Desa Dan Masyarakat, Tidaklah Netral (Refleksi Triwulan Pertama Menjadi Tim Program PPM-PTVI)

 

Sumber gambar : Masterplandesa.com

Dalam diskusi di sebuah kesempatan, tim program PPM-PTVI mendiskusikan terkait temuan mengenai kenyataan bahwa ada banyak aset program yang terbengkalai karena tidak di manfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Bahkan ada yang hanya di manfaatkan oleh kelompok tertentu. Mendapati kenyataan seperti itu, ada sebuah asumsi yang menguat, yaitu, ada banyak usulan-usulan program yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan karena hanya di usulkan oleh segelintir orang.  


Menurut kawan-kawan tim program, asumsi itu bisa dibenarkan jika menelusuri bagaimana seluruh program-program tersebut lahir. Misalnya, dalam salah satu tahapan pelaksanaan program, dikenal isitilah Musyawarah Antar Desa (MAD). MAD merupakan salah satu tahapan yang menjadi keharusan, karena asumsinya, dalam sebuah musyawarah masyarakat akan mendiskusikan apa yang sejatinya menjadi kebutuhan mendasar mereka. Dengan syarat, musyawarah tersebut dihadiri oleh beragam representasi dalam sebuah komunitas/masyarakat. Misalnya, representasi kelompok rentan, gender, disabilitas, lansia, dll.  Dengan kata lain, musyawarah itu harus bersifat inklusif. Jika syarat tersebut terpenuhi, niscaya semua akan berjalan lancar. Sederhana saja.


Namun fakta di lapangan berkata lain. Menurut tim program, musyawarah itu tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ada beberapa permasalahan, seperti musyawarah yang sangat tidak representatif. Dalam artian, musyawarah hanya di hadiri oleh kelompok tertentu (untuk tidak mengatakan oligarki di tingkat lokal). Karena tidak representatif, program-program yang di usulkan kemudian hanya untuk memfasilitasi kelompok tertentu. Pun sebuah kelompok mengusulkan program atas nama masyarakat, hanya berdasarkan kacamatanya dalam membaca sebuah masyarakat.


Salah satu contoh yang terjadi di desa-desa dalam kawasan pengembangan Mahalona. Saat berkunjung bersama tim, di dapati begitu banyak aset yang di dapatkan melalui bantuan program, tidak di manfaatkan dengan baik hingga terbengkalai. Lebih parahnya, ada beberapa aset yang hanya di kuasai dan di manfaatkan oleh kelompok tertentu, hingga menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat.


Menurut beberapa petani yang sempat saya temui di lokasi itu, mereka tidak bisa berbuat banyak karena orang-orang yang menjadi ‘aktor antagonis’ tidak lain adalah kenalan mereka juga. Sehingga para petani yang kerapkali tidak terwadahi oleh fasilitas program, memilih diam ketimbang ‘berontak’ dan menimbulkan konflik horizontal yang semakin memecah belah mereka.


Fakta seperti ini tak jarang juga saya temui di desa-desa lain. Khususnya dalam hal pengelolaan dana desa. Dana desa yang sejatinya diperuntukkan bagi kesejahteraan masyarakat desa, hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan kelompok tertentu. Alurnya hampir serupa, yaitu ruang-ruang dimana masyarakat harusnya mendialogkan apa yang sebenarnya mereka butuhkan, di rebut oleh kelompok yang memiliki akses terhadap kekuasaaan.


Kalaupun mereka mendorong sebuah program atas nama masyarakat, tak lebih sebagai ‘obat tidur’. Atau mengusulkan sesuatu yang telah mereka prediksi tidak akan bisa di kelola oleh masyarakat, sehingga saat sebuah aset terbengkalai, mereka bisa kapan saja mengambilnya.


Hal seperti itu kerapkali terjadi khususnya di desa-desa yang statusnya merupakan desa surplus, atau desa yang telah di sentuh oleh kekuatan kapital. Desa-desa semacam ini, begitu cepat melahirkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas tersebut yang kemudian saling berbenturan satu sama lain untuk saling berebut sumber daya. Tentunya sumber daya yang bisa di konversi menjadi kapital. Dalam prosesnya, masing-masing dari mereka membentuk kekuatannya sendiri, yang di bentuk dengan berbagai cara. Sehingga lahirlah beragam kubu dalam masyarakat. Pertarungan kekuatan-kekuatan itulah yang kemudian menggusur kepentingan kelompok-kelompok yang seharusnya menjadi sasaran utama berbagai jenis program desa yang tujuannya untuk kemaslahatan masyarakat.


Desa semacam itu memang tidak seharusnya lagi di pandang sebagai satuan spasial yang di dalamnya ada kehidupan yang homogen nan harmonis. Namun harus di pandang sebagai situs pertarungan beragam kepentingan kelas sosial. Sudah begitu banyak penelitian-penelitian yang menggambarkan bagaimana kepentingan-kepentingan setiap kelas sosial saling berbenturan dalam wilayah desa.


Kenyataan itu yang kemudian menggulung keberadaan kelompok-kelompok yang dalam istilah program, merupakan ‘kelompok yang termarjinalkan’. Pun kelompok ini mencoba hadir di permukaan, tetap saja mereka akan menjadi minoritas. Kepentingan mereka akan digusur oleh kepentingan segelintir orang yang punya kendali atas kekuasaan, relasi, kapital, dll.


Sepertinya, bagi saya, desa-desa yang menjadi wilayah dampingan program PTVI, merupakan desa yang telah menjadi situs pertarungan berbagai kepentingan kelas-kelas sosial. Bisa saja, kehadiran PTVI telah mengubah struktur sosial dalam masyarakat dan melahirkan kelas-kelas baru (atau mungkin saja malah memperkuat kelas-kelas sosial lama). Apa tujuan dari kelas-kelas tersebut? Tentu saja merebut sumberdaya.


Jika memang seperti itu, maka sudah seharusnya pelaksanaan program menutup semua kanal (yang selalu di buka selebar-lebarnya atas nama demokratisasi) yang memungkinkan tujuan dari program di sabotase oleh kelas tertentu. Atau memperkuat kelompok-kelompok yang seharusnya menjadi sasaran program, agar bisa ikut bertarung dalam kontestasi kepentingan.


***


Intinya kenyataan bahwa beragam program yang di dorong di masyarakat dirasa bukan merupakan kebutuhan utama masyarakat karena pada momen-memen yang sifatnya krusial yang menentukan program seperti apa yang harusnya di dorong, partisipasi berbagai representasi dalam masyarakat tidak terwujud. Singkatnya, program tidak berbasis kebutuhan.


Mari kita coba membayangkan partisipasi dari setiap representasi kelompok-kelompok dalam sebuah masyarakat bisa terwujud. Dalam artian, ‘kelompok yang termarjinalkan’ bisa menunjukkan eksistensinya dalam lingkaran pertarungan kepentingan di pedesaan. Anggap saja, secara sederhana, mereka aktif terlibat dalam forum-forum yang menentukan apa yang seharusnya di kerjakan. Apakah persoalan selesai?


Dalam sebuah diskusi akhir pekan bersama kawan-kawan tim program PPM-PTVI, ada satu pertanyaan menarik yang di ungkapkan salah seorang peserta diskusi. Pertanyaannya kira-kira begini, “Jika kita mendapati sebuah usulan program dari komunitas, yang jika di telaah, bukanlah merupakan kebutuhan dari komunitas itu sendiri, haruskah kita tetap mewadahi usulan itu dengan menjunjung tinggi nilai partisipasi?”.


Bagi saya, pertanyaan itu sangat menggelitik. Di beberapa pengalaman, saya juga kerap kali mendapati sebuah program yang di usulkan oleh penerima manfaat, yang hanya berakhir dengan munculnya persoalan baru. Misalnya salah satu contoh, saat komunitas petani mengusulkan agar mereka di wadahi bibit komoditas tertentu, dengan pertimbangan komoditas yang di maksud sedang memiliki harga yang tinggi.


Apa yang terjadi? Dalam prosesnya, banyak petani yang malah mengalami kerugian karena harga komoditas tersebut tiba-tiba menjadi anjlok. Kenapa? Karena bukan hanya mereka yang mengembangkan komoditas itu, namun semua petani di desa-desa lain ikut mengembangkan. Sehingga terjadi kelebihan produksi. Di titik itulah para tengkulak memainkan perannya dengan cara menawar serendah-rendahnya produk petani dengan dalih, stok barang melimpah sehingga rentan mengalami pembusukan. Dalih lain, kualitas produk si petani A misalnya, tidak sebagus kualitas dari produk si petani B. Dengan kata lain, petani menggali lubang kuburnya sendiri.


Re-organisasi kelompok petani yang coba dilakukan untuk memutus ketergantungan terhadap tengkulak, juga berakhir sia-sia. Malah semakin parah. Karena komoditi petani malah tidak terjual sama sekali, sebab mereka tidak memiliki akses langsung ke pasaran. Upaya mereka untuk mengakses pasar selalu di potong oleh tengkulak serta kalah bersaing dengan desa-desa lain yang juga ikut berebut pasar.


Mengapa hal itu terjadi? Apakah kita kemudian akan menyalahkan tengkulak, atau malah menyalahkan hukum permintaan dan penawaran? Menurut saya, kesalahan mendasarnya adalah sejak para petani memutuskan untuk membudidayakan komoditas itu tanpa ada pengetahuan lain terkait hal-hal yang mengondisikan sebuah komoditas.


Saat berdiskusi dengan fasilitator program itu, si fasilitator menjawab “kan kita sebagai fasilitator hanya bertugas memfasilitasi apa yang di ‘butuhkan’ oleh masyarakat dan mengujinya dengan berbagai perangkat instrument yang kami punya. Lagipula, proses awal sebelum program di mulai, sudah memenuhi syarat karena melibatkan partisipasi para petani. Jadi sebenarnya apa yang terjadi merupakan hal yang tidak terprediksi oleh kami dan para petani”.


Di kalangan fasilitator program, memang meyakini sebuah asumsi yang kira-kira seperti ini “apa yang di inginkan oleh masyarakat sudah pasti merupakan kebutuhan mereka karena mereka memiliki pengalaman panjang yang menjadi dasar untuk menentukan kebutuhan”. Namun dari banyaknya fakta yang menunjukkan kegagalan sebuah program, mengharuskan kita memeriksa kembali asusmsi itu. Sederhana saja, apakah selamanya pengalaman itu benar? Apakah setiap orang memiliki cara pandang yang sama menilai pengalamannya? Apakah setiap orang memiliki perangkat metode berfikir untuk mengoreksi pengalamannya?


Saya sendiri belum menemukan secara langsung fakta serupa (dimana program yang di usulkan langsung oleh masyarakat berakhir sia-sia) di desa-desa yang menjadi area dampingan program PTVI. Namun bagi saya, sangat penting bagi kawan-kawan tim program untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi yang selama ini digunakan dalam bekerja.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar