Sumber gambar : http://insomnia.net
Sebagai
ideologi negara, pancasila diharapkan bisa diinternalisasi oleh seluruh
masyarakat Indonesia. Menjadi pedoman manusia Indonesia dalam segala
aktivitasnya di atas bumi Indonesia. Tapi dapat dikata bahwa pandangan atas
pancasila, khususnya generasi muda hari ini, mengalami degradasi. Contohnya,
semakin berkembangnya pemahaman tertentu yang hendak menjadikan agama sebagai
dasar negara di kalangan pelajar, orientasi sebagian besar keluaran institusi
pendidikan yang hanya terfokus pada kesejahteraan individual, hilangnya empati
terhadap sesama masyarakat Indonesia, serta upaya mengadopsi pemahaman dan
nilai-nilai yang tidak hidup dalam masyarakat Indonesia. Terlebih di tengah
perkembangan teknologi, khususnya teknologi informatika, semakin membuka
potensi masuknya berbagai hamparan pemahaman dari luar.
Gejala
maupun kenyataan yang terjadi pada generasi muda hari ini, telah dirasakan oleh
berbagai pihak. Kondisi generasi muda yang tidak lagi menjadikan pancasila
sebagai pedoman menjalani kehidupan di tanah Indonesia, pun telah menjadi
kekhawatiran banyak pihak. Terlebih diramalkan bahwa Indonesia akan mengalami
surplus demografi hingga tahun 2050. Jika orientasi generasi muda ke depannya
sesuai dengan cita-cita pancasila, maka akan menjadi kekuatan besar bagi
Indonesia. Tapi apabila orientasi mereka melenceng dari prinsip dalam pancasila,
maka akan menjadi bencana.
Meskipun
pancasila diajarkan di seluruh jenjang pendidikan, diucapkan pada setiap
upacara bendera, tidak berhasil membuat generasi muda menginternalisasi
pancasila dalam kehidupan bernegara. Salah satu penyebabnya, sebagaimana
diugkapkan oleh Yudi Latif, pancasila tereduksi menjadi sekadar hafalan, kurang
mampu diinternalisasi sebagai pendirian hidup[1]. Pendapat lain, mengatakan
bahwa hal itu adalah efek globalisasi.
Bagi
penulis, masyarakat Indonesia tidak bisa menghindar dari proses globalisasi,
karena hal itu merupakan keniscayaan dari perkembangan pengetahuan dan
teknologi. Apa yang terjadi pada generasi muda hari ini, adalah buah dari upaya
menyerap berbagai hal yang tidak hidup di bumi Indonesia, yang diserap tanpa ideologi
dan prinsip kehidupan yang sifatnya ke-Indonesia-an. Berhadap-hadapan dengan
berbagai pemahaman, gaya hidup, dan pengetahuan, jika dikelola dengan baik
berdasarkan prinsip pancasila, akan menghasilkan generasi muda yang kaya
wawasan. Dan tentunya berguna bagi keberlangsungan bangsa Indonesia. Dengan
kata lain pancasila menjadi filter dalam berbagai ‘pergaulan’.
Sekadar
menyalahkan globalisasi, berpotensi terjebak pada sikap menjauhkan generasi
muda dari berbagai kemungkinan memperkaya pengetahuan dan wawasan yang dapat
diserap dari berbagai tempat di belahan bumi yang dapat berguna bagi
keberlangsungan bangsa Indonesia.
Oleh
karenanya, yang menjadi problem dasar sekaligus menjadi sesuatu yang mesti
disegerakan, adalah bagaimana agar pancasila mampu menjadi filter, pegangan,
keyakinan, bagi generasi muda dalam menjejaki berbagai ‘pergaulan’ yang tidak
akan bisa dihindari.
*****
Pancasila
adalah ideologi Indonesia, dengan kata lain pancasila adalah falsafah kehidupan
bangsa Indonesia untuk menuju kemerdekaan yang hakiki. Pancasila dibangun dari
kenyataan yang hidup dari seluruh suku-bangsa di nusantara, jauh sebelum
Indonesia terbentuk. Pancasila adalah sintesa dari kenyataan atas nilai-nilai
yang dianut oleh masyarakat di nusantara, dan cita-cita untuk menjadi sebuah
negara kesatuan yang merdeka 100%. Karena cita-cita mengenai negara kesatuan
yang merdeka 100% dibangun di atas kenyataan mengenai ratusan suku-bangsa yang
punya cara hidupnya masing-masing, maka dibutuhkan satu ideologi pemersatu.
Itulah pancasila. Dengan kata lain, yang dimaksud nilai-nilai ke-indonesia-an
tidak lain adalah nilai-nilai dari seluruh suku-bangsa yang mendiami nusantara.
Indonesia sebagai negara-bangsa, ditopang oleh ratusan suku-bangsa yang hidup
di nusantara.
Untuk
menjadi manusia Indonesia, orang-orang dari pulau Sulawesi tidak perlu menjadi
seperti orang yang hidup di ibukota negara. Untuk mengamalkan pancasila,
orang-orang Papua pedalaman tidak harus hidup dengan ciri masyarakat modern di
perkotaan. Semua suku mesti mengekspresikan ke-Indonesia-an dengan cara serta
nilai-nilai yang masing-masing diyakini. Karena nilai-nilai itulah yang menjadi
dasar dari poin inti dalam pancasila. Ketuhanan, kemanusian, persatuan, kebijaksanaan,
keadilan, dan beradab.
Misalnya petani yang hidup di daratan Sulawesi, tidak
mesti berhenti menjadi petani dan menjadi manusia ibukota untuk dapat
mengeskpresikan nilai-nilai Pancasila. Menjadi warga desa yang bertani, tetap
mesti mengamalkan pancasila. Misalnya praktik bertani yang dilakukan petani
alami di Kabupaten Bulukumba, salah satu kabupaten di Sulawesi-Selatan, tetap
mengedepankan keharmonisan alam yang sesuai dengan nilai-nilai generasi pendahulu
demi kebijaksanaan dan keadilan bagi generasi petani di masa depan yang akan mewarisi
kerja-kerja pertanian demi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia.
Misalnya
lagi, pemuka agama di daratan Tana Toraja yang mengajarkan bagaimana memadukan
ajaran agama dan nilai-nilai yang diyakini leluhur masyarakat Toraja, demi
keharmonisan dalam hidup bermasyarakat dan bernegara, merupakan satu bentuk
pengamalan nilai-nilai Pancasila. Menjadi masyarakat yang bertuhan, sekaligus
memiliki karakter ke-indonesia-an.
Contoh
lain, soal nilai yang diyakini masyarakat Bugis-Makassar, yaitu sipakatau, sipakainge, sipakalebbi. Atau
saling memanusiakan, saling mengingatkan, dan saling meninggikan, Mengamalkan
nilai-nilai tersebut, secara langsung mengamalkan prinsip pancasila.
Memanusiakan, mengingatkan dan saling meninggikan sesama manusia bugis secara
khusus, dan manusia Indonesia secara garis besar, adalah sikap merawat
ke-Indonesia-an berdasarkan ciri masyarakat bugis.
Jika
Pancasila dipahami sebagai nilai yang hidup dalam suku-bangsa di Indonesia,
maka kita akan bisa menemukan praktik mengamalkan pancasila sesuai dengan cara
masing-masing suku-bangsa. Dengan kata lain, meskipun Indonesia sedang dilanda
berbagai problem, pancasila akan selalu hidup. Pengamalannya masih terjadi,
hingga ke pelosok Indonesia. Meskipun tidak nampak di berbagai media
pemberitaan.
Dalam
hal ini penulis meyakini bahwa mentransformasikan pancasila sebagai pegangan
hidup dalam konteks ke-Indonesia-an untuk generasi muda, tidak boleh
menceraikan pancasila dari nilai-nilai lokal yang hidup di setiap suku-bangsa. Nilai-nilai
yang hidup dalam berbagai suku-bangsa mesti menjadi pijakan dasar dalam
mentransformasikan pancasila. Nilai-nilai tersebut diangkat menjadi jalan untuk
menuju cita-cita Indonesia merdeka, mandiri, bermartabat dan berkarakter.
Hanya
sekadar menekankan nilai-nilai dari masing-masing suku-bangsa, akan melahirkan
masyarakat Indonesia yang sektarian. Mengajarkan pancasila tanpa pijakannya,
yaitu nilai dan adat istiadat, akan membuat pancasila menggantung di langit. Jika
mengajarkan Pancasila berdasarkan nilai dan adat istiadat yang telah diajarkan
turun-temurun, membuka peluang untuk tidak membuat pancasila sekadar menjadi
hafalan bagi generasi muda, karena nilai dan adat itu merupakan memori kolektif
dan sangat dekat dengan individu yang hidup di bawah nilai-nilai leluhurnya.
Yang
tidak kalah pentingnya adalah, bagaimana perbedaan nilai dan adat istiadat yang
hidup di masing-masing suku-bangsa, tidak sekadar menjadi sesuatu yang dibiarkan,
diakui dan dihormati. Tapi mesti menjadi sesuatu yang diterima oleh
masing-masing suku-bangsa. Toleransi yang dipahami oleh sebagian besar orang
adalah sikap membiarkan, menghargai dan menghormati[2]. Berbeda dengan
keberterimaan. Berterima berarti mengakui dan berupaya memahami nilai-nilai
yang dianut oleh setiap suku-bangsa dan agama. Lalu mencoba menarik sebuah
pembelajaran penting yang bisa dipadukan dengan nilai-nilai lain. Misalnya
bagaimana suku Jawa tidak hanya mengakui keberadaan suku Bugis. Tapi bisa
menarik pembelajaran penting dan kemungkinan menerapkan dalam kehidupan
sehari-hari. Begitupun sebaliknya.
Sebagaimana
yang telah dicontohkan oleh presiden Soekarno, salah satunya yang dikutip dari
buku “Total Bung karno” karangan Roso Daras di antaranya, “kepada
Ahmadiyah-pun saya wajib berterima kasih… walaupun ada beberapa pasal dari
Ahmadiyah tidak saya setuju dan malahan saya tolak… toh saya merasa wajib
berterima kasih atas faedah-faedah dan penerangan-penerangan yang telah saya
dapatkan dari mereka punya tulisan-tulisan yang rasional, modern, broadminded
dan logis itu.”[3].
Ishak
Ngeljaratan, salah seorang budayawan asal Sulawesi-Selatan, mengungkapkan bahwa
esensi dari Bhineka
Tunggal Ika adalah saling menerima agama dan budaya orang lain dengan azas
harmoni dan cinta (Akseptansi). Bagaimana sebuah identitas tetap hidup dan
diterima oleh orang lain.
Memahami pancasila dengan memahami
kembali nilai-nilai dan adat istiadat masing-masing suku bangsa, dan bagaimana setiap
suku bangsa bisa menerima dan belajar dari perbedaan yang hidup di luar
komunitasnya masing-masing. Itulah esensi Bhinneka Tunggal Ika. Keberagaman
masyarakat Indonesia tidak hanya menjadi sesuatu yang dihormati dan dihargai, tetapi
mesti mampu diterima, ada rasa memiliki atas identitas, nilai,
dan adat istiadat komunitas lain yang hidup di bumi Indonesia. Keberbedaan
tersebut dirasakan sebagai bagian dari keutuhan diri manusia Indonesia
Dengan keberterimaan, perbedaan akan
melahirkan pengetahuan baru. Pengetahuan dan pemahaman akan ke-Indonesia-an
yang lahir dari lokalitas berbagai suku-bangsa, akan mampu menjadi filter bagi
generasi muda.
*****
Menurut penulis, mentransformasikan
pemahaman atas pancasila pada generasi muda tentunya bukan hal mudah, dan tidak
ada jalan pintas. Pancasila mesti dikontekskan dengan kondisi yang hidup di berbagai suku-bangsa. Peran
pendidikan tidak hanya mengajarkan pancasila dari teks-teks yang sangat melangit dan jauh dari
pengalaman orang-orang yang akan menginternalisasi prinsip-prinsip dalam pancasila.
Prinsip-prinsip
pancasila mesti ditemukan dalam pengalaman sesuai dengan konteks di mana
Pancasila diajarkan. Bisa saja pengamalannya terjadi dalam bentuk aksi-aksi
kecil dari orang-orang biasa, yang kemudian bisa direfleksikan dalam kaitannya
dengan upaya memajukan bangsa Indonesia.
Yang
paling penting, upaya ini tidak bisa dibebankan kepada satu pihak. Tetapi memerlukan
kerjasama lintas kelompok. Institusi Pendidikan, peneliti, penulis, budayawan,
bahkan hingga tingkat keluarga. Guru dan orang tua sangat berperan penting
dalam menjelaskan, merefleksikan, dan memberikan tauladan seperti apa sikap
adil, bijak, beradab, saling meninggikan sesama manusia, dan mampu memetik
pelajaran dari beragam nilai yang hidup di bumi Indonesia.
Sebagaimana
pesan Presiden Soekarno saat ditemui oleh salah seorang peneliti senior, Profesor Bernhard
Dahm. Dalam kesempatan
itu Soekarno berpesan, "Jika kamu ingin tahu tentang jiwa dan semangat
ke-Indonesia-an, jangan datang ke Jakarta atau Surabaya atau Bandung, pergilah
ke daerah-daerah, pergilah ke Tapanuli Selatan, ke Mandailing, pergilah ke
Banyuwangi, atau ke Makasar dan daerah pelosok lain"
[1] Memantapkan Pancasila oleh Yudi Latif
yang dimuat dalam koran Kompas.
[2]
Toleransi berasal dari bahasa inggris (Tolerance) yang artinya membiarkan,
mengakui dan menghormati.
[3]
Dikutip dari http://rajapena.org/belajar-toleransi-dari-bung-karno/
Catatan : Artikel ini diikutsertakan dalam lomba essai Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar