Disuatu malam, beberapa kawan yang ingin menginisiasi sebuah koperasi, mendiskusikan alasan-alasan mereka atas gagasan itu. Beberapa orang bilang bahwa gagasan itu menjadi rasional karena berangkat dari pengalamannya merintis sebuah bisnis, namun selalu berakhir gagal. Beberapa lagi, mengatakan bahwa ini adalah peluang merealisasikan beberapa ide atau gagasan yang selama ini hanya menguap karena tidak punya wadah. Sebagian lagi mengatakan bahwa ini penting karena tidak mungkin selamanya kita ingin menjadi pekerja orang lain.
Terlepas dari perbedaan setiap
alasan, bisa digaris bawahi bahwa pada dasarnya mereka sedang resah dengan
dirinya sendiri. Mungkin saja keresahan mereka sesederhana, besok bisa bikin
apa, besok bisa cari rokok dimana. Keresahan semacam itu rasional jika melihat
kondisi kawan-kawan itu. Dimana sebagian besar dari mereka adalah pengangguran,
beberapa diantaranya adalah pekerja serabutan yang bercita-cita ingin cepat
kaya. Dan sebagian kecil adalah orang-orang gila urusan namun minim sumberdaya.
Fenomena anak muda yang tergerak untuk memobilisasi dirinya ke dalam kolektif-kolektif (perkumpulan) memang sedang marak. Di kota-kota besar, kelas-kelas menengah mapan kebanyakan memobilisasi dirinya ke dalam kolektif berbasis minat dan hobi. Misalnya literasi, kesenian, olahraga, dan sejenisnya. Kolektif-kolektif semacam itu kemudian semakin menjamur karena didukung oleh akses terhadap sumberdaya, misalnya pengetahuan, bahan bacaan, hingga teman berdiskusi yang punya segudang pengalaman.
Meskipun begitu, mereka juga adalah kelompok-kelompok yang semakin menjauh dari ruang publik, dan menyudut di lorong-lorong kota dengan kolektifnya masing-masing. Gerak ini terjadi karena kota yang semakin tidak ramah terhadap aktifitas yang tidak memberikan sumbangsih terhadap sirkulasi kapital, sehingga menciptakan ruang sendiri kemudian bercakap soal kerasnya (sekaligus nikmatnya) realitas kota menjadi salah satu opsi terbaik.
Berbeda dengan konteks di daerah. Meskipun setiap orang menggenggam smartphone, ada tantangan tersendiri soal akses terhadap informasi, pengetahuan hingga teman berdiskusi. Minimnya akses terhadap hal-hal itu, membuat mereka minim referensi, sehingga kebanyakan dari mereka memobilisasi dirinya ke dalam kolektif-kolektif yang tidak punya basis yang jelas (untuk tidak mengatakan sekedar mencari teman berkumpul untuk membicarakan hal remeh temeh). Mungkin itulah yang menjelaskan, kenapa saat saya menyebut koperasi ke seorang kawan, yang pertama kali terbesit di kepalanya adalah, simpan-pinjam.
Untuk konteks Luwu Timur, yang merupakan daerah pertambangan, minimnya akses terhadap informasi, pengetahuan hingga teman berdiskusi, terjadi karena memang tidak ada yang mau menjadi jembatan atas itu. Di daerah tambang, kelahiran kelas-kelas sosial memang begitu cepat terjadi. Sirkulasi kapital yang melahirkan rantai nilai yang panjang, membuat orang-orang lebih berfokus berebut sumberdaya dengan cara membentuk kelompoknya (geng) masing-masing.
Ada yang ingin memperebutkan tanah ulayat, penyuplai tenaga kerja, penyuplai logistik, hingga proyek-proyek yang mungkin nilainya tidak begitu besar. Sehingga ‘kebisingan-kebisingan’ dari berbagai kelas sosial untuk saling berebut kapital, menjadi wacana arus utama. Situasi ini yang sepertinya membuat sebagian kecil orang, khususnya anak muda, yang mungkin saja memiliki segudang potensi, tapi tidak punya ruang untuk mengembangkan itu. Karena betapapun, anak-anak muda ini akan menjadi minoritas di tengah pertarungan kelas-kelas sosial. Karenanya, ketimbang jadi minoritas, menjadi pekerja tambang adalah pilihan terbaik. Dan itu tidak keliru.
Karena situasi seperti itu, selama hampir 3 tahun di luwu Timur, saya juga mendapati diri saya seakan menjadi ‘gelandangan’. Saya yang datang dengan membawa kultur ‘tongkrongan’, begitu sulit menemukan tongkrongan yang setidaknya, bisa menjadi tempat membagikan keresahan atas situasi yang terekam oleh indra saya. Saya kemudian paham, kenapa seorang sahabat begitu rutin menelpon untuk sekedar mengobrol tentang kebun dan orang-orang disekitarnya, saat saya belum menginjakkan kaki di Luwu Timur. Hingga akhirnya ia ngotot membawa saya merasakan tantangan lain di kampung halamannya.
Karenanya, bagi saya, kawan-kawan yang memobilisasi dirinya ke dalam kolektif berbentuk koperasi itu, menjadi sebuah anomali di dalam realitas yang sebenarnya tidak punya ruang untuk gagasan semacam itu. Akan tetapi, itu juga akan menjadi titik balik, dimana mereka akan menjadi jembatan untuk mereproduksi beragam gagasan yang bisa memberikan kontribusi, setidaknya untuk diri dan teman-teman disekitarnya. Tentunya sembari berwirausaha, agar setidaknya bisa terlepas dari stigma pengangguran atau si gila urusan namun minim sumberdaya. Selebihnya, bergantung pada kekuatan lutut dan rahangnya masing-masing.
Bersambung di bagian kedua...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar