Dalam pidato
kemenangannya, presiden Joko Widodo berkata bahwa, “kita telah lama memuggungi
laut”. Memunggungi laut dalam hal ini adalah, sebuah sikap yang tidak lagi
melihat laut sebagai sumber penghidupan dan pengetahuan. Mungkin kutipan dari
pidato ini sangatlah politis, karena ada euforia tersendiri dari sebuah
kemenangan di arena politik. Tapi terlepas dari konteks politik, mungkin gerak
memunggungi laut ada benarnya.
Melalui pidato kebudayaannya pada tahun
2014, Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan bahwa ratusan tahun yang lalu,
bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat unggul dalam berurusan dengan laut.
Keterampilan memimpin, berorganisasi dan berdagang adalah kemampuan yang lahir
sebagai konsekuensi logis dari interaksi masyarakat dengan laut. Interaksi yang
berbasis pengetahuan, melahirkan masyarakat yang memandang laut sebagai
penopang sebuah kebudayaan, yang didalamnya telah mencakup urusan ekonomi dan
politik.
Bayangkan saja, kerajaan Makassar
misalnya. Pada abad ke-17, kerajaan Makassar pernah menjadi bandar
Internasional yang menjalin hubungan dagang dengan banyak negara. Menurut
Hilmar Farid, yang perlu dilihat secara serius dari fakta sejarah ini, bukanlah
keberhasilan Makassar memonopoli perdagangan internasional, tapi lebih kepada
syarat-syarat yang memungkinkan kerajaan Makassar mampu mencapai prestasi
tersebut.
Dalam mengelolah sebuah sistem kenegaraan,
tentunya dibutuhkan kecakapan memimpin, mengatur jalannya sistem,
berorganisasi, dan tentunya berdagang. Kecakapan yang dimiliki kerajaan
Makassar merupakan buah dari interaksinya dengan laut. Upaya mempelajari laut,
menghadapi tantangan alam, dan mengorganisasikan diri dalam kerja-kerja
kolektif di perairan lepas, menciptakan sebuah mental yang tangguh dalam
berurusan dengan orang banyak. Kemudian melahirkan masyarakat dan pemimpin yang
ulet, piawai, memahami fungsi organisasi, dan cakap dalam menuntaskan
persoalan.
Kemudian, narasi tentang kebesaran masa
lalu, coba diangkat kembali oleh pemerintah kota Makassar dan pemerintah
Provinsi. Hal itu diwujudkan melalui berbagai pembangunan infrastrktur berbasis pesisir.
Bagi mereka, kebesaran masa lalu mesti dikembalikan dengan memanfaatkan laut
sebagai arena menguasai perekonomian, khususnya di wilayah Indonesia Timur.
Selain itu, wilayah pantai juga dikembangkan demi menyediakan ruang terbuka
bagi masyarakat. Seperti yang terjadi di area pantai losari Makassar.
Untuk mewujudkan upaya menguasai
perekonomian dalam bidang maritim, pemerintah kota juga mengembangkan pelabuhan
Soekarno-Hatta menjadi pelabuhan internasional, yang memanjang dari pesisir
pantai losari, membentang hingga ke pesisir bekas kerajaan Tallo. Mega proyek
tersebut telah berjalan kurang lebih lima tahun.
Tapi yang menjadi pertanyaan, apakah
aktivitas maritim kota Makassar di masa sekarang dapat mewujudkan sebuh
masyarakat, perekonomian dan pemerintahan yang benar-benar berciri maritim? Apa
sebenarnya yang berubah selain wajah fisik kota?
***
Seperti yang dijelaskan di atas, ciri
masyarakat, perdagangan dan pemerintahan berbasis maritim tidaklah sepenuhnya
ditumpukan pada pembangunan infrastruktur di wilayah perairan. Selain itu,
fakta yang ada, menunjukkan bahwa sama sekali tidak ada pemahaman yang memadai
soal kemaritiman.
Fakta menunjukkan bahwa, ada perubahan
gerak dari laut ke darat. Pembangunan ditumpukan sepenuhnya pada wilayah
daratan. Hal ini dapat dikonfirmasi melalui fakta-fakta tentang pembangunan
infrastruktur, pabrik-pabrik, hotel, pusat hiburan, dan lain-lain. Apa
dampaknya? Tidak sedikit masyarakat yang mesti kehilangan tempat tinggal akibat
pembangunan hotel dan gedung-gedung tinggi.
Bahkan lebih parahnya, pembangunan di
daratan yang semakin meroket, menyebabkan penyempitan lahan dan ‘memaksa’
pemerintah membuka lahan-lahan baru dengan cara men-darat-kan laut atau
yang dikenal dengan reklamasi. Dengan kata lain, menciptakan daratan baru
dimana laut menjadi objeknya.
Upaya men-darat-kan laut, yang
terjadi di pesisir kota, adalah konsekuensi logis dari upaya mengembangkan
wilayah pesisir sebagai kawasan bisnis. Lahan kota yang semakin menyempit
akibat pembangunan yang semakin meroket di wilayah daratan, ‘memaksa’
pemerintah memanfaatkan wilayah pesisir sebagai alternatif. Kedua, menimbun
wilayah pesisir dianggap akan membuka ruang baru bagi penyediaan ruang publik
bagi masyarakat kota.
Di wilayah pantai barat kota Makassar,
pemerintah melakukan penimbunan seluas 157 hektar guna menyokong mega proyek Center
Point of Indonesia (CPI). Rencananya, 57 hektar akan diserahkan kepada
Pemerintah Provinsi untuk pembangunan Wisma Negara. Sedangkan sekitar 100
hektar sisanya akan dikuasai oleh swasta, dalam hal ini Ciputra Surya TBK untuk
kepentingan perhotelan, bisnis, dan pemukiman mewah. Selain terkait dengan
dampak lingkungan, izin dari penimbunan ini juga dianggap cacat prosedural.
Untuk menyokong mega proyek New
Port, Pelindo IV yang dipercayakan mengelolah proyek akan
menyulap laut menjadi dermaga dan lapangan peti kemas serta sejumlah fasilitas
lainnya seluas 300 hektare. Selain itu, akan dibangun akses jalan sepanjang 2
kilometer yang menghubungkan pelabuhan baru itu dengan daratan. Panjang dermaga
Makassar New Port akan mencapai 2.120 meter dengan kedalaman
kolam 14 meter. Parahnya, bukan hanya pihak pemerintahan yang melakukan
penimbunan, namun pihak swasta yang disokong oleh pemerintah kota ikut
terlibat. Puluhan hektar laut yang ditimbun, dipersiapkan sebagai wilayah
bisnis untuk pengembangan pelabuhan internasional.
Apa dampaknya? Selain dampak kerusakan lingkungan, seperti yang
banyak dikampanyekan oleh para penggiat lingkungan, penimbunan oleh pihak
swasta sempat menimbulkan konflik antara warga dan investor di kelurahan Buloa.
Bagi warga Kelurahan Buloa, Kecamatan Tallo, penimbunan itu mengganggu
aktivitas nelayan di perairan. Karena konflik tersebut, 10 kepala keluarga
memilih menyingkir dari wilayahnya.[1]
Selain itu, warga kampung Buloa yang tidak
mampu membuat kapal dengan ukuran besar, tidak memiliki keberanian untuk
memasuki perairan lepas. Sehingga mereka hanya mampu berlayar sekitar 2 km dari
bibir pantai. Oleh karena itu, nelayan dengan perahu kecil, kesulitan
mendapatkan ikan dan kerang-kerangan sebab penimbunan di bibir pantai mencapai
1 km ke laut. Hingga kini, dari 250 kepala keluarga yang menghuni kampung
Buloa, hanya 18 kepala keluarga yang masih memanfaatkan laut sebagai sumber
mata pencaharian. Selebihnya memilih menjadi buruh, tukang becak, dan pemulung.
Begitupun dengan para pencari kerang dan
nelayan di sekitar pantai losari. Mongabay.com memberitakan
bahwa jalur nelayan di sekitar pantai losari semakin terkurung karena
pembangunan sebuah rumah sakit besar dan jalan utama menuju metro tanjung
bunga, menutup akses mereka. Selain itu, 43 kepala keluarga di sekitar kawasan
tersebut mesti kehilangan tempat tinggal sebagai imbas dari proses reklamasi
guna menyokong pembangunan properti bisnis. Lalu lagi-lagi mereka memilih
meninggalkan laut.
Jika mengambil contoh atas apa yang
terjadi di pesisir kota Makassar, sampai disini, gerak memunggungi laut
kemudian menjadi logis. Ada semacam upaya menundukkan laut yang kemudian
berdampak pada semakin berjaraknya masyarakat dengan laut itu sendiri.
Kenyataan yang ada, berbanding terbalik dengan cita-cita maritim.
Dampak dari reklamasi justru memisah
masyarakat dari lautnya. Gerak ke laut kemudian berpindah ke darat. Gerak
perekonomian masyarakat kecil beralih dari laut ke darat. Perspektif tentang
maritim yang mewujud di kenyataan, adalah memanfaatkan laut untuk kepentingan
perekonomian ‘negara’ dengan cara men-darat-kan laut.
Dengan semakin beralihnya penduduk di
pesisir kota menuju daratan, maka penguasaan dan pengetahuan terhadap laut
tidak lagi dimiliki oleh masyarakat. Lebih daripada itu, kerja di daratan dalam
lingkup perkotaan tidaklah begitu mengharuskan memiliki kecakapan, mentaktisi
resiko, kemampuan mengatur sistem, dan ketangguhan memimpin. Karena, bagi
masyarakat kecil di pinggiran, tempat bagi mereka di wilayah daratan akan
ditentukan sepenuhnya bagi yang membeli tenaga-kerja-nya. Maka
dengan itu, lahirlah stereotype ‘masyarakat malas’, dan ‘tidak berpendidikan’.
Seperti yang terjadi pada masyarakat Buloa yang hampir 90% telah beralih ke
darat, mesti bergantung sepenuhnya pada keberadaan lapangan kerja.
Maka gerak memunggungi laut, bukan hanya
persoalan ekonomi. Tapi lebih mendasar, itu adalah persoalan kebudayaan. Karena
men-darat-kan laut mengubah gerak masyarakat, pola hidup, produksi
pengetahuan, dan membentuk pandangan bahwa darat dan men-darat-kan laut
adalah solusi perkembangan zaman.
Oleh karena itu, perlu rasanya memikirkan
kembali bagaimana sebenarnya perekonomian berbasis maritim. Karena pemahaman
tentang perekonomian maritim hari ini malah menimbulkan dampak yang memisahkan
masyarakat kecil dari laut. Sehingga apa yang terjadi adalah terkikisnya
kebudayaan maritim itu sendiri. Maka langkah yang paling tepat adalah
menciptakan perekonomian dan kebudayaan maritim berbasis nelayan-nelayan
pesisir kota.
[1] Data ini
dikumpulkan penulis saat melakukan penelitian tugas akhir di wilayah pesisir
kota Makassar, salah satunya di kecamatan Tallo, tepatnya di kelurahan Buloa.
REFERENSI
http://hilmarfarid.com/wp/arus-balik-kebudayaan-sejarah-sebagai-kritik/
https://m.tempo.co/read/news/2016/08/05/058793492/reklamasi-pantai-makassar-walhi-sulsel-ajukan-banding
Mongabay.com/reklamasi pantai losari Makassar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar