Biku Dan Masa Depan Sebuah Komunitas

 

Minggu 5 September 2021, saya bersama dua kawan, Natas dan Arif, sedang bersiap untuk melakukan kunjungan ke sebuah tempat yang terisolasi di tengah pebukitan karst. Namanya Kampung Biku. Kunjungan ini guna memenuhi undangan warga untuk berpartisipasi dalam ritual tahunan mereka, yaitu Mappattama.



Tepat pukul 03.30 wita, kami berkumpul di Kampung Bungaeja dan melakukan perjalanan menuju Biku. Perjalanan kami lakukan di pagi buta, karena undangan yang diterima via telepon itu, mengatakan bahwa ritual mereka dimulai pada pukul 06.00 wita.


Pukul 05.30, kami pun tiba di Biku dan beristirahat di rumah seorang warga, yaitu Muin (53). 


***

Biku merupakan sebuah kampung yang secara administratif terletak di Kabupaten Pangkep. Tepatnya di Kelurahan Balleangin, Dusun Bonto-Bonto. Sampai sekarang, Biku dihuni sekitar 20 kepala keluarga. Sejak tahun 2020, saat arkeolog menemukan lukisan tertua di dunia yang berusia 45.500 tahun pada salah satu gua yang ada di Biku (Leang Ulu Tedong), kampung ini mulai ramai dibicarakan. Ilmuwan, jurnalis, dan wisatawan, mulai melirik tempat ini.


Ada dua jalur yang dapat diakses untuk ke Biku. Pertama melalui Kampung Bonto-Bonto, Pangkep. Kedua, melalui Kampung Bungaeja, Maros. Jika melalui Bonto-Bonto, jarak tempuh ke Biku memakan waktu 2-3 jam. Sedangkan jika melalui Bungaeja, hanya memakan waktu selama 1,5 jam.


Seorang warga Biku memikul gabah untuk dibawa ke Bungaeja dengan melewati jalan menanjak dan bebatuan yang tajam


Biku hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki, karena harus melewati hutan karst dengan jalan yang menanjak dan bebatuan yang tajam. Meskipun secara administratif masuk dalam area Kabupaten Pangkep, namun warga Biku, lebih memilih untuk mengakses jalur melalui Bungaeja untuk beberapa aktifitas. Seperti berbelanja ataupun mengunjungi sanak keluarga. Begitupun bagi orang yang ingin berkunjung ke Biku, lebih memilih untuk memulai dari Bungaeja.

***

Tepat pukul 06.00 wita, tampak beberapa orang secara bergantian turun dari rumah salah seorang warga yang akrab disapa Lato’Subu. Masing-masing dari mereka memegang nampan yang berisi nasi ketan, telur dan daging ayam, serta irisan kelapa.  Sambil memegang nampan, mereka memanggil warga yang masih menunggu di teras rumahnya masing-masing. Setelah semua berkumpul, mereka kemudian berjalan berombongan ke arah selatan kampung. Lokasi yang dituju adalah sebuah mata air yang mereka sebut Teppoe.


    Warga berjalan menuju Teppo'e dengan membawa nampan berisi sesajian


Setibanya di Teppo’e, beberapa warga yang terdiri dari tiga perempuan dan satu laki-laki, membuka alas berupa tikar kemudian meletakkan nampan-nampan itu di atasnya. Setelah  dirapikan, mereka mempersilakan Lato’Subu untuk duduk di atas tikar. Setelah mengambil posisi, tampak bibir Lato’Subu melafalkan sesuatu. Perempuan yang tadinya menata nampan, ikut duduk di samping Lato’Subu. Warga lain juga ikut duduk di tempatnya masing-masing.


 Beberapa warga mengatur posisi nampan yang akan di doakan


Melihat gerak bibir Lato’Subu, saya coba menanyakan kepada salah seorang warga, apa gerangan yang dilafalkan oleh orang itu. Katanya, Lato’Subu sedang melafalkan doa yang ditujukan kepada alam dan leluhur. Khususnya para ’penghuni’ Teppo’e yang dianggap terlibat dalam upaya menjaga tempat ini sehingga bisa terus memberi berkah bagi warga Biku.


Lato'Subu yang sedang memimpin jalannya ritual


Sebuah ritual yang diadakan di lokasi mata airdinamakan warga sebagai ritual Mappattama (Mappattama merupakan istilah dari bahasa bugis yang berarti memasukkan). Ritual ini diadakan setiap tahun, setelah musim panen selesai. Mappatama merupakan ritual tahunan warga Biku sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen yang didapatkan. Yang berarti, warga Biku bisa memperoleh makanan untuk terus melangsungkan hidupnya.


Bagi warga, tidak mungkin mereka bisa mendapatkan hasil panen tanpa keberadaan mata air di kampung Biku. Karena alam telah memberikan apa yang mereka butuhkan, warga merasa wajib untuk mengucapkan rasa terima kasih dengan cara memberikan kembali sebagian dari berkah yang mereka dapatkan. Karenanya ritual ini disebut Mappattama, berarti memasukkan kembali sebagain dari yang mereka peroleh.


Tidak ada penanggalan tetap terkait pelaksanaan ritual ini. Namun pastinya, apabila masa panen telah selesai, dan sebagian besar warga sudah memiliki kemampuan untuk mengadakan sesajian yang akan dihidangkan di atas nampan, maka mereka akan bersepakat terkait waktu pelaksanannya.


Apabila ada di antara warga yang kurang mampu untuk mengadakan sesajian yang sudah disepakati dari generasi ke generasi itu, maka mereka dipersilakan untuk membawa seadanya. Misalnya, ada warga yang hanya mampu membawa nasi putih. Namun jika sama sekali tidak memiliki kemampuan, juga tak mengapa. Intinya, tidak ada paksaan dalam ritual ini.


Muin (58), mengatakan bahwa ritual ini sudah jadi rutinitas warga Biku sejak era buyutnya. “Setiap keluarga mempersembahkan sesajian. Jika ada 10 keluarga, maka akan ada 10 nampan yang berisi sesajian. Setiap nampan itu, akan digilir untuk dilafalkan doa oleh Lato’Subu”, tuturnya. Dari kejauhan, saya melihat para perempuan mengatur agar semua nampan yang jumlahnya ada 7, mendapatkan giliran untuk di doakan. Tak lupa mereka memberi tahu Lato’Subu siapa pemilik nampan yang mendapatkan giliran.


Bagi warga, mata air adalah sebuah situs yang dikeramatkan. Mengadakan ritual di tempat ini, juga menjadi simbol bahwa situs itu masih mereka jaga sampai sekarang. “Sejak dulu, para leluhur mengeramatkan tempat ini. Saking keramatnya, warga dilarang untuk mencuci pakaian, apalagi buang air di tempat ini. Dan menurut pesan leluhur, barang siapa yang melanggar pantangan di tempat ini, maka sangat mungkin para ‘penghuni’ tempat ini akan marah lalu menunjukkan kemarahannya”. Tutur Muin.


Sejam berlalu, ritual telah selesai. Para perempuan membawa seluruh nampan ke rombongan warga untuk dinikmati bersama. Tidak ada alat makan berupa piring dan sendok. Semua orang mengambil langsung hidangan dari atas nampan. Mereka menyebutnya, makan bersama.

·         

      Satu persatu warga mencicipi hidangan yang ada di atas nampan


Setelah menikmati hidangan, seorang perempuan menghimbau kepada warga untuk bersiap ke lokasi selanjutnya. Tepatnya ke mata air lain, bernama Ulu Wae. Ritual Mappattama diadakan di dua lokasi. Yaitu di mata air Teppo’e dan Ulu Wae. Dua dari tiga mata air yang menurut warga tidak pernah mengalami kekeringan. Namun ritual di mata air Ulu Wae, hanya menyediakan sesajian yang seadanya. Tidak sebanyak yang disiapkan untuk ritual di Teppo’e. Meskipun begitu, maksud dan tujuannya tetap sama.

·         

 Koordinat mata air yang ada di Kampung Biku


Setelah tiba di pusat pemukiman, warga kemudian mengambil empat buah nampan berisi sesajian yang ada di rumah Lato’Subu. Mereka lalu menuju ke mata air Ulu Wae yang berada di arah utara pusat pemukiman. Meskipun dilakukan dua kali, Teppo’e menjadi prioritas utama. Karena Teppo’e merupakan mata air yang berbatasan langsung dengan sawah warga, dan dianggap memberikan kontribusi paling besar, sehingga lebih banyak sesajian yang harus di doakan di tempat itu.

***

Setelah semua prosesi selesai, semua warga kembali ke rumahnya masing-masing. Saya, Natas dan Arif kembali ke rumah Pak Muin dan diikuti oleh beberapa warga. Kami masih berniat ngobrol santai dengan mereka. Khususnya terkait asal-usul warga Biku hari ini.


Tidak ada warga yang tahu pasti kapan buyut mereka mulai menetap di Biku. Beberapa warga yang berusia 50-60 tahun mengatakan, sejak mereka kecil, sudah ada beberapa rumah di Biku. Sawah juga sudah ada. Yang mereka tahu, buyut mereka berasal dari Kampung Bonto-Bonto. Memori lainnya, mereka mengingat bahwa Biku juga pernah menjadi tempat persembunyian tentara gerilya Kahar Muzakkar. Saat tentara gerilya masuk ke Biku, saat itu Biku sudah ramai oleh penduduk.


Obrolan santai kami kemudian mengarah ke pembicaraan terkait masa depan kampung Biku. Beberapa tetua mengatakan bahwa tidak ada jaminan jika di masa depan keturunan mereka masih akan menetap di tempat ini. “Bisa saja generasi muda tidak betah hidup terisolasi di Biku. Kekhawatiran itu sudah terbukti, sudah banyak orang yang memilih keluar dari Biku. Apalagi jaman sudah modern”. Tutur Muin.


Bagi mereka, generasi muda Biku sudah mulai terpapar modenitas. Cara berfikir, sikap dan tindakan generasi muda hari ini, menjadi tolak ukur mereka. Mereka mengambil contoh, misalnya, bagaimana generasi muda memandang situs (mata air) yang dikeramatkan oleh warga Biku.


“Anak-anak jaman sekarang sudah susah untuk mendengar nasihat orang tua. Contohnya, kerap kali kami mendapati remaja mencuci pakaian di sekitar Teppo’e. Kami sebagai orang tua hanya bisa menegur. Itupun karena kami masih hidup. Tapi bagaimana jika orang-orang tua sudah tidak ada”. Tutur Ambo Tuo. Salah seorang tetua di Biku.


Contoh kedua, terkait tradisi Mappattama. Sampai sekarang, warga belum melihat ada keturunan dari Lato’Subu yang siap menggantikan fungsinya sebagai orang ‘pintar’. “Kalau tidak ada keturunan Lato’Subu yang mau mewarisi ‘ilmunya’, yah bisa saja tradisi Mappattama tidak lagi dilakukan. Karena itu tadi, salah satu syarat utamanya adalah ritual itu harus dipimpin oleh generasi dari orang yang di anggap ‘pintar’”. Lanjut Ambo Tuo.


Menurut Ambo Tuo, mungkin saja tidak ada generasi Lato’Subu yang tertarik menggantikan perannya. Bisa saja, peran-peran seperti itu dianggap tidak lagi dibutuhkan di masa depan.


Sekali lagi, para tetua mengutarakan bahwa tidak ada jaminan jika situs dan ritus mereka masih bertahan di masa depan. Situs dan ritus yang menjadi simbol warga Biku sebagai sebuah komunitas. Komunitas yang sejatinya berkontribusi langsung dalam upaya menjaga karst.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar