Beberapa
waktu yang lalu, gerakan mahasiswa menjadi hangat diperbincangkan oleh berbagai
kalangan. Sensasi yang dipertontonkan oleh mahasiswa di jalanan dalam menolak
kenaikan harga BBM mencuri konsentrasi khalayak banyak. Ada yang memuji tapi
ada juga yang mencaci. Dipuji karena masih ada juga orang-orang muda yang
memiliki semangat juang ditengah kondisi kampus yang sedang mengalami degradasi
intelektual. Disisi lain, dicaci karena dianggap hanya bisa mempertontonkan
kekerasan.
Ada yang bilang bahwa “pembangunan” adalah kunci utama untuk mewujudkan sebuah bangsa yang berdaulat. Cara pandang seperti ini umumnya dikenal sebagai cara pandang developmentalism. Cara pandang yang memusatkan perhatian untuk membangun sebanyak mungkin sumber-sumber penghasil “pundi-pundi emas”. Di Indonesia pada umumnya, corak seperti ini dapat dilihat, salah satunya melalui semakin maraknya aktivitas industri pertambangan.
Di kabupaten Maros dan Pangkep misalnya, jumlah tambang-baik tambang semen maupun marmer-pada kawasan karst mencapai puluhan. Selain tambang semen dan marmer, tercatat pula aktifitas pengerukan tanah di beberapa titik untuk menyokong proses reklamasi pantai di wilayah perkotaan. Biasanya, pembangunan tambang-tambang seperti itu selalu berdalih untuk memberdayakan sumberdaya manusia yang ada di sekitar daerah penambangan, alias menyerap tenaga kerja dan menekan angka pengangguran. Sebuah “niat baik” yang sasarannya selalu dipusatkan pada masyarakat kelas bawah.
Langganan:
Postingan (Atom)