Alkisah,
hiduplah sekelompok pekerja yang bernama ular, cacing dan kumbang yang bekerja
untuk membantu manusia yang berprofesi sebagai petani. Masing-masing diantara
mereka mempunyai peran dan tugas yang berbeda-beda. Walaupun hampir semua
waktunya diluangkan untuk bekerja, mereka tidak pernah diberi imbalan
sedikitpun oleh para petani dari apa yang mereka kerjakan. Hal itu karena
mereka bekerja tanpa sepengetahuan para petani.
Disuatu
sore, para pekerja itu berkumpul di sebuah pematang sawah untuk mendiskusikan
hasil yang telah mereka capai selama bekerja.
“Hari
ini aku sangat lelah, namun aku sangat menikmati apa yang aku kerjakan.
Bagaimana dengan kalian?”, Tanya ular kepada ke tiga rekan kerjanya.
“Wah,
hari ini para petani terlihat sangat senang. Karena berkat saya tanah garapan
para petani bisa subur dan menghasilkan banyak zat harah”. Ungkap si cacing.
Karena
mendengar si cacing yang terlalu membanggakan diri, si ular kembali bertanya.
“Memangnya
keahlian kamu apa sih?”.
“Wah jangan salah kamu ular, walaupun tubuhku kecil tapi aku punya banyak
manfaat loh. Salah satu manfaat terbesarku bagi lingkungan dan pertanian adalah
menyuburkan tanah dengan memperbaiki struktur tanah menjadi lebih gembur,
meningkatkan penyimpanan air, dan menyediakan bahan-bahan organik di tanah.
Lubang-lubang (jalan) yang aku buat merupakan salah satu cara untuk
mengemburkan tanah. Tujuan membuat lubang dengan mendesak atau memakan
butiran-butiran kecil tanah, sehingga memperbaiki aerasi dan drainase dalam
tanah. Dengan adanya lubang-lubang tersebut, tanah menjadi lebih gembur”.
Karena merasa di ejek oleh ular,
si cacing tidak mau berhenti bercerita.
Dan menjadi semakin pamer dengan keahliannya.
“Tidak hanya itu ular. Selain membuat
tanah menjadi lebih gembur, lubang jalan yang aku buat bermanfaat juga untuk
konservasi air tanah. Aku mampu menggali tanah hingga kedalaman 1 meter. Hal
tersebut sangat bermanfaat dalam penyerapan air. Penyerapan air dalam jumlah
banyak akan memperkecil banjir dan erosi yang terjadi ketika hujan besar
melanda. Aku mengkonsumsi tanah dan bahan-bahan organik lainnya sehingga
menghasilkan produk buangan (kotoran). Kotoran cacing bermanfaat bagi kesuburan
tanah karena mengandung unsur hara N, P, dan K, sehingga memperkaya kandungan
mineral dalam tanah. Kotoran cacing tersebut berupa bentuk nutrisi yang mudah
dimanfaatkan tanaman. Namun, produksi alami kotoran cacing tanah bergantung
pada spesies, musim, dan kondisi populasi yang sehat. Selain itu, cacing mampu
membantu mengomposkan sampah organik rumah tangga”.
Si ular
langsung melongoh mendengar penjelasan si cacing.
“Ternyata
si cacing hebat juga nih”. Ucap ular di
dalam hatinya.
“Hebat kan?. Kalau kamu sendiri ular, manusia kan takut sama kamu. Bagaimana
kamu bisa bilang kalau kamu membantu para petani?”. Tanya cacing kepada si
ular.
Si ular pun tidak mau kalah dengan si cacing, dan menjelaskan tentang
kehebatannya.
“Kenalin nih,
aku si ular yang perkasa. Aku ini komandan satuan pengamanan sawah”.
“Hahahahahahahahahahaaa….apa
pula itu satuan pengamanan sawah?”. Karena terdengar aneh, si cacing tertawa
terbahak-bahak.
“Begini
ceritanya cing, keseharian saya adalah mengawasi tikus dan hewan lainnya yang
sering merugikan dan membuat resah petani, soalnya tikus biasanya akan mengigit
batang dan memakan bulir-bulir padi. Dan pada tanaman jagung biasanya langsung
di makan buah jagungnya. Jadi biasanya kalau tikus datang dan berniat jahat,
aku sikat saja. Begitu……..”
Tiba-tiba
suasana menjadi hening ketika si ular menceritakan keperkasaannya. Si cacing
dan kumbang langsung ketakutan mendengar cerita ular.
“Jangan-jangan
nanti aku di sikat juga nih kalau banyak bacot”. Ucap si cacing di dalam
hatinya.
Karena melihat
wajah si cacing dan kumbang yang agak pucat, si ular mencoba menghilangkan
kepanikan kedua sahabatnya.
“Wah, kalian
berdua tidak usah takut kawan. Kita kan sesama pekerja di sawah, jadi tidak
mungkinlah saya mau menghajar kalian”.
“Ini nih si
kumbang dari tadi cuma menjadi pendengar setia. Cerita dong apa yang telah kamu
kerjakan”. Tegur ular kepada si kumbang.
“Hahahahahaa…iya
deh, aku ceritakan. Aku mudah dikenal karena penampilan yang bundar kecil dan
punggung yang berwarna merah. Aku adalah karnivora yang memakan hewan-hewan
kecil penghisap tanaman semisal kutu daun (afid). Aku makan dengan cara
menghisap cairan tubuh mangsaku. Di kepalaku terdapat sepasang rahang bawah
(mandibula) untuk membantu memegang mangsa saat makan. Lalu menusuk tubuh
mangsaku dengan tabung khusus di mulut, hal itu untuk menyuntikkan enzim
pencerna ke tubuh mangsa, lalu menghisap jaringan tubuhnya yang sudah berbentuk
cairan. Aku mampu menghabiskan 1.000 ekor kutu daun yang dapat merusak tanaman
loh”.
“Waaaahhhh…kamu
hebat yah kumbang. Aku salut sama kamu”. Ular coba memuji sahabatnya yang satu
ini.
“Tidak usah
melebih-lebihkan ular, itu biasa saja kok”. Sahut kumbang yang coba merendah.
Karena
keasikan berdiskusi, tidak terasa matahari mulai terbenam. Dan ketiganya
sepakat untuk pulang beristirahat.
“Mungkin ada
baiknya kita pulang beristirahat, soalnya besok kita harus kembali bekerja,
bagaimana?”. Ajak ular kepada tiga sahabatnya.
“Iya deh, yuk. Sampai ketemu besok yah”. Sahut
si cacing sambil berjalan meninggalkan pematang sawah.
………………………………………………..
Beberapa hari
kemudian, ular sedang tidak enak badan. Selain itu, dia juga mendengar kabar
bahwa si cacing sedang sakit. Ularpun berniat untuk menjenguk sahabatnya yang
satu itu, dan segera bergegas menuju kediaman cacing.
Beberapa menit
berjalan, ularpun tiba di kediaman si cacing.
“Assalamualaikum,
eh cacing katanya kamu sakit yah??”
“Walaikumsalam,
iya nih bro saya sedang sakit. Ini gara-gara petani menggunakan pupuk kimia ke
sawahnya. Padahal saya sangat sensitive dengan bahan kimia. Saya tidak tahu
mengapa para petani tiba-tiba menggunakan bahan-bahan yang beracun untuk
tanamannya”
“Ketika petani menyemprotkan
pupuk dan pestisida, aku langsung menggelepar-gelepar ke pinggir sawah untuk
menyelamatkan diri. Untung aku bisa selamat, walaupun ada beberapa cacing
lainnya yang belum tiba di pinggir sudah mati. Cacinglah yang paling awal
lenyap dari dalam tanah dan selanjutnya diikuti oleh hilangnya kehidupan
mikroba lain yang berfungsi menyuburkan tanah. Oleh karena itu aku tidak bisa
lagi bekerja menyuburkan tanah”. Cerita si cacing dengan wajah yang memelas.
“Wah, jangan-jangan gara-gara
pupuk dan pestisida itu hari ini aku tidak enak badan. Soalnya kemarin aku
melihat petani menyemprotkan sesuatu ke sawahnya”. Sahut si ular.
“Pasti karena itu ular. Aku
bingung, siapa sih yang mengajari para petani untuk menggunakan bahan beracun
itu”. Ucap si cacing.
Tidak lama kemudian, kumbang
juga datang dengan wajah memelas.
“Teman-teman, kalian dengar
berita hari ini tidak?”. Tanya si kumbang kepada dua sahabatnya.
“Tidak kumbang, memangnya
ada apa sih?”. Sahut si ular.
“Pokoknya hari ini, Minggu 20
Desember 1980 kita telah kehilangan pekerjaan akibat revolusi hijau manusia.
Peran kita untuk membantu para petani menyuburkan tanah dan tanamannya telah
tergantikan dengan pupuk dan pestisida. Katanya pupuk itu untuk menyuburkan
tanah, sedangkan pestisida untuk membasmi hama. Padahal kan kita bertiga telah
melakukan peran-peran itu”. Ucap si kumbang.
“Begitu yah, pantas saja.
Para petani tidak tahu bahwa penggunaan bahan kimia itu dapat mengganggu
kesehatan. Dampak yang lebih nyata adalah terjadinya polusi tanah
pertanian yang dapat menyebabkan penurunan kualitas lahan dan peranan mikroba
berguna dalam tanah. Akibatnya antara lain terjadi akumulasi garam-garam dan
logam berat seperti Cu, Al, dan Cd dalam tanah, dan meningkatkan kemasaman
tanah”. Cacing coba menjelaskan.
“Sepertinya sebentar lagi kita akan dilupakan oleh para petani akibat
bahan-bahan beracun itu. Dan dapat diramalkan bahwa 50-100 tahun ke depan para
petani tidak bisa lagi menggarap lahannya. Karena penurunan kualitas tanah,
dimana tanah akan mengeras akibat penumpukan bahan-bahan kimia”. Ucap si Kumbang.
“Iya yah, padahal
jika hanya ingin menyuburkan tanah, kan bisa menggunakan bahan-bahan alami.
Seperti kotoran ternak dan sisa-sisa tanaman. Semua itu kan berfungsi meningkatkan
kandungan unsur hara yang dibutuhkan tanaman, meningkatkan produktivitas
tanaman, merangsang pertumbuhan batang dan daun, serta menggemburkan dan
menyuburkan tanah. Lagipula biayanya tidak mahal jika dibandingkan dengan pupuk
kimia. Dengan harga pupuk kimia yang mahal, itukan bisa membebani para petani”.
Keluh si Cacing.
Sambil merenungi
nasib, ketiga pekerja ini memutuskan untuk berhenti bekerja di sawah dan pulang
ke kampung halamannya masing-masing. Dengan penuh harap, mereka ingin agar
suatu saat para petani mengerti akan dampak dari penggunaan bahan-bahan kimia
terhadap tanah dan tanaman. Dan tidak menyepelehkan peran organisme lokal di
alam ini yang dapat membantu para petani.
.
“