Seperti biasanya, hari buruh internasional (May Day) yang
jatuh pada tanggal 1 mei, diramaikan dengan aksi unjuk rasa dari para pekerja/buruh
dan mahasiswa. Kompas memberitakan bahwa ada 35 serikat buruh yang turun ke
jalan. Isu sentral dan tuntutan sebagian besar serikat buruh, masih sama dengan
peringatan May Day ditahun-tahun sebelumnya, yaitu kesejahteraan buruh. Serikat
buruh menuntut kenaikan upah dan pengurangan jam kerja, sedangkan buruh yang tergabung dalam perkumpulan dosen/pengajar
menuntut pengangkatan pengajar kontrak menjadi tetap/PNS, serta menuntut
kenaikan standar upah bagi pengajar. Selebihnya, mendeklarasikan mengenai
urgensi soal kendaraan politik bagi gerakan buruh.
Tuntutan sectarian gerakan
buruh
Apa yang dipertontonkan sebagian besar organisasi buruh pada
peringatan May Day tahun ini, menunjukkan seperti apa dinamika gerakan buruh
itu sendiri. Dari tahun ke tahun, tidak banyak yang berubah di internal sebagian
besar organisasi buruh . Buruh masih berkutat pada soal-soal kesejahteraan,
yaitu upah dan jam kerja. Setiap tahunnya, saat may day, buruh turun ke jalan
dan menuntut kesejahteraan.
Hal tersebut mengasumsikan posisi perjuangan buruh, yaitu
tetap menjadi buruh dan menjadi ujung tombak dari produksi kapitalis. Dalam hal
ini, buruh tidak mempersoalkan posisinya dalam sirkulasi produksi kapital. Asalkan
upah layak, cukup untuk kebutuhan makan,
membeli rumah, motor, mobil, tak apalah tetap menjadi buruh. Asalkan punya
banyak waktu luang, liburan bersama keluarga, bermain bersama anak, tak apalah
kapitalisme tetap tumbuh subur.
Singkatnya ada semacam upaya untuk ber-simbiosis-mutualisme. Bahwa relasi internal antara buruh/proletar dan
borjuis adalah saling menopang satu sama lain. Jika borjuis ingin tetap eksis,
maka sejahterakanlah para buruh/proletar. Borjuis tetap tenang, dan proletar
juga ikut tenang.
Beberapa pemimpin serikat buruh, coba menutupi dis-orientasi
itu dengan dalih : buruh butuh sejahterah terlebih dahulu agar bisa berpolitik.
Mengutip argument Marx tersebut, seakan gerakan buruh masih tetap berjalan
pada koridornya. Tetapi mereka lupa, bahwa kebangkitan gerakan buruh mesti
bermula dari kontradiksi internal dari buruh itu sendiri. Bahwa derita
kemiskinan yang mesti ditanggung oleh buruh atas semakin menguatnya kekuatan
kapitalisme, merupakan momentum kebangkitan para buruh untuk bersatu,
mengorganisir diri dan organisasi, meretas sektarianisme antar serikat, memperkuat
pendidikan politik, bersama-sama memimpin negeri ini dan sama-sama memikirkan system
yang melampaui kapitalisme. Bukannya mengorganisir
buruh lalu melakukan aksi-aksi sectarian dan mengadvokasi hal-hal yang sifatnya
normative. Tidak akan ada sebuah gerak baru, tanpa kontradiksi.
Urgensi kendaraan
politik
Kesadaran akan pentingnya kendaraan politik (partai) yang
menjadi basis gerakan buruh, merupakan sebuah langkah lebih maju. Meskipun saya
sendiri belum tahu apakah gagasan tersebut benar-benar lahir dari refleksi para
buruh, atau merupakan gagasan elite organisasi yang ujung-ujungnya menjadikan
buruh sebagai tunggangan.
Terlepas dari itu, setidaknya, gagasan ini-sadar tidak sadar-mengasumsikan
beberapa arah gerakan buruh : 1. Meretas sektarianisme organisasi buruh,
melalui payung partai buruh. 2. Menjadi medium bagi buruh untuk memperkuat
ideologisasi, pendidikan politik, dan berlatih mengorganisir kerja-kerja
politik. 3. Menjadi medium bagi buruh untuk bertukar pengetahuan, keterampilan
antar sektor produksi/pabrik. 4. Menjadi medium bagi buruh untuk mengorganisir kegiatan
ekonomi alternative.
Mengapa dalam sosialisme ilmiah, kekuasaan mesti diambil alih
oleh kelas buruh? Karena buruh adalah kelas yang paling memungkinkan untuk memutar
balik keadaan. Mereka adalah kelompok yang terlibat langsung dalam sirkulasi
produksi kapital, mereka yang sangat paham seperti apa kapital bekerja. Karena terlibat
langsung, maka mereka juga yang paling memungkinkan untuk menemukan anti-tesa
dari mekanisme kerja dalam sirkulasi produksi kapital. Singkatnya seperti itu.
Akan tetapi, hal itu tidak akan pernah terwujud apabila buruh
tidak mempersiapkan diri dengan cara terus belajar, diantaranya berlatih
mengorganisir kerja politik, belajar mengorganisir ekonomi mandiri, melalui koperasi
partai misalnya, dan meretas sektarianisme. Sektarianisme dalam hal ini tidak
bisa dipahami sebagai sektarianisme antar organisasi buruh. Tapi mesti
melampaui itu. Gerakan buruh mesti mampu berkonsolidasi dengan sektor gerakan
lain, gerakan petani misalnya. Apalagi kondisi Indonesia, jumlah petani masih
lebih banyak dibandingkan buruh.
Selama kesadaran urgensi kendaraan politik masih dalam
koridor visi gerakan buruh, maka hal itu mesti didukung. Tetapi apabila urgensi
kendaraan politik masih dalam bingkai isu sectarian buruh, membuat partai agar
buruh punya perwakilan sendiri lalu mampu membawa ‘kesejahteraan’ bagi buruh,
maka hal itu mesti ditolak.
Perjalanan yang masih Panjang
Apa yang dihadapi gerakan buruh hari ini, tidak jauh berbeda
dengan kondisi saat Internationale I didirikan. Sektarianisme buruh, saling
sikut, kerja panjang meyakinkan para buruh, serta debat teoritis antar pemimpin
organisasi buruh, adalah dinamika yang tak terelakkan. Bahkan Marx sendiri
pernah berkata “kita mesti santun dalam bertindak, tapi tegas dalam isi” untuk
meyakinkan buruh mengenai arah gerakan dalam menumbangkan kapitalisme.
Kondisi di Indonesia sendiri, jangankan debat ilmiah terkait
visi perjuangan buruh, para buruh malah masih disibukkan menolak dan melawan pekerja
kasar dari luar negeri. Asumsinya, ekspor pekerja hanya akan semakin
memperparah kondisi pengangguran di Indonesia. Padahal, pekerja kasar yang diekspor, bukanlah
musuh organisasi buruh di Indonesia. Mereka bisa dilihat sebagai potensi untuk
menghubungkan organisasi buruh di Indonesia, dengan organisasi buruh dari
negara asal tenaga-kerja asing. Bukankah Marx pernah mengatakan bahwa “buruh
tidak memiliki negeri”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar