Jalanan dan Sang Koboi


Beberapa waktu yang lalu, gerakan mahasiswa menjadi hangat diperbincangkan oleh berbagai kalangan. Sensasi yang dipertontonkan oleh mahasiswa di jalanan dalam menolak kenaikan harga BBM mencuri konsentrasi khalayak banyak. Ada yang memuji tapi ada juga yang mencaci. Dipuji karena masih ada juga orang-orang muda yang memiliki semangat juang ditengah kondisi kampus yang sedang mengalami degradasi intelektual. Disisi lain, dicaci karena dianggap hanya bisa mempertontonkan kekerasan.  


Ada hal yang menarik dari berbagai rentetan aksi mahasiswa, baik dalam konteks BBM beberapa waktu yang lalu maupun aksi-aksi sebelumnya, yaitu keterlibatan warga sipil dalam menghentikan aksi-aksi mahasiswa.

Banyak wacana yang menjelaskan bahwa keterlibatan warga sipil bukanlah sesuatu yang alami, namun diorganisir dengan rapi oleh kekuatan yang anti terhadap gerakan mahasiswa. Namun ada juga wacana yang mengatakan bahwa sebagian besar warga sipil memang anti terhadap aksi mahasiswa yang dianggap mengganggu ketentraman di jalan raya, yang bahkan memaki mahasiswa.

Keterlibatan warga sipil-terlepas dari warga sipil yang terorganisir maupun tidak- dalam melawan aksi-aksi mahasiswa seharusnya menjadi refleksi yang serius dalam mengelolah metode-metode aksi yang lebih elegan, mempesona dan menarik simpati bukan anti-pati. Pertanyaan ‘mengapa warga sipil berbalik marah, dan mudah diorganisir?’ tidak boleh lepas dari konteks permasalahan ini. Asumsi bahwa kebanyakan warga sipil yang memang apatis, memikirkan diri sendiri, mesti dikesampingkan terlebih dahulu. Kemudian melihat lebih jauh bagaimana kondisi materil dalam arena aksi mahasiswa, yaitu jalan raya.

**********

”Sejarah jalan raya adalah sejarah kekerasan”, begitulah mungkin tepatnya menggambarkan bahwa psike jalan raya adalah psike kekerasan. Kekerasan dalam hal ini tidak hanya dimaknai sebagai sesuatu yg berhubungan dengan fisik manusia, namun juga menyangkut sesuatu yang bersifat metafisik yaitu kesadaran.

Dalam sejarah terbentuknya, jalan raya di Indonesia adalah arena kekuasaan. Jalan raya yang kita kenal sekarang adalah sarana yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Awalnya jalan raya berfungsi sebagai sarana transportasi untuk mempermudah akses pemindahan barang dan ekspansi ke daerah pelosok. Sekaligus sebagai simbol tersingkirnya masyarakat lokal dari akses berjalan kaki.

 Memasuki era kemerdekaan, politik jalan raya hadir dalam bentuk lain. Dalam konteks ini, jalanan menjadi tempat para penguasa menunjukkan eksistensinya kepada warga sipil sebagai orang yang layak dipuja. Penguasa selalu menghadirkan tubuh ontologinya melalui perbaikan jalan pada momen-momen tertentu, namun jauh dari kesadaran kolektif masyarakatnya. Selain itu, angka kecelakaan lalu lintas juga ikut bertambah akibat semakin maraknya kendaraan.

Di era kontemporer (pasca reformasi) jalan raya kembali bertransformasi, tidak hanya sebagai arena politik formal, namun juga sebagai arena politik informal (politik keseharian). Jalanan menjadi tempat mempertaruhkan “segalanya”, tidak hanya para penguasa, tapi juga oleh warga sipil. “Tidak ada yang tidak boleh di Jalanan”, begitulah mungkin tepatnya menggambarkan kondisi jalan raya.

Jalan raya di era kontemporer adalah tempat pertarungan memperebutkan kuasa. Meskipun kemudian kekuasaan yang diperebutkan kadang saling berbenturan. Angkutan umum dan pedagang kaki lima menjadikan jalan raya sebagai ruang pertarungan ekonomi, geng motor menjadikan jalan raya sebagai tempat melampiaskan hasrat, serta pengguna jalan lainnya yang menjadikan jalan raya sebagai ruang melampiaskan keluh kesah.

Hal ini sebagai konsekuensi logis dimana hampir seluruh ruang yang menjadi tempat praktik politik keseharian, menunjukkan eksistensi, habis direnggut. Penyediaan ruang publik dapat dikata minim, institusi-institusi tempat menitipkan separuh kekuasaan seperti parlemen, kepolisian, dan militer malah berkhianat, serta keberadaan ruang publik yang diprivatisasi dan direnggut oleh kekuasaan yang lebih besar.

Kondisi materil diluar konteks jalan raya yang menyebabkan hilangnya koridor-koridor kekuasaan  menimbulkan berbagai fenomena. Sehingga hasrat untuk menguasai hadir di jalan raya, yang kemudian mengkonstruk kesadaran manusia untuk melawan apa saja yang mengganggu kekuasaanya di jalan raya dalam bentuk kekerasan.

Sehingga sikap anti terhadap gerakan mahasiswa adalah bentuk kesadaran yang lahir dari sebuah kesadaran yang telah terkonstruk sebelumnya oleh kondisi materil.

**********

 Gejala-gejala yang kita lihat di Jalan raya, hanyalah bentuk ekspresi dari apa yang disebut dengan kesadaran. Jalan raya bukanlah institusi, jalan raya adalah ruang berekspresi. Sehingga menyerang jalan raya, sama halnya menyerang kesadaran manusia yang sebelumnya telah melalui proses kekerasan dari apa yang didengar, dilihat dan dirasakan.

Maka dalam konteks ini, perlu kiranya mahasiswa merefleksi kembali model gerakan yang lebih elegan. Jika gerakan mahasiswa bertujuan membangun sebuah kesadaran kritis pada tataran masyarakat, maka mempertontonkan kekerasan fisik di jalan raya, bukanlah pilihan yang bijak.

Sebuah kerja-kerja penyadaran sangat diperlukan dalam konteks ini. Sangat jarang menemukan gerakan mahasiswa yang membombardir masjid, mushallah, minimarket, gedung parlemen, pasar tradisional, sekolah-sekolah, bahkan ke rumah-rumah dengan selebaran-selebaran propaganda. Yang terjadi hari ini sangat mirip dengan apa yang pernah digambarkan oleh Alm. Gusdur, “Mahasiswa itu mirip koboi, sekali muncul langsung menembak kiri kanan dan kemudian menghilang entah ke mana”.

Mungkin letupan keras di jalan raya akan berbalik menjadi sebuah pesona jika semua elemen, komunitas, ikut ambil andil.


#tulisan ini dimuat di rubrik literasi koran tempo makassar
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar