Beberapa
waktu yang lalu, gerakan mahasiswa menjadi hangat diperbincangkan oleh berbagai
kalangan. Sensasi yang dipertontonkan oleh mahasiswa di jalanan dalam menolak
kenaikan harga BBM mencuri konsentrasi khalayak banyak. Ada yang memuji tapi
ada juga yang mencaci. Dipuji karena masih ada juga orang-orang muda yang
memiliki semangat juang ditengah kondisi kampus yang sedang mengalami degradasi
intelektual. Disisi lain, dicaci karena dianggap hanya bisa mempertontonkan
kekerasan.
Ada yang bilang bahwa “pembangunan” adalah kunci utama untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berdaulat. Cara pandang seperti ini umumnya dikenal sebagai cara pandang developmentalism. Cara pandang yang memusatkan perhatian untuk membangun sebanyak mungkin sumber-sumber penghasil “pundi-pundi emas”. Di Indonesia pada umumnya, corak seperti ini dapat dilihat, salah satunya melalui semakin maraknya aktivitas industri pertambangan.
Di kabupaten Maros dan Pangkep misalnya, jumlah tambang-baik tambang semen maupun marmer-pada kawasan karst mencapai puluhan. Selain tambang semen dan marmer, tercatat pula aktifitas pengerukan tanah di beberapa titik untuk menyokong proses reklamasi pantai di wilayah perkotaan. Biasanya, pembangunan tambang-tambang seperti itu selalu berdalih untuk memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di sekitar daerah penambangan, alias menyerap tenaga kerja dan menekan angka pengangguran. Sebuah “niat baik” yang sasarannya selalu dipusatkan pada masyarakat kelas bawah.
Sekadar
membincangkan politik di tengah kondisi masyarakat yang sangat ‘awam’ tentang
politik, kita hanya akan menemukan persepsi tentang perilaku korup, lingkaran
setan, tidak bermoral, politisi baik dan tidak baik. Terlebih untuk
mendiskusikan tentang perubahan sistem dan struktur politik, maka bagi
masyarakat ‘awam’ tidak ada jalan lain selain mengumpulkan uang sebanyak
mungkin dan berpartisipasi ke dalam pertarungan politik.
Pandangan semacam itu yang kemudian melahirkan penilaian yang sangat moralis, dapat dikata masih sangat empirik. Pandangan itu merupakan refleksi atas pengalaman yang dicerap dari perilaku para politikus. Masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, belum mampu melampaui cara pandang empirik. Bahwa politik bukanlah persoalan moral, tetapi menyoal pada bagaimana membangun kekuatan, membangun kesepakatan bersama, untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Pandangan semacam itu yang kemudian melahirkan penilaian yang sangat moralis, dapat dikata masih sangat empirik. Pandangan itu merupakan refleksi atas pengalaman yang dicerap dari perilaku para politikus. Masyarakat yang masih sangat ‘awam’ tentang politik, belum mampu melampaui cara pandang empirik. Bahwa politik bukanlah persoalan moral, tetapi menyoal pada bagaimana membangun kekuatan, membangun kesepakatan bersama, untuk mencapai masyarakat yang adil dan sejahtera.
Berdasarkan hasil penelsuran
sejarah kampung, ada tiga jenis bencana yang pernah terjadi di kampung Buloa RT
08, yaitu kebakaran, angin puting beliung, dan penggusuran. Angin puting
beliung menghancurkan sekitar 57 rumah warga, kebakaran menghanguskan 4 rumah,
dan penggusuran oleh pihak pengembang mengancam keberadaan kampung Buloa.
Ketiga bencana tersebut membuat miris perasaan warga setempat, karena setelah
bencana-bencana tersebut terjadi, warga selalu dihantui oleh perasaan takut
akan kehilangan tempat tinggal akibat bencana.
Oleh karena itu, menurut warga
setempat ada beberapa langkah-langkah taktis dan strategis yang dapat ditempuh
guna memperkecil resiko bencana yang bisa datang kapan saja.
1. Angin
puting beliung
Angin puting beliung adalah salah
satu bencana yang paling membawa dampak besar menurut warga, sebab angin puting
beliung pernah menghancurkan puluhan rumah warga. Ketika angin puting beliung
terjadi, pemerintah hanya mampu memberikan bantuan pembenahan atap rumah,
itupun hanya ada beberapa rumah yang mendapatkan bantuan. Sedangkan untuk
pendidikan mengenai bagaimana cara menghadapi bencana seperti angin puting
beliung tidak pernah dilakukan.
Karena hal tersebut, menurut warga
setempat ada beberapa langkah yang dapat dilakukan guna mempersiapkan diri jika
bencana angin puting beliung kembali terjadi.
Langkah taktis untuk memperkecil
resiko bencana yang diakibatkan oleh angin puting beliung dapat dilakukan
dengan memasang bambu pada atap rumah yang disusun berdasarkan bentuk atap
rumah.
Sedangkan langkah strategis yang
dapat dilakukan adalah bekerjasama dengan pemerintah kota untuk aktif mengakses
dan mensosialisasikan kepada warga setempat mengenai perubahan cuaca dan
kemungkinan akan terjadinya angin puting beliung.
a. Kebakaran
Mengenai kebakaran yang pernah
terjadi di RT 08, diakibatkan oleh kelalaian pemilik rumah. Kompor minyak tanah
milik Umar (korban kebakaran) lupa dimatikan ketika Umar sedang beraktivitas di
luar rumahnya. Ketika api kompor membakar bagian dapur rumah umar, api ikut
membesar dengan cepat dan melalap seluruh rumahnya. Lalu api juga menyebar ke
rumah lain, salah satunya rumah Dg. Raba. Pada waktu itu, tidak banyak yang
bisa dilakukan oleh warga, selain mengangkat air kemudian menyiram rumah yang
terbakar.
Pemadam kebakaran tidak dapat
masuk karena jalan lorong yang kecil. Sehingga api baru padam ketika empat
rumah juga habis di lalap.
Menurut warga setempat , ada
beberapa langkah taktis dan strategis yang dapat dilakukan untuk mencegah dan
memperkecil resiko kebakaran, diantaranya :
Ketika berkumpul sesama warga,
tidak lupa untuk saling menanyakan apakah kompor telah dimatikan. Kemudian
mengadakan lonceng yang bisa dibunyikan ketika kebakaran terjadi agar seluruh
warga kampung bisa mengetahui dengan cepat lalu ikut membantu memadamkan api.
Selain itu, bisa juga mengadakan
semacam papan reklame/spanduk yang dipasang di dalam kampung, yang kira-kira
bertuliskan “waspada kebakaran. Jangan lupa matikan kompor anda”. Hal ini agar
warga selalu waspada jika melihat papan/spanduk tersebut.
Untuk mengurangi resiko ketika
kebakaran terjadi, perlu juga kiranya warga yang bekerjasama dengan pemerintah
kota membuat semacam kapal pemadam kebakaran yang selalu bersiaga di dalam
kampung. Karena Buloa yang terletak di pesisir, sangat memungkinkan membuat
kapal semacam itu. Air tersedia di laut sehingga mudah dalam proses pemadaman. Selain
itu, yang tidak kalah penting adalah pelatihan mengenai bagaimana cara menghadapi
bencana. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa pemahaman warga Buloa sangat minim
mengenai bencana.
3. Penggusuran
Penggusuran oleh pihak pengembang
pada tahun 2011 membuat ketegangan di dalam kampung. Ketika ancaman penggusuran
terjadi, warga sempat kebingungan mengenai apa yang harus diperbuat. Sehingga
pada waktu itu ada beberapa kepala keluarga yang memilih pindah dari Buloa
karena diberikan semacam ganti-rugi dari pihak pengembang. Barulah ketika KPRM,
ARKOM bersama mahasiswa datang, warga merasa tertolong dan kembali bersemangat
untuk mempertahankan kampungnya.
Ketika ancaman penggusuran
terjadi, warga bersama KPRM dan mahasiswa beberapa kali melakukan aksi
demonstrasi guna menolak rencana penggusuran tersebut. Aksi-aksi itu dilakukan
di kantor DPRD Makassar, kantor Gubernur dan di dalam kampung sendiri. Karena
banyak warga yang menolak, pihak pengembang menggunakan jasa preman untuk
mengintervensi warga. Pada waktu itu, warga sempat ketakutan sehingga banyak
yang tidak berani keluar dari rumahnya.
Karena lelah dengan intervensi
dari preman, warga memilih untuk menantang para preman berduel. Hingga akhirnya
para preman tidak menanggapi tantangan tersebut, dan tidak lagi menampakkan
hidungnya di sekitaran kampung. Warga sangat berterima kasih dengan kedatangan
KPRM dan mahasiswa, karena berkat mereka penggusuran bisa dibatalkan.
Namun warga merasa perlu juga
melakukan persiapan karena bisa saja pengembang kembali mengancam warga. Oleh
karena itu ada beberapa langkah yang bisa dilakukan untuk mengahadapi bencana
seperti penggusuran.
Pertama, membuat semacam balai
warga sebagai tempat akses informasi dan berdiskusi tentang penggusuran dengan
sesama warga maupun pihak luar seperti mahasiswa dan LSM.
Kedua, seluruh warga harus
bersatu untuk memperjelas satatus kepemilikan tanah ke pemerintah kota agar
kedepannya punya bukti dan kekuatan untuk melawan siapapun yang ingin menggusur
kediaman warga, termasuk pihak pengembang.
Ketiga, warga mesti menata
rumah/kampungnya sebaik mungkin agar tidak kumuh. Karena kumuh adalah salah
satu alasan yang selalu dikatakan oleh pemerintah untuk menggusur
kampung-kampung yang ada di Makassar.
Peserta :
1. Pak
Fajrin
2. Ibu
Satriani
3. Dg.
Raba
4. Herman
5. Rita
Fasilitator : Aman Wijaya
Bencana adalah salah satu hal
yang tidak bisa diduga kapan datangnya, serta kadang menimbulkan kebingungan
mengenai apa yang mesti dilakukan ketika bencana datang. Pengetahuan yang minim
di tataran warga kampung mengenai persoalan bencana, membuat bencana dimata
warga seperti sesuatu yang sudah sehararusnya seperti itu.
Karena persoalan bencana dianggap
penting, maka Urban Poor Consorsium (UPC) melalui Komite Perjuangan Rakyat
Miskin (KPRM), melakukan pemetaan persoalan bencana di beberapa kampung di Kota
Makassar. Kemudian kampung Buloa RT 08, menjadi salah satu kampung tempat
melakukan pemetaan.
Pasca workshop pemetaan
Pengurangan Resiko Bencana (PRB) oleh KPRM, tiap perwakilan kampung kembali ke
kampungnya masing-masing kemudian melakukan pemetaan. Setiap kampung didampingi
oleh pendamping yang telah difasilitasi oleh KPRM.
Saya (Aman Wijaya) selaku pendamping
kampung Buloa memulai pemetaan dengan terlebih dahulu merefleksikan kembali
mengapa pemetaan ini penting dan harus dilakukan. Sekitar 20 warga yang hadir
(yang sebelumnya telah dikumpulkan oleh Pak Fajri, salah satu warga Buloa)
terlihat antusias menghadiri pertemuan perdana, walaupun beberapa diantaranya
terpaksa hadir karena merasa segan dengan Syafrullah (CO. KPRM).
Setelah merefleksi tujuan
pemetaan, saya kemudian menjelaskan apa saja yang mesti dipetakan dan bagaimana
caranya. Diantaranya, sejarah kampung, kondisi jalan, ekonomi, fasilitas umum dan
sosial serta data demografi. Ketika pembagian kerja dimulai, warga tampak
kebingungan dan saling tunjuk menunjuk mengenai siapa mengerjakan apa. Dari
hasil perdebatan yang alot, keluarlah beberapa nama yang akan mengerjakan
beberapa item pemetaan. Dimana setiap item dikerjakan oleh tiga orang.
Setelah pembagian kerja selesai, dilanjutkan
dengan pembahasan mengenai apa yang harus dilakukan ketika terjadi kebingungan
pada saat pengerjaan di lapangan. Tidak lupa kami saling bertukar kontak guna
saling berkomunikasi apabila terjadi kendala kedepannya.
Yah begitulah proses pada pertemuan
perdana, yang menumbuhkan rasa optimis akan lancarnya kegiatan pemetaan ini.
Namun kenyataan selalu berkata
lain, waktu selama seminggu yang disepakati untuk mengumpulkan hasil pemetaan,
tidak membuahkan apa-apa. Tidak satupun form isian yang terisi, dan seluruh
warga yang bertanggung jawab untuk beberapa item, malah mengembalikan form
tersebut ke Pak Fajrin, selaku koordinator kegiatan sembari berkata “tidak ku
tauki deh”.
Karena tidak ada satupun yang
selesai, saya meminta kepada Pak Fajrin untuk memanggil para koordinator item
dan menjelaskan apa saja kendala yang ditemui sehingga pemetaan tidak berjalan.
Setelah Pak Fajrin coba memanggil orang-orang tersebut, hanya Dg. Raba (selaku
koord. Sejarah kampung) yang bersedia datang, selebihnya hanya mengatakan
“sibuk”.
Dg. Raba kemudian menjelaskan mengenai
kebingungannya tentang sejarah kampung dan orang yang akan di wawancarai. Dalam
hal ini Dg. Raba kebingungan mengenai siapa orang yang paham mengenai sejarah
Buloa. Setelah mendiskusikan masalah yang dialami oleh Dg. Raba, dia berjanji
akan segera menuntaskan item sejarah kampung.
Kemudian mengenai item lain,
saya, pak Fajrin dan Dg. Raba coba mendiskusikan solusinya. Pak Fajrin kemudian
memberikan solusi bahwa dia akan segera mendesak Dg. Maing untuk menyelesaikan
beberapa item. Kemudian Pak Fajrin juga berinisiatif untuk menggandakan
kusioner mengenai data demografi menggunakan uang pribadinya kemudian
membagikan satu persatu kepada warga. Untuk proses pembagian, Pak Fajri meminta
bantuan Rita alias Ito untuk membagikan kepada warga nantinya (karena Rita
dianggap akrab dengan seluruh warga).
Untuk mencegah kemungkinan
terburuk, saya meminta Pak Fajri untuk tidak langsung menggandakan kusioner sesuai
dengan jumlah warga (300-an KK). Hal ini dilakukan karena persoalan dana. Oleh
karena itu, disepakatilah untuk menggandakan sebanyak 100 kusioner di putaran
pertama. Kemudian sistemnya, setiap KK yang dibagikan wajib mengganti ongkos
cetak sebesar Rp. 1.000. kemudian uang yang terkumpul akan digunakan lagi untuk
menggandakan kusioner di putaran kedua.
Beberapa hari berikutnya, Rita
mulai membagikan kusioner sebanyak 100 lembar ke 100 KK. Alhasil. Hanya 50
kusioner yang dikembalikan oleh warga, selebihnya hanya mengatakan “belum
selesai”. Saya meminta Rita dan Pak Fajri untuk mendatangi kembali warga yang
belum mengisi kusioner dan meminta agar segera menyelesaikan. Tapi lagi-lagi
warga enggan mengisi dan hanya mengatakan “nanti”.
Kemudian saya kembali meminta
Rita dan Pak Fajrin untuk mendatangi mereka, dan menunggu hingga mereka
menyelesaikan apa yang harus di isi (dalam hal ini tidak ada lagi kata “nanti”/isi
di tempat). Namun Rita yang juga sedang sibuk bergelut dengan usaha barunya
yaitu cakar dan sibuk mengurus anaknya yang masih balita, meminta waktu untuk
mendatangi orang-orang tersebut. Karena
Rita yang meminta waktu, Pak fajri juga merasa enggan untuk menagih seorang
diri, karena merasa tidak begitu akrab dengan beberapa warga. Selain itu, pak
Fajrin mulai ogah-ogahan karena merasa uangnya belum kembali.
Berselang beberapa hari, saya
kembali mengunjungi Buloa untuk mengontrol pemetaan. Namun yang ditemui
lagi-lagi hanya kekecewaan. Lagi-lagi Dg. Raba tidak menyelesaikan item sejarah
kampung dengan alasan yang sama. Oleh karena itu, saya meminta form isian
sejarah kampung kepada Dg. Raba dan mengajak Pak Fajri untuk mengunjungi Ambo
Rahim (tokoh kampung yang dianggap paham sejarah kampung). Akhirnya saya dan
pak Fajri menyelesaikan item sejarah kampung.
Setelah mengunjungi Ambo Rahim, tidak lupa kami mencari Dg. Maing untuk
menagih item fasilitas umum dan sosial yang menjadi tanggung jawabnya. Alhamdulillah,
item fasilitas umum dan sosial juga sudah selesai. Untuk item jalan kampung,
diselesaikan sendiri oleh pak Fajrin. Sedangkan item ekonomi, Pak Fajrin
mengusulkan agar dikerjakan oleh Rita.
Walaupun sedang banyak kesibukan,
Rita menyanggupi untuk mengerjakan item ekonomi. Dan dia meminta waktu sehari
untuk merampungkan.
Walaupun waktu pengerjaannya
bukan sehari, melainkan tiga hari, Rita merampungkan item ekonomi, tapi enggan
menanggapi ketika dimintai pendapat mengenai item demografi yang masih mandek.
Tapi karena tidak ingin terlarut
dengan masalah item demografi yang mandek, Pak fajri selaku koordinator meminta
agar proses penggambaran peta dimulai. Kemudian saya meminta Pak Fajri untuk
menyepakati bersama warga mengenai waktu yang pas agar beberapa warga bisa ikut
berproses dalam pembuatan peta.
Beberapa hari kemudian, tepat di
hari yang telah disepakati, saya kembali mengunjungi Buloa. Pada hari itu, saya
hanya mendapati Pak Fajri yang hanya duduk termenung di depan rumahnya sembari
berkata pada saya “tidak ada warga mau kumpul, baru Dg. Maing sm H. Ramli juga
pergi”.
Mendengar itu, saya langsung saja
memberitahu dia agar mencari orang yang kira-kira mengetahui letak-letak setiap
rumah, serta seluruh isi kampung. Dan lagi-lagi pak Fajri menganggap bahwa Rita
adalah orang yang mengetahui hal tersebut. Tetapi karena Rita belum pulang dari
lokasi tempatnya berdagang cakar, maka kami berdua bersantai sejenak.
Tepat setelah shalat maghrib
selesai,kami berdua segera mengunjungi Rita di kediamannya. Setelah
menyampaikan maksud dan tujuan, akhirnya kami bertiga sepakat untuk melakukan
penggambaran peta kampung. Dan akhirnya selesai selama dua jam kemudian.
Mengenai persoalan item demografi
yang hanya terkumpul sebanyak 53 kusioner, saya coba berkoordinasi dengan
Syafrullah. Beliau kemudian mengatakan bahwa hal tersebut tidak perlu
dipersoalkan, minimal data kader KPRM di dalam kampung sudah ada.
Hingga akhirnya pada proses
presentase, warga Buloa yang menjadi perwakilan hanya Pak Fajrin dan Dg. Maing
beserta satu orang anaknya yang hadir.
Meskipun berjalan alot, proses
pemetaan berhasil dirampungkan walaupun hanya beberapa warga yang ikut
berpartisipasi. Namun hal tersebut menjadi pelajaran untuk beberapa warga yang
ikut berpartisipasi.
Langganan:
Postingan (Atom)