Antara Koperasi dan Korporasi


Kadang saya sendiri kebingungan jika mendapati sebuah forum diskusi terkait bagaimana melawan kapitalisme. Tidak sedikit ruang-ruang diskusi yang saya temui di kota Makassar, memberikan euphoria tersendiri apabila proses pendiskusian menemukan semacam gagasan tentang bagaimana melawan kapitalisme. Kebanyakan forum yang saya dapati selalu melahirkan ide-ide yang sifatnya heroik. ‘Lawan’, ‘bakar’, ‘boikot’, dan berbagai aksi-aksi heroik lainnya. Seolah-olah saat pendiskusian berakhir, esok hari akan berkumpul barisan rakyat jelita yang akan menumbangkan kapitalisme.

***


Beberapa bulan yang lalu, ketika berkumpul dengan kawan-kawan di komunitas yang bergerak di wilayah pedesaan, pendiskusian tiba pada bagaimana mentaktisi keuangan komunitas dan urusan perut tanpa meninggalkan kerja-kerja di komunitas. Akhirnya semua orang yang hadir bersepakat membentuk koperasi agar komunitas dan individu yang ada di dalamnya, tersubsidi dalam hal keuangan sehingga ketakutan akan bubarnya barisan akibat urusan perut bisa diminimalisir. Sekaligus sebagai upaya menghimpun anggota komunitas agar berada di satu payung perekonomian yang sama, dan mengikis ketakutan akan ketergantungan pada lembaga-lembaga founding dalam menjalankan agenda-agenda komunitas.

Di sepanjang pendiskusian, ada beberapa poin yang akhirnya disepakati soal koperasi tersebut. Pertama, koperasi mesti otonom dari komunitas. Sehingga orang-orang di luar komunitas yang tertarik dan ingin berpartisipasi dalam koperasi, dapat diakomodir tanpa tergabung ke dalam komunitas. Kedua soal besarnya modal awal dan iuran yang mesti di setor oleh anggota, serta bagaimana mekanisme pembagian sisa hasil usaha. Intinya, bagaimana agar sistem yang dibangun tidak mencederai dan memberatkan siapapun yang ingin bergabung.

Karena besarnya modal awal bergantung dari seberapa banyak anggota, maka disepakati agar setiap individu dalam komunitas mengajak orang-orang terdekatnya untuk menjadi anggota koperasi. Mengingat kawan-kawan di komunitas ingin menghindari pengajuan pinjaman dari bank dan agen-agen pembiayaan untuk membangun pondasi perekonomian dalam gerakan.

Sebagai salah satu bagian dalam komunitas, saya tergerak untuk merekrut kawan-kawan saya yang masih menghabiskan waktunya di dunia kampus, dan memiliki keresahan yang besar soal urusan perut. Dari sekian banyak kawan, satu-persatu dari mereka saya temui dan menjelaskan mengenai apa itu koperasi, apa tujuannya, dan bagimana sistemnya. Tanpa ragu, saya memperlihatkan catatan dari pendiskusian di komunitas agar penjelasannya lebih mudah dan lebih transparan.

Dari semua yang sempat saya temui, tidak sedikit yang melontarkan kata-kata yang sungguh tidak enak. Agen pembiayaanlah, dicurigai maling lah, inilah, itulah. Bahkan belakangan, ada bisikan-bisikan halus bahwa saya akhirnya memilih menjadi kapitalis. Luar biasa. Namun apa daya, seperti lirik salah satu lagu “sakitnya tuh disini”.

Dari beberapa yang saya temui, hanya tiga orang yang menyatakan akan ikut bergabung. Selebihnya tetap bertahan pada keyakinannya soal bagaimana seharusnya mengumpulkan pundi-pundi emas, sembari tetap-mungkin-menaruh kecurigaannya pada saya sebagai agen pembiayaan dan maling. Tapi tak apalah. Mungkin itu juga menjadi pelajaran bagi saya agar bisa sedikit berpenampilan rapi ketika hendak mengorganisir urusan perekonomian.

Meskipun saya memiliki beberapa referensi mengenai koperasi-koperasi progresif yang diinisiasi oleh gerakan kiri, saya enggan untuk menjelaskan. Demi menghindari tuduhan susulan sebagai ‘komunis’-ala orde baru. Apalagi jika ‘komunis’ yang kapitalis.


***
           
Meskipun hasilnya kurang memuaskan dan sedikit menyakitkan, namun ada beberapa poin penting yang sekiranya dapat menjadi bahan refleksi. Pertama, dari seluruh argumen yang saya tangkap, hampir semua mengungkapkan bahwa koperasi adalah momok yang menakutkan.

Hal ini sangat wajar, mengingat masyarakat Sulawesi-Selatan memiliki pengalaman yang buruk tentang koperasi. 15 tahun yang lalu, salah satu koperasi simpan pinjam di Sulawesi-Selatan, berhasil membawa lari seluruh tabungan nasabahnya yang berjumlah miliaran rupiah. Salah seorang keluarga saya pun terkena serangan jantung akibat tabungannya senilai 75 juta rupiah ikut ludes. Sampai sekarang, ada trauma tersendiri bagi masyarakat Sulawesi-Selatan jika mendengar kata koperasi. Terlebih jika bentuknya adalah koperasi simpan pinjam.

Tapi hingga saat ini, jenis-jenis koperasi yang tidak jauh berbeda dengan agen pembiayaan masih bisa ditemui. Salah satu koperasi di kota Makassar-tidak usah sebut merek yah-yang telah mempunyai empat cabang di empat kabupaten, menurut pengakuan salah seorang karyawannya, mampu meraup keuntungan hingga ratusan juta rupiah dalam sebulan. Koperasi simpan pinjam tersebut, berfungsi sebagai tempat menabung dan meminjamkan uang dengan suku bunga senilai 26%. Meskipun suku bunga tergolong sangat tinggi, namun orang-orang yang sedang kepepet dan membutuhkan uang secara instan, dapat di akomodir. Karena menawarkan persyaratan administrasi yang sangat mudah.

Koperasi yang tujuan awalnya adalah menyejahterakan anggota, kemudian berbalik menjadi menyejahterakan pimpinan. Koperasi semacam ini, tidak mengenal istilah pembagian sisa hasil usaha. Keuntungan yang didapatkan dari hasil usaha tidak dibagi merata kepada anggota, tapi lebih ke bentuk upah bagi karyawan. Sehingga hampir sulit membedakan mana koperasi dan mana korporasi.

Yah, itulah sesat pikir tentang koperasi yang merupakan warisan orde baru. Upaya mengelolah perekonomian secara kelompok yang menjunjung tinggi kesetaraaan dan transparansi, serta bertujuan menyejahterakan anggotanya, menjelma menjadi tempat untuk meraup keuntungan sebanyak mungkin oleh segelintir orang.

Selain citra buruk tentang koperasi, beberapa kawan saya mengungkapkan bahwa ber-koperasi hanya membuang waktu. Pertama, modal awal koperasi yang di kumpulkan dari hasil patungan, dianggap tidak begitu mempunyai masa depan yang cerah. Anggapan tersebut dikarenakan perputaran uang yang sangat kecil, kadang tersendat, sehingga butuh proses yang lama. Dengan kata lain, “kapan kayanya nih”. Kedua, sisa hasil usaha dibagikan berdasarkan jumlah anggota, semakin banyak anggota, maka  semakin sedikit sisa hasil usaha yang didapatkan setiap orang. Sehingga bagi mereka, akan lebih jelas jika setiap orang membuka usahanya masing-masing dengan bantuan modal melalui bank.
           
Jangankan ajakan berkomunitas, yang akan bertarung langsung di lapangan sosial, politik dan kebudayaan, dan pastinya akan lebih sering kelaparan. Ajakan untuk mengelolah perekonomian dalam bentuk organisasi sosial saja begitu rumit. Gerak historis masyarakat yang semakin instan, mengikis kepercayaan terhadap kekuatan relasi sosial dan kemandirian. Kebutuhan yang terus mengejar membuat sebagian besar orang tidak lagi percaya bahwa mengelolah perekonomian yang bertumpu pada kesetaraan, tidak akan mengubah apa-apa. Tidak ada jaminan akan kebahagiaan hingga tujuh turunan.

Kapitalisme telah berhasil membuat sebagian besar orang semakin yakin bahwa system buruh-majikan, atau bahasa lainnya, pimpinan-karyawan adalah system yang paling mumpuni dalam urusan mengisi perut, entah dalam bentuk usaha mikro (ekonomi kreatif, usaha rakyat (?) dll.) maupun makro. Sehingga kesetaraan dan kemandirian dalam urusan perekonomian dianggap sebuah omong kosong besar

Setelah berkumpul kembali dengan kawan-kawan di komunitas guna mengevaluasi apa yang telah dikerjakan, hampir semua orang mengungkapkan hal yang sama dengan apa yang saya dapati.
           
Mungkin untuk terlibat dalam dunia yang berurusan dengan kerja-kerja pengorganisiran, seseorang mesti bermuka tebal. Sebab wacana-wacana progresif yang kemudian coba diterjemahkan ke dalam sebuah praktik, bisa jadi merupakan hal aneh dan tidak memiliki masa depan di mata orang lain. Dan yang tidak kalah penting, mungkin sudah bukan jamannya yah bahwa aktivis itu mesti berpenampilan kumal. Entahlah. Lalu, melawan kapitalisme? Ah sudahlah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar