Aksi bela islam yang menghadirkan
ratusan ribu massa-bahkan ada portal berita yang menyampaikan bahwa ada dua
juta massa-merupakan aksi fenomenal di Indonesia pasca orde baru. Aksi ini
adalah bentuk show force kelompok
Islam konservatif yang mampu membuat presiden Joko Widodo mesti bersafari
hingga ke markas baret merah dan ungu untuk menyatakan bahwa Indonesia sedang
darurat.
Saya
selalu percaya bahwa, jangankan ratusan ribu, menghadirkan puluhan orang dalam
sebuah aksi besar bukanlah pekerjaan yang gampang. Sehingga saya juga percaya
bahwa massa aksi 411 bukan sekumpulan orang yang tiba-tiba saja ingin turun ke
jalan karena merasa bahwa agamanya dihina, tanpa ada proses panjang sebelumnya.
Soal dari mana mereka, dan bagaimana orang-orang itu direkrut, menjadi
pertanyaan bagi saya.
Dalam
kehidupan sehari-hari, kelompok islam konservatif dikenal tidak banyak
berinteraksi dengan kelompok masyarakat lainnya. Bahkan seringkali dijauhi dan
diabaikan karena sikapnya yang sering meng-kafir-kan orang lain. Tapi
temuan-temuan saya dibeberapa tempat, mengkonfirmasi bahwa, hanya sebagian
kecil orang yang tidak berterima dengan keberadaan mereka. Di lingkup kampus,
kelompok mereka tumbuh dengan subur. Ditandai dengan banyaknya mushallah yang
mereka dirikan. Tidak hanya urusan akhirat. Di luar kampus, selain masjid
mereka turut mendirikan sekolah, tempat perbelanjaan yang jenisnya beragam, mulai
dari toko makanan, kecantikan hingga toko bahan bangunan. Bahkan memiliki
beberapa produk, seperti air mineral.
Apa
yang dapat saya petik dari temuan-temuan itu, anggapan banyak orang bahwa
mereka hanya mengurusi urusan agama tidaklah benar. Mereka mampu menjadi bagian
dari masyarakat luas dengan banyak medium. Mereka berupaya meyakinkan
masyarakat luas bahwa kelompok mereka
juga mengurusi pendidikan, hingga mata pencaharian. Hal itu juga
sekaligus sebagai medium untuk berinteraksi dengan orang banyak. Misalnya saat
orang-orang mulai mengenal pusat perbelanjaan dan produk mereka, maka sangat
memungkinkan untuk semakin mempererat ‘silaturahmi’ serta meyakinkan banyak
individu bahwa mereka tidak hanya mengangkat ‘derajat’ keagamaan seseorang.
Tapi juga mampu melepas orang-orang dari jerat kemiskinan dan kebodohan.
Awalnya
saya berfikir bahwa apa yang mereka dirikan adalah milik perseorangan. Tapi
temuan di beberapa tempat, orang yang sama menjaga beberapa toko di lokasi yang
berbeda-beda. Hal itu meyakinkan saya bahwa mereka berjejaring dan saling
menyokong satu sama lain. Solid betul. Untuk urusan ekonomi, mungkin saja apa
yang mereka kerjakan tidak sekedar untuk mengisi perut. Tapi sekaligus
merupakan lapangan pekerjaan bagi kadernya, guna agenda yang lebih besar. Jika
apa yang saya temukan juga terjadi di tempat lain, maka bukan hal yang mustahil
jika kelompok islam konservatif mampu membiayai aksi sebesar 411. Karena mereka
punya pondasi ekonomi yang kuat. Bukankah kaum progresif percaya bahwa sebelum
berpolitik, pertama-tama orang mesti mengisi perutnya.
Pelajaran
berikutnya yang dapat saya petik dari beberapa temuan adalah, mereka tidak
perlu menghabiskan waktunya berkoar-koar di media sosial, apalagi membuat
postingan kritis dan berharap ada orang yang membaca lalu ingin menjadi bagian
dari mereka. Mereka percaya bahwa bertatap langsung-salah satunya melakukan rap
di tiap-tiap rumah-dengan berbagai medium yang diciptakan, merupakan metode
paling ampuh untuk merekrut kader dan mempengaruhi orang. Dengan kata lain, ada
kerja-kerja pengorganisasian dalam kehidupan sehari-hari mereka. Mereka rela
‘mengotori tangan’ keluar masuk sekolah dan kampus mendirikan mushallah, berdagang,
dan berproduksi. Disisi lain, masih banyak orang-orang progresif hari ini yang masih
selalu mempermasalahkan jarak, ingin tangannya selalu ‘bersih’, dan baru sibuk
ketika alarm kebakaran berbunyi.
Mungkin,
cara-cara doktrin dengan janji surga agar kadernya mau berjihad versi mereka,
hanya salah satu bagian dari seluruh sistem kerjanya. Proses doktrin dijalankan
apabila berhasil meyakinkan orang-orang yang direkrut bahwa ketakutan mereka
akan urusan duniawi telah selesai, dengan berbagai fasilitas yang mereka
sediakan. Meskipun belum dalam skala besar. Bisa jadi, dalam pergaulan
sehari-hari, mereka sengaja menampakkan diri sebagai kelompok yang hanya sibuk
dengan urusan akhirat, guna mengalihkan fokus lawannya.
Sampai
di sini, aksi 411, bagi saya, merupakan buah dari kerja-kerja kolektif mereka
yang sangat terorganisir. Mereka tidak perlu berbicara panjang lebar soal teori
aksi massa, dan segala tetek bengek teori gerakan. Tapi secara langsung aksi
411 membuktikan bahwa mereka lebih maju beberapa langkah dari sebagian besar
gerakan progresif. Aksi-aksi kekerasan oleh FPI yang dipertontonkan hanyalah
bagian kecil dari skenario yang dibangun oleh kelompok islam konservatif. Di balik
itu ada gerakan senyap dengan agenda yang besar. Terlepas dari persoalan
penistaan agama, saya yakin bahwa mereka memang mampu menggerakkan massa
sebanyak itu.
Terakhir,
peristiwa ini merupakan tamparan keras bagi beberapa kelompok gerakan progresif
yang masih berkutat dalam antagonisme gerakan. Saling sikut, berlomba mencari
panggung, dan lebih asik bercokol di markasnya ketimbang menjalin relasi dan
jejaring di luar kelompoknya. Secara pribadi saya angkat topi untuk mereka.
Mengutip Pak Jokowi, “kerja kerja kerja”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar