“Sebuah perlawanan lahir karena tidak
adanya jaminan akan masa depan”
apa itu anarkisme?
Ketika
mendengar kata anarkis, yang terlintas dibenak kebanyakan orang adalah
kekerasan, kekacauan hingga pemusnahan. Hal ini terjadi karena media massa sangat
gencar memberitakan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
tertentu terhadap aturan pemerintah, kemudian mengkategorikan aksi-aksi
tersebut dengan tindakan anarkisme. lalu, pada akhirnya anarkisme pun seakan menjadi
teror terhadap masyarakat.
Kata “ANARKI”
berasal dari bahasa Yunani Kuno yang berarti tidak adanya pimpinan, tidak
adanya pemerintahan. Etimologi kata ini menandai hal yang khas dari anarkisme :
penolakan terhadap kebutuhan akan otoritas tersentral atau negara tunggal,
satu-satunya bentuk pemerintahan yang kita kenal sampai saat ini (Anarkisme,
2003 : 23). Anarkisme adalah Sebuah pemikiran yang lahir karena kaum anarkis merasa bahwa
hirarki dan Negara tidak dapat melegitimasi berbagai keinginan dan ide-ide
masyarakatnya, sehingga negara harus ditiadakan. Anarkisme menganggap bahwa manusia pada hakekatnya
adalah mahluk yang secara alamiah memiliki kemerdekaan untuk bebas dari
intervensi dan hidup secara harmonis.
Dalam
beberapa catatan sejarah, memang tidak sedikit kelompok-kelompok anarkis yang
lebih memilih gerakan-gerakan spontan untuk menuntut penghapusan terhadap
penindasan yang dilakukan oleh negara dan aparatusnya. Merusak fasilitas-fasilitas seperti mall
dan gedung-gedung yang dianggap sebagai simbol kapitalisme, hingga bentrokan
dengan polisi dan militer. Namun, semua itu hanya akibat, karena jika
menganalisis kejadian-kejadian itu lebih dalam, maka kita akan menemukan
penyebab dari akibat tersebut. Tapi gerakan kekerasan hanyalah salah satu metode
yang digunakan oleh beberapa kelompok anarkis. Lalu, mungkin yang menjadi pertanyaan dibenak
banyak orang adalah, apa yang melandasi hal tersebut? Peniadaan negara hingga
ke gerakan kekerasan. Oleh karena itu, mungkin akan lebih menarik jika kita
membicarakan bagaimana anarkis berusaha mengubah dunia dengan senyum, darah dan
air mata dan sedikit membahas bagaimana sistem ini hampir menutup semua peluang
hingga kel hal-hal dasar manusia.
“aku ingin”
Disini, “aku
ingin” bukanlah sebuah kata yang bermakna singkat seperti ingin tidur, ingin
minum coca cola dan ingin makan KFC, tapi “aku ingin” yang melampaui apa yang
telah kita rasakan saat ini. Suatu pernyataan sikap yang lahir karena adanya
kesadaran bahwa kondisi yang ada tidak berpihak pada keberlangsungan hidup
kedepannya. Jika saya sebagai penulis hidup di tengah kondisi dimana anarkisme
terus dicerca dan dikecam, sehingga mengganggu keberlangsungan hidup saya
kedepannya. Maka saya akan menciptakan kondisi dimana anarkisme tidak lagi
dianggap sebagai teror..
Jadi
sepertinya
kita perlu sedikit berfikir radikal ketika terjadi fenomena dimana banyak kelompok yang melancarkan sebuah perlawanan. Ketika sebuah perlawanan
lahir, berarti terjadi penolakan terhadap sesuatu.
Mungkin
hal yang biasa ketika merasakan kelaparan selama berhari-hari, karena sistem
ini memang menciptakan kelaparan, sistem
ini tidak di bentuk untuk mengayomi orang orang lapar namun hanya untuk
mengayomi orang orang yang membuat lapar. jika hal itu benar-benar
terjadi, berarti sebuah Negara telah kehilangan legitimasinya, hak-hak dasar dari tiap
individu yang berkomitmen menciptakan kehidupannya sendiri, sistemnya sendiri dan mewujudkannya
bersama, itulah akhir dari penderitaan yang kita rasakan.
Namun bagaimana caranya sistem
ini menciptakan kelaparan? Mari kita lihat ada berapa banyak makanan yang harus
kada luarsa di berbagai supermarket tiap tahunnya. Hal ini terjadi karena
kapital yang terus memproduksi nilai-nilai palsu mengemas sekian banyak makanan
yang semestinya dapat dinikmati semua orang. Ikan yang dikalengkan, beras yang
dikarungkan, kemudian memberikan ukuran-ukuran gizi dan mencantumkan harga
untuk setiap kemasannya. Jadi secara tidak langsung untuk urusan makan saja
harus ditentukan oleh si pengemas makanan. Untuk orang kaya cocoknya yang harga
tinggi, kelas menengah harga yang segini, dan yang tidak punya uang tidak usah
makan, tentunya. Akhirnya makanan pun menjadi profit dan hanya dapat dinikmati
oleh orang yang mempunyai uang, lalu yang terjadi adalah semakin banyak orang
yang melakukan diet karena kelebihan makanan. Bayangkan saja jika semua itu dibagikan kepada
orang yang membutuhkan, pasti akan mengurangi tingkat kematian karena
kelaparan, dan tidak perlu terbuang sia-sia di rak-rak supermarket karena kada
luarsa.
Bukan
hanya itu, salah satu cara negara membuat kelaparan dapat kita lihat di papua.
Banyak masyarakat pedalaman papua yang terpaksa harus merasakan kelaparan
akibat negara menerapkan sistem pasar bebas yang membuat kapitalisme semakin
leluasa mengemas hutan-hutan dan lahan tempat masyarakat berccocok tanam
kemudian mengubahnya menjadi tambang. Sehingga membuat masyarakat papua
kehilangan hutan tempat mencari makan dan lahan tempat bercocok tanam. Mengutip
lagu slank untuk masyarakat lembah balim di papua, “aku nggak ngerti ada banyak
tambang, yang aku tahu banyak hutan yang hilang, asal ada ubi untuk di makan,
asal ada babi untuk di panggang, aku cukup senang”. Mencoba menjelaskan harapan
salah satu penghuni tanah papua akan kondisi papua saat ini.
Jadi Jika sebuah kelompok melancarkan
perlawanan, berarti kelompok tersebut menyadari bahwa kondisi saat itu tidak memihak
pada keberlangsungan hidupnya, dan ingin menciptakan kondisi dimana dia dapat
menciptakan sendiri pilihan-pilihan untuk keberlangsungan hidupnya ke depan. Termasuk
peluang mendapatkan makanan dan kondisi dimana tidak ada lagi pengemasan
makanan oleh pihak tertentu, dan berarti dia telah menentukan pilihan untuk menolak system.
Karena adanya keinginan yang tidak mampu di legitimasi oleh system tersebut.
Dan ingin merebut kembali apa yang menjadi haknya
Selain itu, hal terbesar
yang ingin dicapai dari penolakan terhadap sebuah system adalah merebut
kemerdekaan diri, yang terberi sejak lahir dalam setiap individu. Kemerdekaan
untuk menentukan tatanan hidup, menentukan pilihan-pilihan yang akan menjadi
penentu masa depan. Karena sebuah system/Negara tidak memiliki hak untuk
merebut kemerdekaan setiap individu, dan menentukan yang terberi. Jika yang
terberi dalam diri setiap individu tidak memiliki jaminan akan masa depan,
berarti kemerdekaan setiap individu untuk menolak yang terberi dari sebuah
system/Negara.
Penegasan
terhadap “aku ingin”
Sejarah telah menceritakan
pada kita bahwa telah begitu banyak perjuangan yang dilakukan untuk merebut kemerdekaan,
baik kemerdekaan sebuah kelompok maupun individu. Salah satu yang
menarik adalah aksi yang dilakukan oleh kelompok anarkis di seattle untuk
menolak perjanjian perdagangan global oleh WTO. Saat itu aksi dilakukan dengan
parade musik, teater jalanan hingga pesta-pesta kaki lima. Bukan dimulai dengan
pelemparan, pembakaran hingga penghancuran fasilitas-fasilitas umum. Namun
mengapa anarkis kemudian di stigma sebagai perusuh dan tukang onar? Untuk
menjawab itu ada baiknya kita membahas salah satu kejadian yang beberapa
potongan-potongannya luput dari pulpen dan kamera media.
Pandang raya dan
profokasi polisi.
Perjuangan
yang dilakukan oleh warga pandang raya untuk mempertahankan tempat tinggalnya
dari ancaman penggusuran oleh seorang pengusaha diorganisir dengan cara-cara
anarkis. dimana tidak ada hirarki dan pimpinan dalam gerakan tersebut, apa pun
tindakan yang akan diambil, melalui musyawarah ataupun diskusi oleh semua
warga. Ketika ancaman penggusuran datang, tak pernah terbesit di fikiran warga
untuk melakukan tindak kekerasan, karena sadar akan kekuatannya.
Namun
yang terjadi, polisi mengepung daerah tersebut dengan mobil lapis baja dan
buldoser yang secara otomatis menekan psikologi warga sehingga membuat warga
harus keluar dari rumahnya. Tidak hanya itu, polisi pun membentuk barisan untuk
semakin mempersempit ruang gerak warga. Karena merasa tertekan dengan ulah
polisi, warga menghimbau polisi agar mundur dan tidak menakut-nakuti mereka.
Tetapi polisi terus memperkuat barisan dan mengintervensi dengan senjata api
dan pentungan. Karena merasa sangat ketakutan, dengan spontan warga dan massa
aksi lainnya melemparkan batu agar polisi mundur dan menghentikan tindakannya.
Tetapi polisi bukannya mundur, tetapi membalas dengan tembakan gas air mata.
Amarah pun semakin berkecamuk dan terjadilah bentrokan antara massa aksi dan
polisi.
Jika
menganalisis dengan baik, dari situ dapat kita lihat bagaimana pandang raya sedemikian rupa
di konstruk agar mereka marah dan bikin onar sementara yang sebanarnya polisi
telah sedemikian rupa mengurung warga dan memaksakan mereka untuk keluar dari
rumahnya. Artinya ada sebab yang menciptakan akibat. Jadi tindak
kekerasan adalah gerakan refleks yang muncul ketika suatu individu merasa akan
adanya ancaman yang muncul dari luar dirinya.Lantas apakah kekerasan tidak
diperbolehkan dalam kondisi seperti itu?.
Itulah
salah satu fenomena dimana kekerasan berusaha direkonstruksi agar perlawanan
dapat dipadamkan. Dengan dalih kekerasan, negara dan apparatusnya akan semakin
mudah mengintervensi dan mengekang setiap gerak gerik masyarakatnya. Lalu itu
juga salah satu bukti bagaimana sebuah gerakan anarkis berusaha disamakan
dengan kekerasan. Kekerasan = anarkis, anarkis = kekerasan. Belum lagi rekaman
media yang dengan lantang memberitakan kejadian-kejadian itu dengan aksi
anarkis. memangnya mana yang disebut kekerasan, apakah tindakan yang ingin
menghilangkan tempat tinggal seseorang atau
tindakan yang berusaha mempertahankan hak. Korup oleh negara, penembakan
oleh polisi dan penggusuran. Apakah itu bukan kekerasan? Namun itu semua akan
selamanya luput dari pemberitaan media.
Jadi
sebenarnya kekerasan sangat dibutuhkan dalam kondisi tertentu. Tindak kekerasan
yang dilakukan warga pandang raya bukan tanpa alasan. Hasilnya pun berbuah
manis, karena tindak kekerasan tersebut, tanah tempat tinggal mereka batal
untuk digusur. Itu juga merupakan bukti bagaimana anarkisme mencoba mengubah
pandang raya dari ketakutan menjadi senyuman walaupun sedikit memerlukan air
mata dan rasa sakit.
(didekasikan bagi mereka yang masih menyamakan antara anarkis dengan kekerasan)
(didekasikan bagi mereka yang masih menyamakan antara anarkis dengan kekerasan)