mesti mendapatkan belas kasih para penguasa. Dengan kata lain, mengharapkan perubahan dari aras atas akan menempatkan masyarakat bukan sebagai pelaku aktif dalam politik. Masyarakat hanya hadir sekali dalam lima tahun, yaitu dalam “pesta demokrasi”.
Selain itu, partai politik sebagai penghubung antara masyarakat dan kekuasaan tidak memberikan ruang pada masyarakat untuk mengkonsolidasikan kembali apabila orang yang menjadi representasi tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat. Meskipun partai politik merupakan salah satu instrument sistem demokrasi, namun partai politik tidak ubahnya menjadi ruang bagi elite borjuis dalam merebut kekuasaan. Borjuasi yang merasa berhak dan tahu mana yang baik dan tidak baik untuk kemaslahatan bersama. Para borjuasi yang hanya bisa mengkampanyekan tentang kebaikan, namun tidak memahami kebenaran yang sesungguhnya.
Inilah konsekuensi logis dari sistem demokrasi di indonesia hari ini. Setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan konstitusi atau dengan kata lain menjunjung tinggi nilai kebebasan, kesetaraan/egaliter. Namun pada praktiknya, kebebasan menjadi problem tersendiri. Yang kaya menggusur yang miskin, yang kaya memanipulasi aturan, politik menjadi ruang bagi yang berprestasi secara ekonomi. Itulah makna kebebasan dari sistem demokrasi hari ini, sehingga mereduksi nilai-nilai kesetaraan.
Untuk keluar dari segala macam pandangan tentang mana politik yang baik dan mana yang tidak baik, kekuasaan partai politik yang memotong koridor kekuasaan rakyat atas representasinya mesti dibubarkan terlebih dahulu. Sehingga rakyat memiliki akses untuk menarik kembali representasinya apabila telah keluar dari kesepakatan-kesepakatan kolektif.
Oleh karena itu, politik mesti dikembalikan pada kekuasaan rakyat atau massa. Pertanyaannya, apa wujud material untuk mengembalikan politik ke tangan massa? Untuk kasus ini, telah banyak cendekia yang mencoba memberi jalan keluar. Misalnya dengan memperbaiki sistem rekruitmen dalam tubuh partai, penguatan aparatus-aparatus negara, dan memberikan pendidikan politik.
Pandangan semacam itu yang kemudian melahirkan penilaian yang sangat moralis, dapat dikata masih sangat empirik. Pandangan itu merupakan refleksi atas pengalaman yang dicerap dari perilaku para politikus. Masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, belum mampu melampaui cara pandang empirik. Bahwa politik bukanlah persoalan moral, tetapi menyoal pada bagaimana membangun kekuatan, membangun kesepakatan bersama, untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Pandangan saya sendiri tentang masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, tidak dibangun berdasarkan data-data dari para peneliti, melainkan dibangun berdasarkan pengalaman. Pekerjaan sebagai Community Organizer dibeberapa komunitas gerakan sosial, memaksa saya harus selalu bersentuhan dengan problem sosial ekonomi dan politik di tataran ‘akar rumput’. Lalu pandangan itu diperkuat ketika tiga tahun yang lalu mengorganisir sebuah gerakan politik untuk memenangkan representasi dari komunitas petani dan kaum miskin kota di Sulawesi Selatan.
Dari pengalaman itu, saya mendapati bahwa masyarakat masih mempersoalkan politik sebagai sebuah persoalan moral. Mengenai siapa yang baik dan tidak baik. Bagi masyarakat ‘awam’, orang ‘baik’ dipersepsikan sebagai orang yang ‘ringan tangan’ dalam memberi ‘sedekah politik’, serta orang yang santun dan tidak korup. Sedangkan orang ‘tidak baik’ adalah orang yang enggan untuk memberikan ‘sedekah politik’, korup dan kurang santun. Hal semacam itu sangat lumrah ditemui ketika pemilihan umum berlangsung.
Meskipun pengalaman saya terbatas pada konteks Sulawesi Selatan, saya merasa bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia pada umumnya masih mempersoalkan politik sebagai persoalan moral. Hal itu dapat dilihat dari bagaimana media massa menggambarkan para politikus di singgasananya. Korup dan tidak mewakili kepentingan dari yang mereka representasikan. Karena bagaimanapun, media massa menjadi salah satu sandaran masyarakat untuk menilai representasinya.
Maka dalam essai ini, saya akan sedikit merefleksi tentang bagaimana masyarakat berpolitik berdasarkan pengalaman saya di Sulawesi selatan, dan siapa yang semestinya bertanggung jawab dalam persoalan ini. Ulasan ini akan berangkat dari bagaimana masyarakat mengartikulasikan pandangannya tentang politik melalui pemilihan umum. Kemudian lebih jauh membahas emansipasi dalam politik, untuk meruntuhkan pandangan moralis masyarakat. Dan terakhir siapa yang seharusnya berperan aktif dalam persoalan ini. Sehingga saya akan menghindari pembahasan tentang bagaimana seharusnya laku para politisi, bagaimana seharusnya peran aparatus negara dan partai dalam menciptakan sistem yang lebih baik.
Menurut saya ini menjadi penting karena bagaimana mungkin mengharapkan sebuah perubahan yang lebih baik ditengah kondisi masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, kemudian cendekiawan yang memilih menjadi pengamat dari luar, dan para politikus yang sebenarnya bukan representasi dari masyarakat? Mau tidak mau, suka tidak suka, politik melalui produknya berupa regulasi menyentuh hingga ke hal-hal kecil dalam kehidupan kita. Apa yang kita lihat, minum dan makan adalah produk dari panggung politik. Maka tidak berlebihan rasanya jika saya mengatakan bahwa persoalan ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
***
Dalam konteks masyarakat desa dan kota, masyarakat yang ‘awam’ tentang politik sangat lumrah ditemukan. Apa yang saya sebut sebagai masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, tidaklah sepenuhnya mengacuh dari masyarakat kelas bawah. Beberapa kelompok dari masyarakat kelas menengah juga memiliki pandangan yang sama. Kelompok mahasiswa misalnya, enggan untuk berpartisipasi dalam persoalan politik dikarenakan tidak ingin menyentuh hal yang katanya sudah kotor sejak mulanya. Hal ini dapat kita lihat dari kurangnya partisipasi mahasiswa dalam diskusi-diskusi maupun aksi-aksi kecil dalam mengorganisir kekuatan politik, minimal ketika pemilihan umum berlangsung. Terkecuali bagi organisasi-organisasi mahasiswa yang sejak mulanya didirikan untuk kepentingan politik borjuasi, HMI* misalnya.
Dalam konteks kota maupun desa, masyarakat yang ‘awam’ akan politik terpecah menjadi empat tipe. Tipe pertama, masyarakat yang memilih menjauh dan menunggu ‘sedekah’. Kedua, masyarakat yang memilih mencari keuntungan dengan cara mengklaim masyarakat lain sebagai bagian dari massa yang akan memberikan dukungan pada calon-calon tertentu. Ketiga, masyarakat yang tidak begitu berharap pada keuntungan materi, namun senang pada sikap yang santun dari seorang calon. Keempat, tokoh-tokoh masyarakat dan agama yang dianggap memiliki pandangan-pandangan khas tentang seseorang.
Tipe masyarakat yang pertama biasanya rentan untuk dimanfaatkan oleh tipe masyarakat yang kedua. Karena sikap dasar masyarakat tipe pertama dan kedua yang sama-sama memilih mencari keuntungan materi, maka sebuah peluang besar bagi politisi kaya untuk memperoleh suara sebanyak mungkin. Politisi semacam ini biasanya memanfaatkan masyarakat tipe kedua untuk menjadi kaki tangan dalam mengumpulkan massa sebanyak-banyaknya dari tipe masyarakat yang pertama. Tipe masyarakat seperti ini, sangat lumrah ditemui dalam konteks masyarakat yang belum mapan secara sandang dan pangan. Jika pengalaman politik sebelumnya tidak membawa dampak apa-apa untuk urusan sandang dan pangan, maka mengambil jalan pintas dengan mendapatkan keuntungan materil pada pemilihan umum menjadi salah satu opsi. Misalnya mengharapkan pembagian uang dan kebutuhan pokok lainnya secara cuma-cuma, dan janji akan sebuah jabatan tertentu dalam struktur negara maupun partai.
Selain itu, dalam konteks masyarakat yang telah mapan secara sandang dan pangan, perilaku berpolitik tipe pertama masih bisa ditemukan, namun bentuk transaksi telah melampaui sekadar kebutuhan pokok. Politik adalah soal pertemanan dan membangun jejaring. Akses terhadap berbagai jejaring akan mempermudah berbagai urusan menyangkut pengembangan karir dan kebutuhan-kebutuhan sekunder ke depannya.
Untuk tipe masyarakat yang ketiga, biasanya menyandarkan pilihan berdasarkan pengamatan-pengamatan dari tipe masyarakat yang keempat, yaitu tokoh masyarakat dan agama. Bahwa orang yang memiliki sikap santun, ramah dan-sepanjang pengetahuan-tidak berlaku korup, adalah orang yang pantas meduduki posisi dalam struktur negara. Dengan demikian masyarakat tipe keempat adalah patron bagi masyarakat tipe ketiga. Model patronase semacam ini sangat lumrah ditemui dalam masyarakat pedalaman yang masih menjunjung tinggi nilai adat istiadat. Perilaku berpolitik seperti ini dapat ditemukan dalam konteks masyarakat yang telah mapan meskipun tidak secara sandang dan pangan. Nilai-nilai agama dan moral tentang kejujuran, kepemimpinan, dan kebersamaan yang diinternalisasi menjadi dorongan kuat untuk mencari sosok yang baik dan pas untuk menjadi representasi.
Dari keempat tipe masyarakat yang saya ketegorikan ‘awam’ dalam politik, sama-sama menyandarkan pilihan pada politisi ‘baik’. Maka politisi ‘tidak baik’ tidak akan mendapatkan ruang dari pengamatan keempat tipe masyarakat tersebut. Bagi masyarakat tipe pertama dan kedua, politisi ‘baik’ adalah yang kaya dan ‘ringan tangan’. Sedangkan bagi yang ketiga dan keempat, politisi yang ‘baik’ adalah yang santun dan menjunjung tinggi adat istiadat.
Persepsi tentang mana politisi yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’ dikalangan masyarakat ‘awam’, lahir dari berbagai informasi yang dikumpulkan. Misalnya dari percakapan langsung antara masyarakat dan politisi itu sendiri, melalui media massa, dan dari mulut ke mulut. Informasi itu kemudian direfleksikan dengan pengalaman politik yang didapatkan sebelumnya, dan keuntungan apa yang diharapkan ke depannya dengan berkontribusi dalam ‘pesta demokrasi’.
Untuk tipe masyarakat pertama dan kedua, hanya akan menyandarkan pilihan pada politisi yang telah berhasil mengakumulasi kapital. Dengan kata lain pengusaha tingkat lokal maupun nasional. Meskipun terkadang masyarakat tipe pertama dan kedua menyadari bahwa politisi semacam itu hanyalah sekelompok orang yang kelak akan menumpuk kekayaanya melalui regulasi yang mereka ciptakan. Namun keputusasaan atas dunia politik menjadikan mereka memilih untuk mengambil sikap tidak ingin tahu dan berusaha mengambil keuntungan dari politisi jenis ini melalui ajang pemilihan umum.
Kemudian untuk tipe masyarakat yang ketiga dan keempat, biasanya menyandarkan pilihan pada politisi yang berasal dari keluarga bangsawan dan tokoh-tokoh penting yang mempunyai garis keturunan jelas dan masuk dalam kategori menjunjung tinggi adat istiadat. Sehingga, politisi jenis ini dianggap patut menjadi panutan dan dianggap akan mampu membawa kesejahteraan bagi yang direpresentasikannya.
***
Dari pemaparan di atas, saya ingin mengatakan bahwa pandangan masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, mereduksi politik menjadi persoalan antara yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’. Yaitu mana politik yang manusiawi dan tidak manusiawi, bersih dan kotor, yang tercitrakan pada sosok politisi yang membawa keuntungan dan tidak.
Keempat tipe dalam masyarakat yang ‘awam’ tentang politik, yang kemudian saya tempatkan ke dalam dua konteks yang berbeda, setidaknya menggambarkan bahwasanya praktik berpolitik dalam pemilihan umum menjelaskan cara pandang yang dangkal tentang politik. Yaitu tidak melihat politik sebagai satu rangkaian sistem. Oleh karena itu, pembacaan situasi politik menurut hemat saya mesti dimulai dengan membaca persepsi tentang politik di tataran ‘akar rumput’ melalui kontestasi pemilu sebagai satu-satunya ruang dimana masyarakat hadir sebagai pelaku politik.
Ini menjadi penting karena pembacaan dari aras bawah, memberikan peluang untuk menggagas aksi-aksi dalam menentukan arah perubahan ke depannya yang terlepas dari pandangan-pandangan moral. Sebab rakyat atau massa adalah pemegang kekuasaan penuh atas negara. Sehingga aksi pedagogis yang berangkat dari pengalaman nyata memberikan ruang bagi rakyat atau massa untuk melihat lebih jauh dampak dari politik global yang menyesatkan ini.
Pembacaan atas situasi politik yang berangkat dari laku para politisi dan kekacauan partai serta aparatus-aparatus negara akan berujung pada mana politik yang baik untuk masyarakat dan mana politik yang tidak baik. Cara pandang semacam ini mereduksi daya emansipasi dari politik, karena menempatkan masyarakat sipil pada posisi kumpulan orang yang mesti mendapatkan belas kasih para penguasa. Dengan kata lain, mengharapkan perubahan dari aras atas akan menempatkan masyarakat bukan sebagai pelaku aktif dalam politik. Masyarakat hanya hadir sekali dalam lima tahun, yaitu dalam “pesta demokrasi”.
Selain itu, partai politik sebagai penghubung antara masyarakat dan kekuasaan tidak memberikan ruang pada masyarakat untuk mengkonsolidasikan kembali apabila orang yang menjadi representasi tidak merepresentasikan kepentingan masyarakat. Meskipun partai politik merupakan salah satu instrument sistem demokrasi, namun partai politik tidak ubahnya menjadi ruang bagi elite borjuis dalam merebut kekuasaan. Borjuasi yang merasa berhak dan tahu mana yang baik dan tidak baik untuk kemaslahatan bersama. Para borjuasi yang hanya bisa mengkampanyekan tentang kebaikan, namun tidak memahami kebenaran yang sesungguhnya.
Inilah konsekuensi logis dari sistem demokrasi di indonesia hari ini. Setiap warga negara memiliki hak yang sama di depan konstitusi atau dengan kata lain menjunjung tinggi nilai kebebasan, kesetaraan/egaliter. Namun pada praktiknya, kebebasan menjadi problem tersendiri. Yang kaya menggusur yang miskin, yang kaya memanipulasi aturan, politik menjadi ruang bagi yang berprestasi secara ekonomi. Itulah makna kebebasan dari sistem demokrasi hari ini, sehingga mereduksi nilai-nilai kesetaraan.
Untuk keluar dari segala macam pandangan tentang mana politik yang baik dan mana yang tidak baik, kekuasaan partai politik yang memotong koridor kekuasaan rakyat atas representasinya mesti dibubarkan terlebih dahulu. Sehingga rakyat memiliki akses untuk menarik kembali representasinya apabila telah keluar dari kesepakatan-kesepakatan kolektif.
Oleh karena itu, politik mesti dikembalikan pada kekuasaan rakyat atau massa. Pertanyaannya, apa wujud material untuk mengembalikan politik ke tangan massa? Untuk kasus ini, telah banyak cendekia yang mencoba memberi jalan keluar. Misalnya dengan memperbaiki sistem rekruitmen dalam tubuh partai, penguatan aparatus-aparatus negara, dan memberikan pendidikan politik.
Rocky Gerung melalui artikel berjudul Intelektual dan Kondisi Politik dalam jurnal Prisma edisi 28 Juni 2009, mencoba menawarkan untuk mengaktifkan argumentative society. Yaitu kondisi kebudayaan dimana transaksi politik diperiksa secara rasional, sehingga kemasukakalan sebuah proposal politik publik dapat dipercakapkan dan dikritik oleh semua warga negara.
Tawaran ini mengajukan para kaum intelektual sebagai kelompok yang mengolah dan memelihara demokrasi dalam kondisi “argumentatif”. Argumen Rocky dalam artikelnya
“...artinya, kehidupan publik harus terus dipertahankan dalam kondisi fasibilitas, yaitu dengan cara memproduksi argumen untuk mencegah monoteisme pikiran dalam menyelenggarakan kepentingan publik”.
Tapi sayangnya, pandangan ini masih terjebak ke dalam kerangka moralitas tentang mana yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’. Karena dengan keterlibatan kaum intelektual dalam mengelola demokrasi, diharapkan dapat menghindarkan politik dari laku yang ‘tidak baik’. Hal ini menempatkan politik pada perjuangan melawan ‘ketidakbaikan’. Sehingga rakyat atau massa masih menjadi kumpulan orang yang harus memilih dan memeriksa secara rasional mana yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’. Atau dengan kata lain, masih menggunakan sudut pandang pengamat. Bukan keputusan berdasarkan konsekuensi dari praksis.
Di sini saya ingin mengajukan sebuah proposal untuk mengaktifkan apa yang saya istilahkan sebagai politic society. Politik yang lahir dari proses politik itu sendiri. Meminjam argumen Alan Badiou dalam buku Alan Badiou dan Masa Depan Marxisme yang di tulis oleh Martin Suryajaya.
“kriteria penentu politik ditentukan dari dalam praksis politik itu sendiri, atau dari dalam situasi”.
Sehingga tidak ada jalan lain bagi segenap intelektual untuk ikut berpraksis atau menceburkan diri ke dalam politik keseharian masyarakat. Dalam artian, persepsi tentang politik dari masyarakat mesti dirubah dari dalam masyarakat itu sendiri.
Untuk mengubah pandangan tentang mana yang ‘baik’ dan ‘tidak baik’, masyarakat mesti bertarung dalam politik keseharian. Misalnya bagaimana menuntaskan persoalan kelangkaan pupuk pertanian, kelangkaan pangan, politisi yang banal, dan segala yang menyangkut kebutuhan primer dan sekunder. Hal ini memberikan peluang bagi masyarakat untuk belajar melihat sebuah persoalan secara kompleks dan bagaimana menuntaskannya secara bersama-sama. Dengan belajar dari problem keseharian, maka memungkinkan untuk membangun cita-cita kolektif di tataran ‘akar rumput’.
Namun hal ini tidak mungkin terjadi tanpa peran intelektual yang menceburkan diri ke dalam kehidupan keseharian masyarakat. Untuk melepas cara pandang moralis tentang politik, dibutuhkan proses pendidikan revolusioner jangka panjang. Proses pendidikan ini dijalankan dengan penuh empati dan berpegang pada nilai-nilai kesetaraan. Melalui proses pendidikan itu, rakyat akan mampu menentukan sendiri representasinya dalam berpolitik, dan tentunya berasal dari orang yang terlibat aktif dalam praksis. Perubahan mesti digagas oleh masyarakat itu sendiri, tentang membangun sebuah cita-cita, kekuatan, dan bagaimana merefleksikan berbagai kegagalan dalam praksis itu sendiri. Itulah politik.
Tidak berlebihan rasanya jika sedikit belajar dari apa yang dilakukan oleh Mao Tse-Tung di Cina. Jauh sebelum pemberontakan partai komunis cina meledak, Mao tidak dengan tergesah-gesah menceramahi kader partai dan para petani untuk segera melawan. Dia mendidik kader partai untuk memimpin para petani dengan tinggal dan bekerja bersama mereka, memakan makanan mereka, dan berpikir dengan cara pikir mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar