Dalam pidato
kemenangannya, presiden Joko Widodo berkata bahwa, “kita telah lama memuggungi
laut”. Memunggungi laut dalam hal ini adalah, sebuah sikap yang tidak lagi
melihat laut sebagai sumber penghidupan dan pengetahuan. Mungkin kutipan dari
pidato ini sangatlah politis, karena ada euforia tersendiri dari sebuah
kemenangan di arena politik. Tapi terlepas dari konteks politik, mungkin gerak
memunggungi laut ada benarnya.
Wacana pemberantasan korupsi, semakin mencuri konsentrasi publik dan semakin menggaung saat ketua KPK, Abraham Samad, di non-aktifkan dari jabatannya. Hal ini dianggap memperlemah posisi KPK dalam urusan memberantas korupsi. Karena bagi beberapa pihak, memberantas korupsi adalah pekerjaan utama yang mesti segera dituntaskan. Karenanya, lembaga-lembaga atau gerakan anti korupsi ikut menjamur untuk mengampanyekan soal pemberantasan korupsi.
Dari berbagai kelompok anti korupsi yang
mencuat ke permukaan, sebagian besar memiliki cara pandang yang sama soal akar
masalah dari korupsi. Ada yang menaruh fokus tentang hilangnya akhlak,
kejujuran, moral, dan berujung pada solusi tentang pendidikan karakter.
Kemudian yang sedikit lebih maju, menggeser pendiskusian pada persoalan
lemahnya prosedural hukum dan aparatus negara. Benarkah demikian?
***
Tiga
minggu yang lalu saya berjumpa dengan seorang teman bernama Soun Yu dan
Charles. Soun Yu adalah seorang perempuan asal Korea Selatan, dan Charles
adalah seorang laki-laki berkebangsaan Timor Timur. Soun Yu adalah seorang
perempuan berusia 30-an tahun yang memutuskan untuk menghabiskan hidupnya
dengan melakukan kerja-kerja sosial di Timor Timur. Bersama Charles, Soun Yu telah
bekerja selama tiga tahun dan telah melakukan beberapa hal di pelosok desa
seperti menuntaskan persoalan air bersih.
Membaca tulisan kawan saya, Ibe S.Palogai pada literasi edisi Kamis 3 September 2015, ada rasa takjub tersendiri karena upayanya untuk merefleksi kembali apakah teori kelas masih mumpuni di era kontemporer. Ibe berusaha mencari penjelasan mengenai pertentangan kelas melalui fenomena media sosial.
Dalam tulisan yang berjudul “tentang palu arit, payung dan media
sosial”, Ibe berargumen bahwa ada kerancuan dalam teori kelas Marx, bahwa Marx
membagi masyarakat yang sudah semestinya seperti itu. Dua kategori besar yang
dibagi berdasarkan nasib, perjuangan dan sejarah setiap orang. Tanpa Marx
membagi masyarakat ke dalam dua kategori besar, masyarakat tetap akan menemukan
dirinya dibelah oleh keadaan. Jika ada yang berjuang, akan ada yang bertahan.
Jika terlahir dalam keluarga yang melarat, maka tidak perlu mencari jawaban
mengapa seperti itu. Begitu kira-kira premis-premis yang disebutkan Ibe untuk
menjelaskan pertentangan kelas.
Membincangkan
revolusi, penulis teringat akan satu pengalaman ketika secara tidak
sengaja bertemu dengan sekelompok aktivis di salah satu kampung di kota Makassar. Waktu
itu, para aktivis tersebut berkunjung ke salah satu rumah warga, dan tanpa
basa-basi, dengan suara lantang, menjelaskan ikhwal sebuah permasalahan,
kemudian meminta kesediaan warga agar berpartisipasi untuk sebuah perlawanan. Terdengar
begitu dahsyat dan revolusioner.
Begitupun di beberapa tempat lain, dimana penulis sering kali mendengar sebuah khotbah revolusioner yang bagaikan menatap rembulan di malam hari, kemudian membayangkan bahwa esok akan terjadi sebuah peristiwa penting yang akan mengubah jalannya sejarah.
Tidak ada yang salah jika mendiskusikan dan menebarkan semangat revolusioner kepada orang-orang tertindas, itu benar, karena orang-orang tertindas memang harus melawan. Tapi pertanyaannya, apakah hari ini orang-orang tertindas telah siap untuk merubah keadaan?, ataukah kaum terdidik hanya bersikap seperti pemadam kebakaran?. Datang ketika ada masalah mendadak, jika tidak, bangun di sore hari pun tak mengapa.
Langganan:
Postingan (Atom)