Dalam diskusi di sebuah kesempatan, tim program PPM-PTVI mendiskusikan
terkait temuan mengenai kenyataan bahwa ada banyak aset program yang
terbengkalai karena tidak di manfaatkan dengan baik oleh masyarakat. Bahkan ada
yang hanya di manfaatkan oleh kelompok tertentu. Mendapati kenyataan seperti
itu, ada sebuah asumsi yang menguat, yaitu, ada banyak usulan-usulan program
yang sebenarnya tidak menjadi kebutuhan karena hanya di usulkan oleh segelintir
orang.
Menurut kawan-kawan tim program, asumsi itu bisa dibenarkan jika
menelusuri bagaimana seluruh program-program tersebut lahir. Misalnya, dalam
salah satu tahapan pelaksanaan program, dikenal isitilah Musyawarah Antar Desa
(MAD). MAD merupakan salah satu tahapan yang menjadi keharusan, karena
asumsinya, dalam sebuah musyawarah masyarakat akan mendiskusikan apa yang
sejatinya menjadi kebutuhan mendasar mereka. Dengan syarat, musyawarah tersebut
dihadiri oleh beragam representasi dalam sebuah komunitas/masyarakat. Misalnya,
representasi kelompok rentan, gender, disabilitas, lansia, dll. Dengan kata lain, musyawarah itu harus bersifat
inklusif. Jika syarat tersebut terpenuhi, niscaya semua akan berjalan lancar. Sederhana
saja.
Namun fakta di lapangan berkata lain. Menurut tim program, musyawarah
itu tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya. Ada beberapa permasalahan,
seperti musyawarah yang sangat tidak representatif. Dalam artian, musyawarah
hanya di hadiri oleh kelompok tertentu (untuk tidak mengatakan oligarki di tingkat
lokal). Karena tidak representatif, program-program yang di usulkan kemudian
hanya untuk memfasilitasi kelompok tertentu. Pun sebuah kelompok mengusulkan
program atas nama masyarakat, hanya berdasarkan kacamatanya dalam membaca
sebuah masyarakat.
Salah satu contoh yang terjadi di desa-desa dalam kawasan pengembangan
Mahalona. Saat berkunjung bersama tim, di dapati begitu banyak aset yang di dapatkan
melalui bantuan program, tidak di manfaatkan dengan baik hingga terbengkalai. Lebih
parahnya, ada beberapa aset yang hanya di kuasai dan di manfaatkan oleh
kelompok tertentu, hingga menimbulkan perpecahan di tingkat masyarakat.
Menurut beberapa petani yang sempat saya temui di lokasi itu, mereka
tidak bisa berbuat banyak karena orang-orang yang menjadi ‘aktor antagonis’
tidak lain adalah kenalan mereka juga. Sehingga para petani yang kerapkali
tidak terwadahi oleh fasilitas program, memilih diam ketimbang ‘berontak’ dan
menimbulkan konflik horizontal yang semakin memecah belah mereka.
Fakta seperti ini tak jarang juga saya temui di desa-desa lain. Khususnya
dalam hal pengelolaan dana desa. Dana desa yang sejatinya diperuntukkan bagi
kesejahteraan masyarakat desa, hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
kelompok tertentu. Alurnya hampir serupa, yaitu ruang-ruang dimana masyarakat harusnya
mendialogkan apa yang sebenarnya mereka butuhkan, di rebut oleh kelompok yang
memiliki akses terhadap kekuasaaan.
Kalaupun mereka mendorong sebuah program atas nama masyarakat, tak lebih
sebagai ‘obat tidur’. Atau mengusulkan sesuatu yang telah mereka prediksi tidak
akan bisa di kelola oleh masyarakat, sehingga saat sebuah aset terbengkalai, mereka
bisa kapan saja mengambilnya.
Hal seperti itu kerapkali terjadi khususnya di desa-desa yang statusnya
merupakan desa surplus, atau desa yang telah di sentuh oleh kekuatan kapital. Desa-desa
semacam ini, begitu cepat melahirkan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Kelas-kelas
tersebut yang kemudian saling berbenturan satu sama lain untuk saling berebut
sumber daya. Tentunya sumber daya yang bisa di konversi menjadi kapital. Dalam
prosesnya, masing-masing dari mereka membentuk kekuatannya sendiri, yang di
bentuk dengan berbagai cara. Sehingga lahirlah beragam kubu dalam masyarakat. Pertarungan
kekuatan-kekuatan itulah yang kemudian menggusur kepentingan kelompok-kelompok
yang seharusnya menjadi sasaran utama berbagai jenis program desa yang
tujuannya untuk kemaslahatan masyarakat.
Desa semacam itu memang tidak seharusnya lagi di pandang sebagai satuan spasial
yang di dalamnya ada kehidupan yang homogen nan harmonis. Namun harus di
pandang sebagai situs pertarungan beragam kepentingan kelas sosial. Sudah
begitu banyak penelitian-penelitian yang menggambarkan bagaimana kepentingan-kepentingan
setiap kelas sosial saling berbenturan dalam wilayah desa.
Kenyataan itu yang kemudian menggulung keberadaan kelompok-kelompok yang
dalam istilah program, merupakan ‘kelompok yang termarjinalkan’. Pun kelompok
ini mencoba hadir di permukaan, tetap saja mereka akan menjadi minoritas. Kepentingan
mereka akan digusur oleh kepentingan segelintir orang yang punya kendali atas
kekuasaan, relasi, kapital, dll.
Sepertinya, bagi saya, desa-desa yang menjadi wilayah dampingan program
PTVI, merupakan desa yang telah menjadi situs pertarungan berbagai kepentingan
kelas-kelas sosial. Bisa saja, kehadiran PTVI telah mengubah struktur sosial dalam
masyarakat dan melahirkan kelas-kelas baru (atau mungkin saja malah memperkuat kelas-kelas
sosial lama). Apa tujuan dari kelas-kelas tersebut? Tentu saja merebut
sumberdaya.
Jika memang seperti itu, maka sudah seharusnya pelaksanaan program
menutup semua kanal (yang selalu di buka selebar-lebarnya atas nama
demokratisasi) yang memungkinkan tujuan dari program di sabotase oleh kelas
tertentu. Atau memperkuat
kelompok-kelompok yang seharusnya menjadi sasaran program, agar bisa ikut
bertarung dalam kontestasi kepentingan.
***
Intinya kenyataan bahwa beragam
program yang di dorong di masyarakat dirasa bukan merupakan kebutuhan utama
masyarakat karena pada momen-memen yang sifatnya krusial yang menentukan
program seperti apa yang harusnya di dorong, partisipasi berbagai representasi
dalam masyarakat tidak terwujud. Singkatnya, program tidak berbasis kebutuhan.
Mari kita coba membayangkan partisipasi dari setiap representasi
kelompok-kelompok dalam sebuah masyarakat bisa terwujud. Dalam artian,
‘kelompok yang termarjinalkan’ bisa menunjukkan eksistensinya dalam lingkaran
pertarungan kepentingan di pedesaan. Anggap saja, secara sederhana, mereka
aktif terlibat dalam forum-forum yang menentukan apa yang seharusnya di
kerjakan. Apakah persoalan selesai?
Dalam sebuah diskusi akhir pekan bersama kawan-kawan tim program
PPM-PTVI, ada satu pertanyaan menarik yang di ungkapkan salah seorang peserta
diskusi. Pertanyaannya kira-kira begini, “Jika kita mendapati sebuah usulan
program dari komunitas, yang jika di telaah, bukanlah merupakan kebutuhan dari
komunitas itu sendiri, haruskah kita tetap mewadahi usulan itu dengan menjunjung
tinggi nilai partisipasi?”.
Bagi saya, pertanyaan itu sangat menggelitik. Di beberapa pengalaman, saya
juga kerap kali mendapati sebuah program yang di usulkan oleh penerima manfaat,
yang hanya berakhir dengan munculnya persoalan baru. Misalnya salah satu
contoh, saat komunitas petani mengusulkan agar mereka di wadahi bibit komoditas
tertentu, dengan pertimbangan komoditas yang di maksud sedang memiliki harga
yang tinggi.
Apa yang terjadi? Dalam prosesnya, banyak petani yang malah mengalami
kerugian karena harga komoditas tersebut tiba-tiba menjadi anjlok. Kenapa?
Karena bukan hanya mereka yang mengembangkan komoditas itu, namun semua petani
di desa-desa lain ikut mengembangkan. Sehingga terjadi kelebihan produksi. Di titik
itulah para tengkulak memainkan perannya dengan cara menawar serendah-rendahnya
produk petani dengan dalih, stok barang melimpah sehingga rentan mengalami
pembusukan. Dalih lain, kualitas produk si petani A misalnya, tidak sebagus
kualitas dari produk si petani B. Dengan kata lain, petani menggali lubang
kuburnya sendiri.
Re-organisasi kelompok petani yang coba dilakukan untuk memutus
ketergantungan terhadap tengkulak, juga berakhir sia-sia. Malah semakin parah. Karena
komoditi petani malah tidak terjual sama sekali, sebab mereka tidak memiliki
akses langsung ke pasaran. Upaya mereka untuk mengakses pasar selalu di potong
oleh tengkulak serta kalah bersaing dengan desa-desa lain yang juga ikut
berebut pasar.
Mengapa hal itu terjadi? Apakah kita kemudian akan menyalahkan tengkulak,
atau malah menyalahkan hukum permintaan dan penawaran? Menurut saya, kesalahan
mendasarnya adalah sejak para petani memutuskan untuk membudidayakan komoditas
itu tanpa ada pengetahuan lain terkait hal-hal yang mengondisikan sebuah
komoditas.
Saat berdiskusi dengan fasilitator program itu, si fasilitator menjawab “kan
kita sebagai fasilitator hanya bertugas memfasilitasi apa yang di ‘butuhkan’
oleh masyarakat dan mengujinya dengan berbagai perangkat instrument yang kami
punya. Lagipula, proses awal sebelum program di mulai, sudah memenuhi syarat
karena melibatkan partisipasi para petani. Jadi sebenarnya apa yang terjadi
merupakan hal yang tidak terprediksi oleh kami dan para petani”.
Di kalangan fasilitator program, memang meyakini sebuah asumsi yang
kira-kira seperti ini “apa yang di inginkan oleh masyarakat sudah pasti
merupakan kebutuhan mereka karena mereka memiliki pengalaman panjang yang
menjadi dasar untuk menentukan kebutuhan”. Namun dari banyaknya fakta yang
menunjukkan kegagalan sebuah program, mengharuskan kita memeriksa kembali
asusmsi itu. Sederhana saja, apakah selamanya pengalaman itu benar? Apakah setiap
orang memiliki cara pandang yang sama menilai pengalamannya? Apakah setiap
orang memiliki perangkat metode berfikir untuk mengoreksi pengalamannya?
Saya sendiri belum menemukan secara langsung fakta serupa (dimana
program yang di usulkan langsung oleh masyarakat berakhir sia-sia) di desa-desa
yang menjadi area dampingan program PTVI. Namun bagi saya, sangat penting bagi
kawan-kawan tim program untuk memeriksa kembali asumsi-asumsi yang selama ini
digunakan dalam bekerja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar