Membaca Masa Depan Gerakan Petani


Mengorganisasikan petani tentu bukan pekerjaan mudah. Di Indonesia, setiap pulau, mungkin saja setiap daerah/kabupaten, atau mungkin saja, bahkan setiap desa, kontradiksi yang terjadi pada petani bisa saja berbeda-beda. Mulai dari permasalahan hak atas tanah, ketersediaan input dalam kegiatan pertanian sepereti air, jalan, dll, hingga ke persoalan kepastian pasar. Belum termasuk persoalan relasi oposisi antara petani dengan para setan-setan desa dan gangguan dari pihak-pihak di luar petani.

Pengorganisasian petani, dengan demikian, mensyaratkan pemahaman yang mendalam atas kondisi dan situasi petani di seluruh penjuru negeri berdasarkan kekhasannya masing-masing. Beda tempat, beda level kontradiksinya. Beda level kontadiksi, beda pula media dan strategi pengorganisasiannya. Bahkan, salah satu partai terkemuka di masa lalu harus menurunkan kadernya sebanyak kurang lebih 3000 orang hanya untuk memahami kondisi petani di pulau Jawa melalui sebuah riset partisipatif.

Akan tetapi, sebelum berbicara soal level kontradiksi, menurut saya ada satu hal mendasar yang patut menjadi perhatian. Yaitu, cara pandang petani pada bertani itu sendiri. Dewasa ini, akan sangat mudah menemukan petani yang memandang kegiatan bertani semata hanya sebagai alat untuk menumpuk kekayaan individual. Kegiatan bertani menjadi arena kompetisi ekonomi yang sangat sengit. Petani sedang dan kecil berhasrat besar untuk memiliki lebih banyak faktor produksi (tanah, teknologi dan pengetahuan) demi mengejar ketertinggalan dari petani besar. Petani besar, dengan semangat monopolinya, menghancurkan petani sedang dan kecil. Hal ini bisa dikonfirmasi di beberapa tempat di Sulawesi Selatan, khususnya daerah dengan komoditi dominan yang menjadi incaran pasar.

Salah seorang sahabat pernah bertutur perihal kondisi petani lada di kampung halamannya, yang tampaknya mencerminkan cara pandang petani dalam bertani. Ia bertutur, bagaimana petani-petani lada di kampung halamannya, yang mengerjakan lahan tak kurang dari 2 ha, tak lagi berminat untuk menanam pangannya sendiri. Alasannya sederhana, komoditi lada, yang harganya terbilang tinggi, lebih menjanjikan ketimbang mengurusi komoditi kecil yang tidak bernilai ekonomi tinggi.

Hal serupa juga pernah saya jumpai di banyak desa. Salah satunya, petani yang mengembangkan tanaman pisang. Para petani yang awalnya menanam jenis pisang lokal, yang dikembangkan untuk kebutuhan hari tertentu-hari raya misalnya-, dan jauh dari kebutuhan untuk dipertukarkan di pasaran, memilih untuk memotong tradisi itu demi mengembangkan pisang jenis lain yang katanya-berdasarkan informasi dan anjuran dari salah satu universitas ternama-bernilai ekonomi tinggi dan laku keras di pasaran.

Jika cara pandang demikian menjadi dominan di kalangan petani, anggapan bahwa faktor produksi sepereti tanah, teknologi dan pengetahuan mesti dibagikan secara merata ke semua petani, hanya akan menambah persoalan yang muncul karena asas kerja bertani tidak lagi didasari oleh semangat kolektif. Malah yang berpotensi terjadi adalah saling berebut sumberdaya, saling telikung, bahkan memecah belah para petani. Hal seperti ini sudah sering terjadi dalam lingkup keluarga petani. Rebutan tanah warisan, yang bahkan kerap diselesaikan dengan jalan baku tikam. Alasannya sederhana, agar tanah tersebut dapat segera diubah menjadi pundi-pundi uang. Bahkan lebih parah lagi, jika minat bertani sudah tak ada lagi, cukup menjual lahan untuk beralih ke jenis kegiatan profit lain yang lebih praktis dan menguntungkan. Regenerasi petani mati di sini.

Persoalan lain yang timbul akibat cara pandang seperti ini adalah, petani berlaku eksploitatif terhadap alat produksinya, yaitu tanah. Biasanya, untuk mengeksploitasi tanah secara besar-besaran, guna menghasilkan keuntungan yang berlipat-lipat, pupuk dan pestisida sintetis menjadi pilihan paling instan. Dampak terbesar dari perilaku seperti ini adalah, usia produktif tanah tidak akan panjang karena membunuh ekosistem di dalam tanah yang menjadi faktor atas kesuburan tanah. Di masa depan, generasi petani muda tidak akan bisa melanjutkan kerja-kerja bertani akibat ulah generasi petani sebelumnya.

Dalam rangka mengorganisasikan petani, petani mesti mampu melampaui cara pandang tersebut. Jika tidak, pengorganisasian gerakan petani hanya akan menghasilkan generasi petani yang cita-cita dan tujannya hanya terpaku pada akumulasi kekayaan individual semata. Lebih fatalnya, hal itu sangat berpotensi untuk menghancurkan visi politik gerakan petani. Karena di dalam tubuh gerakan, hanya diisi oleh petani yang terobsesi untuk menjadi kaya. Tidak hanya itu, kerusakan ekosistem juga tidak akan pernah menjadi pertimbangan dalam menentukan metode bertani seperti apa yang akan dijalankan.

Oleh karenanya, memotong cara pandang demikian, akan menjadi batu loncatan pertama dalam membangun gerakan petani. Sebelum mendorong visi politik gerakan petani, pertama-tama dan paling minimal, petani mesti memahami bahwa bertani tidak hanya semata urusan mengakumulasi keuntungan finansial. Bertani adalah pekerjaan luhur. Bertani adalah proses sakral dimana manusia membidani kelahiran pangannya dari rahim ibu bumi. Bahwa petani mesti memikirkan masa depan anak cucunya yang akan melanjutkan peran penting tersebut. Petani mesti sadar dan tahu diri bahwa kita, umat manusia, hanyalah salah satu penghuni kecil di alam semesta, oleh karenanya harus menjadi bagian dari proses penciptaan keseimbangan ekosistem. Bukan justru membunuh peradaban kecil yang hidup di tanah.


Tentunya ini bukan hal mudah, karena membutuhkan pikiran dan partisipasi banyak orang, serta waktu yang panjang. Sebagaimana, salah satu partai besar di masa lalu itu, yang secara massif mendorong 3000 kadernya untuk turun ke desa-desa hanya untuk memahami kondisi petani di satu pulau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar