MAKASSAR. Diskusi publik menolak pengesahan RUU pengadaan tanah untuk pembangunan yang diadakan oleh Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) berlangsung di hotel Losari Beach dan dihadiri Sekitar 30 peserta. Dalam diskusi ini, hadir beberapa narasumber diantaranya, Idham Arsyad (Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria), Prof. Farida Patittingi, SH. MH (Pakar Hukum Agraria, Akademisi Unhas), Tan Malaka Guntur (Kepala Bappeda Sul-Sel), dan Drs. Roli Irawan, SH, MM. (Kakanwil BPN Provinsi Sul-Sel).
Dalam diskusi ini, Tan Malaka Guntur selaku Kepala Bappeda sul-Sel mengatakan bahwa, “RUU Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan ini semata-mata hanya untuk kesejahteraan rakyat. Dapat kita lihat bagaimana pembangunan jalan Makassar-Pare, itu semua sudah ada kesepakatan sebelum pembangunan.
Berbeda dengan yang dikatakan oleh Idham Arsyad selaku Sekjen KPA. Dia mengatakan bahwa, “pembuatan RUU tanah untuk pembangunan tidak merujuk pada pasal-pasal penting dalam UUD 1945 dan UU terkait. Seperti, UU No.14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi. Dimana dalam RUU tersebut, tidak dijelaskan bahwa masyarakat berhak mendapatkan informasi sebelum pengalihan tanah. Pasal 28h ayat 4, UUD 1945“setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewang oleh siapa pun”. Dengan tidak adanya penjelasan tersebut dalam RUU, kemungkinan besar hanya menambah konflik agraria. Selain itu, pemaknaan “kepentingan umum” dalam RUU dimaknai menjadi infrastruktur. Tidak ada penjelasan yang jelas, sehingga Sangat berpotensi ditafsirkan secara monopolistik oleh pihak penguasa dan diterapkan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum”.
“Perampasan dan Penggusuran Tanah- Tanah Rakyat akan semakin marak terjadi, mengingat hanya sedikit tanah-tanah rakyat yang dilindungi dokumen hukum yang lengkap. Sampai tahun 2008, jumlah tanah rakyat bersetifikat baru 39 juta bidang dari 85 juta bidang tanah (belum termasuk tanah-tanah yang berada di kawasan hutan dan kawasan yang dikuasai oleh masyarakat adat). Artinya seitar 60 % belum terlindungi secara hukum. Lantas, Jika kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi tanah yang diambil, lalu bagaimana dengan nasib tanah-tanah tanpa sertifikat yang jumlahnya jauh lebih banyak itu?”.
Dugaan ini diperkuat oleh Prof. Dr. Farida Patitingi, SH. MH selaku pakar hukum agraria sekaligus akademisi Unhas. Dimana beliau mengatakan bahwa “RUU ini terkesan sangat otoriter, seprti yang dijelaskan Pasal 28h ayat 4, UUD 1945“bahwa setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-sewang oleh siapa pun. Namun jika kita mencermati RUU tersebut, kita akan menemukan hal yang sebaliknya, yaitu berdasarkan pada suatu konsepsi yang cenderung otoriter yang mengarah pada upaya “pemaksaan” kehendak dari negara dalam perolehan tanah untuk kepentingan pembangunan tersebut. Karena ketika suatu tanah sudah ditetapkan sebagai tempat pembangunan untuk kepentingan umum, maka masyarakat pemilik atau yang berhak atas tanah wajib melepaskan hak atas tanahnya. Kewajiban ini tidak berimbang dengan kepentingan pemilik atau yang berhak atas tanah untuk memperoleh penggantian yang adil dari pengorbanannya tersebut.
Drs. Roli Irawan, SH, MM selaku Kakanwil BPN Provinsi Sul-Sel juga mengatakan bahwa, dalam masalah sertifikat tanah, sering terjadi kecurangan. Dimana masih banyak pegawai nakal yang sering bekerjasama dengan pemodal untuk penggandaan sertifikat. Beliau berjanji akan lebih memperketat pengawasan.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), Sulawesi Selatan adalah daerah yang berada di urutan teratas konflik agraria. Salah satu contohnya adalah, yang terjadi di Pandang Raya. Salah satu pemukiman kumuh di daerah Panakukang Makassar, terancam digusur oleh pengusaha bernama Goman Waisan. “Tanah kami itu terbukti bersertifikat, namun pemerintah bahkan melegalkan usaha goman”. Ucap bapak Andi, selaku tokoh masyarakat Pandang Raya, yang juga sempat menghadiri diskusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar