Tentulah para pekerja menganggap bahwa upah
dari kerja merupakan hal yang mutlak dimilikinya seorang pekerja sebagai
imbalan dari pencurahan tenaga kerjanya. Tentunya para pemodal merasa memiliki
kewajiban untuk membayar upah para pekerjanya. Namun darimana asalnya pekerja-upah
dan para pemodal pengupah tersebut, dan bagaimana logikanya sehingga hal
tersebut tampak sebagai sebuah hukum alam yang harus dialami umat manusia?
Sejarah singkat pekerja-upahan
Keberadaan pekerja-upahan tidak lepas dari
sejarah berdarah di Eropa pada abad ke-XVI. Pertarungan memperebutkan tanah
sebagai basis produksi akhirnya menggoreskan kemenangan pada tuan tanah
(feodal) namun dengan cepat diambil alih oleh kelompok militer yang di biayai
oleh kerajaan. Pertarungan antara kedua penguasa ini menjadi pusaran historis
dalam memperebutkan sumberdaya utama (tanah). [1]Karena hal tersebut, satu
satunya yang mengalami kerugian mendalam adalah para budak (baca: kaum
pengolah) mereka kehilangan tanah dan juga kehilangan satu satunya jaminan
diluar dari dirinya yaitu para feudal. [2]
Mereka yang tak berpunya dengan jumlahnya yang
ribuan menghadapi pilihan antara mati kelaparan atau mengemis di kota,
peristiwa urbanisasi ini membuat kota di penuhi dengan para gelandangan tak berpunya,
usaha untuk menata serta memulangkan para gelandangan di kota mengalami
kesulitan sebab di desa kondisi yang jauh lebih buruk telah menanti.[3]
Akhirnya Undang-Undang berdarah yang kemudian
diberlakukan untuk para gelandangan menghadapi berbagai ironi yakni seluruh
undang-undang tersebut senantiasa bebas tafsir, sesuai para pemesan
undang-undang tersebut. Akhirnya pada aras atas produksi regulasi yang memihak
bagi pemodal menjadi medan utama sementara di aras bawah pertarungan
memperebutkan sumberdaya utama berupah tanah menjadi motif utama gerak social
masyarakat. Sampai disini kita bisa mengerti bahwa satu satunya kelas yang
absen dari keuntungan pertarungan ini adalah kaum gelandangan, ungkapan sudah
terpinggir mereka tergusur tidak bisa di nafikkan lagi. Namun apakah argument
bahwa para pemodal telah berbaik hati menampung para gelandangan dan
membebaskannya dari ketergelandangannya mesti absen dalam pertanyaan
kita? Pertanyaan ini cukup penting sebab dari titik ini relasi social dari
kapitalisme awal mendapatkan pupuknya yang subur. [4]
Legalisasi perampasan kerja
Dampak dari revolusi social melahirkan relasi
social yang baru, yang sebelumnya antara feudal dan penggarap, bertransformasi
menjadi pemodal (baca-kapitalis) dan pekerja. Jika sebelumnya feudal merupakan
jaminan dari penggarap, maka revolusi social menjadikan penggarap sebagai
pekerja yang merdeka sepenuhnya, tanpa hak-milik, tanpa jaminan, dan tanpa
kejelasan hidup.
Setelah proses pembusukan penggarap menjadi
proletar yang tak berpunya, perampasan tanah dan alat kerja menjadi capital,
alat-alat produksi yang tadinya terpisah dikonsentrasikan pada satu titik, dan
adanya sosialisasi kerja, maka berdirilah cara produksi kapitalis di atas
kakinya sendiri. Corak ini kemudian menghasilkan hukum hak-milik perseorangan
individual, yang merupakan negasi dari corak produksi ber-skala kecil, yang
terpisah, dimana pekerja adalah pemilik merdeka atas kondisi-kondisi kerjanya. [5]
Hingga titik ini, sampailah pekerja pada
kondisi yang terburuk, dimana dia harus menggantungkan hidup sepenuhnya kepada
para pemodal. Karenanya, pekerja tak ubahnya seperti kuda, yang mesti mendapat
sebanyak yang memungkinnya untuk bekerja. Tidak ada pertimbangan sebagai
makhluk manusia ketika ia tidak bekerja. Tapi menyerahkan pertimbangan itu pada
hukum kriminal, pada para doktor, pada agama, pada table-tabel statistik, pada
politik, dan pada ketololan pejabat resmi. Ketergantungan ini merupakan hal
mutlak dari “kemerdekaan” pekerja atas tuan-tuan tanahnya. (Marx, hal 26).
Pengkonsentrasian alat-alat produksi dalam
satu titik, hak-milik perseorangan, juga menghadirkan situasi dimana kapitalis
harus menghancurkan kapitalis-kapitalis lainnya untuk pengkonsentrasian
alat-alat produksi secara massal dan penguasaan pasar. Sehingga selain bekerja,
kondisi terburuk yang harus dialami para pekerja adalah persaingan untuk
mendapatkan pekerjaan itu sendiri. Hingga pada kondisi dimana kerja itu harus
direbut dengan cara-cara kekerasan, dan menyisahkan sebagian kaum pekerja untuk
menjadi gembel, bahkan mati kelaparan. Maka mujurlah pekerja yang berhasil
menemukan pembeli kerjanya..
Sehingga kebaikan kapitalis untuk
menyelamatkan ketergelandangan para pekerja harus dibayar oleh para pekerja
dengan menghasilkan laba sebesar-besarnya bagi kaum pemodal. Karena menarik
para penggarap ke dalam pabrik-pabrik merupakan keharusan bagi para pemodal,
sebab pekerja adalah syarat utama untuk menghasilkan capital.
Dengan jalan peng-upah-an, maka semakin
tampaklah keharmonisan relasi social yang baru ini. Sebelumnya, penggarap
bertahan hidup dari tanah garapannya, namun karena para penggarap
bertransformasi menjadi pekerja di pabrik-pabrik para kapitalis, maka
diberlakukanlah system upah untuk mempertahankan keberadaan pekerja, yang
merupakan proses pemisahan modal, sewa tanah dan kerja
Upah, serendah-rendahnya diperuntukkan agar
dapat menghasilkan capital. Tanpa upah, tentulah para kapitalis tidak dapat
menghasilkan laba sebanyak-banyaknya melalui tangan-tangan buruh yang
dipekerjakan. Karena upah adalah syarat untuk mereformasi system capital agar tidak
tampak sebagai sebuah penindasan.
Dalam “naskah-naskah ekonomi dan filsafat
1844”, Karl Marx menjelaskan bahwa seyogyanya, upah serendah-rendahnya adalah
hal mutlak yang diperuntukkan bagi pekerja selama masa kerjanya, selain
diperuntukkan bagi pekerja secara individu, upah juga diperuntukkan untuk
mendukung keluarga pekerja, agar bangsa pekerja tidak berakhir keberadaannya.
Sampai di sini, marilah kita menarik
kesimpulan bahwasanya upah adalah syarat keberlangsungan hidup bangsa pekerja
guna terus mengeksploitasi pekerja dalam menghasilkan laba bagi kapitalis. [6]
Namun tidak sebaik wajahnya, upah tidaklah
lebih dari sekedar vitamin untuk mensuplai organ-organ tubuh agar tetap
berjalan normal dalam memproduksi capital dan terus memenuhi hasrat-hasrat dan
keserakahan kaum kapitalis. Pertanyannya kemudian, bagaimana upah di atur
sedemikian rupa?
Di dalam perputaran system capital, ada
beberapa kondisi yang menentukan naik turunnya pasar-upah, diantaranya :
1.Karena upah selalu mengikuti permintaan stok
pekerja serta pembagian kerja kuantitatif dalam sebuah industry. Jika dalam
sebuah masyarakat yang kelebihan stok pekerja, maka pasar-upah akan turun.
Karena walaupun pasar-upah rendah, para pekerja tetap harus bersaing sesama
pekerja untuk mencari pembeli kerja.
2. Selanjutnya, pengerucutan kerja
menjadi sebuah kerja monoton dan membosankan menyebabkan turunnya upah.
Dalam kasus yang terakhir diatas, sebutlah
misalnya dalam sebuah industry pengalengan ikan, 20 tahun sebelumnya, upah
mencapai rata-rata. Karena satu kaleng ikan hanya dikerjakan satu orang. Namun
di tahun-tahun sekarang kerja dilebur menjadi beberapa bagian, antara lain
kerja memotong ikan, membuat kaleng dan memasukkan ikan ke dalam kaleng.
Sehingga upah yang sebelumnya mencapai rata-rata, turun mengikuti kerja
kuantitatif dalam satu kaleng ikan.
Anggaplah misalnya suatu masyarakat mengalami
perkembangan kekayaan, ketika modal dan pendapatan sebuah negeri bertumbuh. Hal
ini memang sebuah konsekuensi logis dari banyaknya hasil akumulasi kerja. Namun
sayangnya lagi-lagi bangsa pekerja tetap dalam keadaan dirugikan. Karena para
pekerja harus berhadapan dengan hasil kerjanya sendiri. Sebutlah misalnya kita
yang bekerja dalam sebuah perusahaan sabun, tapi untuk memiliki satu buah
sabun, kita harus menyisihkan sebagian upah untuk membeli sabun yang notabene
adalah hasil cipta kita sendiri.
Dalam kasus diatas, meskipun secara terpaksa
upah harus dinaikkan, akan selalu sejalan dengan besarnya hasil produksi, yang
berarti semakin banyak waktu kerja yang harus dicurahkan. Dengan naiknya upah,
maka kebutuhan hidup pekerja akan ikut bertambah.
Hingga pada kondisi apapun, pekerja tetaplah
yang paling dirugikan. Karena walaupun dalam sebuah masyarakat mencapai
kemakmuran, pekerja tetap hanya akan mendapatkan bagian terkecil dari apa yang
dibutuhkannya. Namun ketika orang-orang kaya mengalami kebangkrutan, maka
pekerja akan kehilangan hidupnya.
[1] Sejak terampasnya kaum feodal
dan para produsen dari tanah atau alat produksinya melalui perang sipil antara
kaum feudal dan kerajaan, dan antara sipil dan feudal, lenyap juga-lah ikatan
antara kaum feudal dan para petani yang kemudian menyebabkan mereka menjadi
kaum yang tak-berpunya.
[2] Mengapa kaum pemodal tidak
terlibat perang sipil dalam memperebutkan tanah? Karena kaum pemodal adalah
kaum minoritas di dalam masyarakat, yang tidak mempunyai tanah namun memiliki
modal seperti uang dan mesin-mesin produksi. Belakangan, kaum pemodal berhasil
menikung setiap revolusi, kemudian menggunakan kekuasaan negara untuk
melegitimasi kepentingan-kepentingannya.
[3] Untuk pembahasan mengenai
sejarah keterampasan tanah, baca Das Kapital, Karl Marx, Perampasan Tanah
Penduduk Desa : 800. Yang membahas tentang bagaimana tanah milik gereja,
negara, dan feudal dirampas dengan cara-cara terorisme kejam yang kemudian
ditransformasi menjadi milik perseorangan modern.
[4] Sedangkan untuk pembahasan
mengenai undang-undang yang menjadi legitimasi para pemodal dalam
mempertahankan hak-milik dapat dilihat dalam Das Kapital, Karl Marx,
Perundang-undangan berdarah terhadap yang terampas sejak akhir abad ke-XV,
undang-undang penekanan upah : 822.
[5] Penjelasan singkat
mengenai corak produksi pra-kapitalisme dapat di lihat dalam Das Kpital, Karl
Marx, Kececenderungan historikal akumulasi primitive : 854.
[6] Untuk penjelasan yang detil
mengenai upah-upah kerja dapat di lihat dalam, Karl Marx, naskah-naskah ekonomi
dan filasafat 1844 : 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar