gubukku, sekolahku

Ditengah sulitnya menempuh pendidikan akibat biaya yang tidak dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat, membuat banyak orang menjadi masa bodoh dengan pendidikan terhadap anak-anaknya. Banyak orang tua yang terpaksa harus menyuruh anaknya mencari nafkah di usia dini agar dapat membantu beban orang tua. Namun, itu tidak menjadi halangan bagi Syamsuardi, anak berumur 11 tahun yang tinggal disebuah daerah kumuh untuk tetap belajar ditengah kondisi ekonomi yang memaksa dirinya harus mencari nafkah diusianya yang masih sangat muda.
Sejak tahun 2006, syamsuardi dan teman-temannya harus mengisi kesehariannya dengan mencari sampah-sampah plastik di dalam kampus Unhas, untuk dikumpulkan dan kemudian dijual. Hal ini terpaksa dia lakukan sebab tuntutan ekonomi dan orang tuanya, dan karena profesinya tersebut, dia terpaksa tidak bersekolah, walaupun dalam hati nuraninya yang terdalam, dia sangat ingin bersekolah seperti anak-anak seusianya.  “biasanya, saya dapat mengumpulkan 2 sampai 3 karung sampah setiap harinya, tapi walaupun begitu, saya tetap berusaha belajar sendiri pada malam harinya, karena tidak ada yang mau mengajari saya”, ucap Suardi.
Pada tahun 2007, sekelompok mahasiswa berinisiatif membentuk sekolah alternatif yang bernama sekolah kami didaerah tersebut, karena melihat kondisi masyarakat yang tidak sadar akan pentingnya pendidikan. Akhirnya, syamsuardi dan kawan-kawannya mencoba untuk berkonsentrasi menerima pelajaran yang dibawa oleh sekelompok mahasiswa tersebut. Namun awalnya, itu semua tidak berjalan lancar, karena orang tua Syamsuardi menginginkan dirinya untuk tetap menjadi pemulung. Karena, orang tuanya takut bilamana dirinya telah sibuk belajar dan melupakan tugasnya untuk menjadi pemulung.    
Tetapi melihat kegigihan suardi yang mau terus belajar, dimana ketika telah menjalankan tugasnya untuk mencari sampah, suardi mencoba untuk tetap belajar berhitung seorang diri pada malam harinya, orang tuanya pun memberi dia izin untuk ikut dalam sekolah rakyat tersebut, asalkan dia tidak meninggalkan tugasnya untuk mencari sampah.
Akhirnya Syamsuardi kembali mengkonsentrasikan dirinya mengikuti pelajaran-pelajaran yang diberikan. Walaupun sekolah itu didirikan ditengah gundukan sampah dengan bau yang kurang nyaman, dan kelasnya yang berada dikolong gubuk, tidak membuat Syamsuardi dan kawan-kawannya untuk berhenti belajar. “ kita harus tetap belajar, siapa sih yang mau jadi orang bodoh, walaupun saudara-saudara saya tidak ada yg sekolah, tapi saya tidak mau seperti itu. Saya pun bersyukur dan sangat senang dengan kehadiran kakak-kakak ini, karena dengan kehadiran mereka, saya dan teman-teman dapat belajar, mudah-mudahan sekolah ini bisa terus berlanjut, agar lebih banyak yang mau belajar, karena sebelumnya, semuanya hanya masa bodoh, dan somoga kakak-kakak tidak bosan untuk mengajar kami, saya memberi nama sekolah ini sekolah gubuk, walaupun kakak-kakak memberi nama sekolah kami ”, tutur suardi sambil tertawa.
Walaupun suardi bersekolah disekolah rakyat tersebut, dia harus tetap menjalankan tugasnya untuk mencari sampah untuk dijual. Biasanya, dia mulai bekerja di jam 7 pagi hingga jam 5 sore. Setelah bekerja, dia bersama teman-temannya melanjutkan pelajaran bersama-sama disekolah tersebut hingga pukul 7 malam, karena pukul 8 mereka sudah harus istirahat agar besoknya dapat bangun pagi mencari sampah.  
Adapun pelajaran-pelajaran yang mereka dapatkan sangat beragam, karena itu semua tergantung pada mereka., apapun yang ingin mereka ketahui, akan diwadahi oleh para pengajar. “disini kami belajar matematika, bahasa inggris, IPA, dan mengaji, kami juga diberi kebebasan untuk mengetahui hal-hal lain, seperti membuat hasil-hasil kerajinan tangan, berbicara didepan umum, dan ada juga jalan-jalannya. Selain itu, tempat belajarnya juga berpindah-pindah, dimanapun kami mau, seperti belajar di pinggir danau”, tutur suardi.
Metode pembelajaran yang diterapkan berbeda dengan yang lain, dan mengutamakan kebebasan dalam belajar, anak-anak pun menjadi semangat untuk terus belajar walaupun berada ditengah gundukan sampah dengan bau yang tidak sedap. “kakak-kakak orangnya asyik, mau mengajarkan apapun yang kami mau, dan di manapun kami mau belajar, tidak ada tekanan, kami diberi kebebasan. Kakak-kakak juga tidak pernah lelah walaupun sebenarnya mereka sendiri sibuk dengan kuliahnya,”, ucap andri, yang juga salah satu murid sekolah itu.
Pada tahun 2009, Syamsuardi meminta kepada para pendiri sekolah rakyat untuk membantu memasukkan dirinya disekolah formal, karena dia ingin merasakan bagaimana rasanya memperoleh pelajaran disekolah formal. Selain itu, dia juga terkendala karena tidak memiliki akta kelahiran. Akhirnya dengan bantuan beberapa mahasiswa, diapun telah berada dibangku kelas 2 SD Kantisang hingga saat ini. “sudah banyak teman-teman saya yang bersekolah disekolah formal setelah 2 tahun memperoleh pelajaran disekolah rakyat ini, dan kami dibantu oleh kakak-kakak mahsiswa”, ucap suardi
Walaupun suardi dan teman-temannya telah ada yang masuk ke sekolah formal, namun mereka tetap melanjutkan kegiatan-kegitannya disekolah rakyat. Hal ini dikarenakan suardi dan kawan-kawannya merasa bahwa banyak hal yang bisa mereka dapatkan disekolah ini, dan tidak mereka dapatkan dibangku sekolah formal. “saya masuk ke sekolah formal karena punya cita-cita untuk menjadi tentara, dan saya harus melanjutkan sekolah hingga SMA, kalau perlu sampai kuliah. Namun, kami tetap melanjutkan kegiatan-kegiatan disekolah ini, karena banyak pelajaran-pelajaran yang tidak kami dapatkan dibangku sekolah, tapi kami dapatkan di sekolah alternatif ini, seperti cara-cara bermasyarakat dan keterampilan-keterarampilan lainnya. Saya juga tidak mau kalau sekolah ini bubar, karena berkat sekolah inilah kami bisa banyak tau”, tutur suardi.
Karena Syamsuardi telah masuk ke sekolah formal, terpaksa dia harus jadi lebih sibuk. pukul 7 pagi hingga pukul 10, dia belajar disekolah formal, setelah pulang dari sekolah, dia kembali mencari sampah hinnga pukul 5 sore. Setelah itu belajar lagi disekolah gubuk . namun karena ada beberapa teman-temannya yang masuk sekolah disiang hari, yaitu dari pukul 2 siang hingga pikul 5 sore, terpaksa proses belajar disekolah gubuk hanya berjalan setiap hari sabtu dan minggu. “walaupun hanya belajar setiap hari sabtu dan minggu, kami tetap merasa senang. Apa boleh buat, karena kami tidak ingin ada teman yang ketinggalan pelajaran disekolah gubuk ini, jadi kakak-kakak mencari waktu dimana kami semua dapat belajar bersama-sama”, ucap suardi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar