Bagaimana Petani Melawan?



Setahun yang lalu, perhatian para  penggiat gerakan sosial di Sulawesi-Selatan dicuri oleh konflik agraria di salah satu kabupaten, tepatnya di Kabupaten Takalar. Waktu itu, petani bersama mahasiswa dan aktivis LSM, menghimpun kekuatan melawan PT. Perkebunan Nusantara (PT. PN) yang hendak merebut lahan pertanian warga. Aksi PT. PN yang di back-up oleh aparat kepolisian dan militer, membuat gelora perlawanan para petani menggema hingga ke sudut kampus. Karena keadaan yang rumit, banyak mahasiswa yang kemudian memutuskan untuk menjadi relawan guna menyokong gerakan petani Polongbangkeng tersebut. Sayangnya saat itu saya sedang dikejar oleh deadline tugas akhir-skripshit-perkuliahan, hingga tidak sempat melihat langsung bagaimana para petani Polongbangkeng melawan.


Saat seorang kawan yang menjadi relawan harus kembali ke kota Makassar guna mengikuti perkuliahan, dia banyak bercerita pada saya bagaimana riuhnya perlawanan petani Polongbangkeng yang di sokong oleh aktivis LSM dan mahasiswa. Kawan saya itu bercerita mengenai bagaimana rumitnya menyatukan massa petani yang terpecah, dan bagaimana rumitnya mengumpulkan data-data terkait pelanggaran HAM yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer. Yah memang rumit.
                
Namun yang menjadi pertanyaan saya, bagaimana membuat petani melawan jika keadaan tidak serumit seperti yang terjadi di Polongbangkeng? Apakah perlawanan petani hanya bisa hadir apabila ada kontradiksi permukaan yang kasat mata seperti penggusuran dan perampasan lahan petani? Ataukah yang disebut melawan hanya saat berkumpul ratusan petani, mengangkat microfone, dan menyerbu sasarannya?

***

Empat tahun yang lalu, saat memutuskan menetap untuk beberapa saat di sebuah desa di Kabupaten Maros, Sulawesi-Selatan, keadaan yang saya dapati tidak serumit dengan apa yang terjadi di Polongbangkeng. Keadaan baik-baik saja. Tidak ada yang menjadi masalah. Petani bangun pagi lalu berangkat ke sawah, dan pulang di sore hari saat matahari mulai terbenam di ufuk barat. Pemandangan desa di sore hari serta udara yang sejuk, membuat suasana begitu nikmat. Ditambah sikap para petani yang begitu ramah, semakin memperteguh keyakinan bahwa inilah surganya dunia, sungguh indah ciptaan tuhan. Yah begitulah kira-kira jika mengambil sudut pandang para traveler jaman sekarang. Semua baik-baik saja.

Waktu itu, dengan sedikit teori di kepala yang dikumpulkan dari bacaan, saya coba mengamati keadaan. Karena sedikit tahu tentang kapitalisme, neoliberalisme dan berbagai teori besar lainnya, saya selalu percaya bahwa sebenarnya ada masalah. Sebenarnya para petani sedang menghadapi ancaman besar. Bisa jadi lima tahun ke depan lahan mereka akan di rampas. Bisa jadi mereka akan di gusur akibat pengembangan kota. Apalagi di sebelah utara terdapat tambang semen. tapi bagaimana meyakinkan mereka? Apakah saya mesti mendikte mereka satu persatu? Menjelaskan apa itu kapitalisme?

Setelah bergaul dengan para petani itu selama sebulan, ternyata keadaan memang tidak baik-baik saja, seperti penggambaran para traveler. Namun permasalahan yang ada, tidak juga seperti apa yang ada di kepala saya. Satu-persatu petani coba saya temui dengan mengunjungi sawahnya dan mengajak mereka bercanda, sembari menanyakan bagaimana cara bertani dan meminta mereka mengajari saya. Akhirnya diskusi tentang pertanian berjalan. Tapi saya sedikit terusik dengan beberapa fakta-fakta yang mereka ungkapkan. Dan itu merupakan fakta-fakta yang tidak kasat mata.
               
Para petani itu bercerita tentang bagaimana rumitnya menjadi petani, terutama bagi petani kecil seperti mereka. Biaya produksi dan tenaga yang mesti mereka keluarkan, tidak berbanding lurus dengan penjualan hasil pertanian di pasaran. Banyak dari mereka yang harus bekerja sampingan sebagai kuli bangunan dan buruh pengangkat batu hanya untuk mengumpulkan ongkos produksi seperti menyediakan bibit, pupuk dan pestisida. Setelah itu, barulah mereka menggarap lahannya.
               
Jika beruntung, mereka bisa melakukan panen sebanyak dua kali dalam setahun. Namun bila banjir datang, hama menyerang, maka penen sebanyak dua kali adalah hal yang mustahil. Maka sia-sia pula perjuangan mereka mengumpulkan ongkos produksi. Dan seingatku, persoalan yang sedang hangat di desa mereka saat itu adalah kelangkaan pupuk dan pestisida di pasaran, sehingga seringkali tanaman tidak dapat tumbuh.
                
Disisi lain, jika mereka telah panen, dan ingin menyisihkan sebagian hasil produksinya untuk dijual guna menutupi sedikit ongkos produksi di musim tanam mendatang, mereka tidak tahu harus dibawa kemana. Jika lelah berfikir, mereka akhirnya mempercayakan pemasaran kepada para tengkulak. Meski dirasakan bahwa harga tidak berbanding lurus, tapi apa daya. Tak ada pilihan lain.

Karena semua hal di atas, banyak yang akhirnya memutuskan untuk berhenti bertani karena telah bosan dengan keadaan yang seperti itu. Keadaan yang terus berulang, seakan tidak akan pernah berakhir.
                
Semua cerita para petani itu, membuat saya gusar. Karena apa yang sebenarnya terjadi, apa yang tidak tertangkap oleh mata saya, sangat jauh dari apa yang ada di kepala saya.
                
Lalu lagi-lagi saya berfikir, ini adalah ulah kapitalisme yang memonopoli pasar dan bahan-bahan pertanian. Hingga saya berfikir bahwa mereka mesti melawan. Problem ini mesti di advokasi. Tapi harus melawan kemana? Siapa sasarannya? Apakah mereka harus memboikot PT. Petrokimia? Apakah mereka harus menyerang instansi pemerintahan? Selain itu, apakah mungkin mereka melawan ditengah kondisi yang rumit itu?
                
Pernah sekali, saya mengajak mereka untuk meminta kejelasan pada kepala desa mengenai kelangkaan dan tingginya harga pupuk. Disisi lain, saya coba menelusuri lebih jauh. Dan ternyata memang ada kong kalikong soal distribusi bahan-bahan pertanian. Saya coba menceritakan bukti-bukti yang saya temukan kepada para petani itu. Dengan harapan, mereka semakin getol untuk melawan. Namun yang terjadi, mereka malah down. Sistem yang rumit membuat mereka putus asa.
                
Lalu bagaimana dengan perlawanan? Karena kebingungan, saya mencoba kembali ke kampus untuk berdiskusi dengan beberapa kawan mengenai apa yang saya dapati. Namun hasilnya nihil, problem terpecahkan di atas meja diskusi.
                
Singkat cerita. Selang beberapa waktu, saya bertemu dengan seorang petani di desa lain. Petani itu bercerita pada saya bagaimana perubahan sistem bercocok tanam dari masa ke masa. Yang paling mengejutkan, dia punya pengalaman bagaimana 40 tahun yang lalu, tentara selalu masuk ke desa membawa bibit, pupuk dan pestisida. Saat itu, para tentara mengancam akan membunuh para petani apabila tidak menggunakan bahan-bahan pertanian yang mereka bawa.
                
Salah seorang petani dari desa tersebut bahkan di tembak karena kedapatan menyembunyikan bibit dan pupuk pemberian para tentara. Mengapa disembunyikan? Karena waktu itu, para petani sadar bahwa apa yang diberikan oleh tentara adalah sesutu yang sangat berbahaya. Tapi karena tekanan negara melalui tentara, menteri pertanian hingga apparatus terkecilnya seperti penyuluh pertanian, para petani tidak bisa berbuat banyak. Dan jadilah para petani kecanduan oleh bahan-bahan kimia. Dimana sebelumnya para petani punya cara dan pengetahuan lokal tersendiri tanpa menggunakan produk-produk korporasi.

***

Dari cerita itu, yang ditambah sedikit bacaan dan diskusi tentang pertanian, saya coba merefleksi kembali apa yang saya dapati di desa yang sebelumnya.
                
Meskipun saya mengajak para petani menuntaskan persoalan kelangkaan dan tingginya harga bibit, pupuk dan pestisida, hal itu akan sia-sia belaka. Pertama, meskipun bibit, pupuk dan pestisida tidak lagi langkah, dan harganya dapat ditekan, itu tidak berpengaruh secara signifikan bagi petani kecil seperti mereka. Karena bagaimanapun, mereka akan tetap mengeluarkan ongkos produksi yang cukup besar hanya untuk menghasilkan sedikit beras dari lahan yang kecil. Itupun jika beruntung.
                
Kedua, problem dasar para petani di desa itu yang mesti dipecahkan, bukanlah soal bagaimana caranya mereka memperoleh bahan pertanian-bibit, pupuk, pestisida-untuk berproduksi. Tapi bagaimana agar mereka bisa berhenti menggunakan bahan-bahan laknat itu, dan bagaimana mereka menciptakan pasar alternatif.
                
Mengapa kapitalisme begitu menyebalkan bagi para petani, bukan karena kapitalisme memonopoli bahan pertanian. Bukan pula hanya pada saat kapitalisme datang dengan wajah  korporasinya dan ingin memisahkan petani dari alat produksinya, yaitu tanah, dengan cara-cara kekerasan. Tapi karena kapitalisme berhasil menciptakan ketergantungan akan produk-produk kimia  dengan harga yang sangat tinggi kepada para petani melalui negara.
                
Mungkin wacana revolusi hijau di kalangan aktivis pertanian dan para intelektual bukanlah sesuatu yang baru. Tapi bagi anak ingusan seperti saya, itu adalah hal baru. Bahwa system pertanian direkayasa sedemikian rupa agar petani hanya dapat berproduksi apabila menggunakan bibit, pupuk dan pestisida yang merupakan hasil rekayasa genetik. Selain itu, zat hara tanah akan aus, sehingga umur berproduksi tanah tidak akan lama. Jika hara tanah telah aus, dan tanah tidak lagi dapat berproduksi, tidak menutup kemungkinan para petani akan menjual tanahnya untuk bertahan hidup. Yang lebih parah lagi, akan terjadi kelaparan. Dan solusinya adalah impor pangan.
                
Jadi jauh sebelum perusahaan-perusahaan datang untuk menggusur para petani, jauh sebelum proyek pengembangan kota menyasar lahan-lahan petani, ada kontradiksi dan sirkulasi yang akan membuat petani hengkang dengan sendirinya dari alat produksinya. Tanpa kekerasan..

Cara pandang yang terlalu menitikberatkan pokok persoalan pada konflik lahan pertanian, tentang adanya sistem besar yang akan merebut lahan petani, tidak jarang hanya akan berakhir pada aksi-aksi yang sifatnya, meminjam istilah Melani Budianta, ‘emergency activism’. Karena melupakan kontradiksi pokok petani, yaitu bagaimana mereka berproduksi.
                
Konflik lahan pertanian memang merupakan masalah. Tapi bagaimana dengan petani kecil maupun besar yang tidak, atau belum tersentuh oleh persoalan seperti itu? Apakah keadaan akan dianggap baik-baik saja?

***
                
Oleh karena itu, bagi saya, cara paling ampuh bagi para petani untuk melawan kapitalisme adalah dengan menguasai kembali apa yang telah dicuri dari mereka. Ada budaya yang telah dilucuti dan digantikan dengan cara-cara korporasi. Petani mesti menciptakan sendiri bahan-bahan yang memungkinkan mereka berproduksi tanpa bergantung dari produk-produk korporasi yang merusak sistem pertanian. Dan memotong permainan tengkulak dengan menciptakan pasar alternatif yang terorganisir dengan baik.
                
Ide-ide tentang pertanian organik sepertinya sangat penting. Tentang bagaimana petani belajar mengembangkan bibit, pupuk dan pestisida alamiah, yang dapat diproduksi tanpa mengorek tabungan. Berkelompok, lalu menciptakan pasar dimana mereka tidak mesti menggunakan perantara pihak ketiga. Dengan itu, memungkinkan juga bagi petani, apalagi petani kecil , untuk mengorganisir diri dan menghimpun kekuatan guna menghadang kekuatan besar yang suatu waktu akan menyerang mereka.

Mungkin saya masih sangat awam mengenai pertanian organik. Terlebih lagi, banyak aktivis yang mengabaikan itu. Mungkin karena sudah terlalu lama mengidap jargon-jargon ‘lawan’, ‘bakar’, dan sebagainya. Yang ada hanya kalimat “sudahlah melawan saja”, “sudahlah lepaskan bacaanmu, turun dari menara gading, mari melawan”. Jika ditanya melawan apa dan siapa? Maka paling banter akan menyebut kapitalisme, penindasan, atau menunjuk salah satu perusahaan dan oknum. Memangnya kapitalisme dan penindasan itu dimana, dan bentuknya bagaimana yah?

Dari situ pula saya sadar bahwa apa yang terjadi, misalnya bagi petani, tidak selalu sama di setiap wilayah. Okelah, kita mungkin tahu bahwa kapitalisme ada, tapi apakah kontradiksi di permukaan di setiap kelompok masyarakat selalu sama? Jika tidak, dimana dia? Tentunya mesti ditemukan dalam subjek itu sendiri, dan penyelesainnya juga dari dalam subjek itu sendiri. Dan terakhir, sepertinya penting untuk mendiskusikan ulang, seperti apa itu melawan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar